Titik Jenuh
Tentu saja, tetap ada pribadi-pribadi yang sedang dan akan tetap tidak (ingin) memiliki ponsel, bahkan jika ponsel dibagi gratis sekalipun.Â
Tak menutup kemungkinan, pada suatu titik tertentu, sebagian orang akan jenuh dengan ponsel yang kadung mendominasi hidup manusia modern.Â
Mungkin ketika ponsel pada akhirnya terasa begitu mengganggu, kita akan berontak terhadap "keterpaksaan" memiliki ponsel sebagai new normal. Akhirnya, kita memilih menjadi orang yang tak punya ponsel dan dianggap abnormal. Â
Andakah salah satunya yang ingin berontak terhadap new normal dalam hal gaya hidup serbaponsel? Apa saat ini Anda juga berpikir, hidup Anda akan lebih damai tanpa harus punya ponsel? Apa Anda berencana berhenti memakai ponsel? Apakah Anda sudah jenuh hidup terikat pada ponsel?
Jika ya, tolong sumbangkan ponsel Anda pada saya, fakir miscall yang punya ponsel berinternet dan hobi pasang permintaan bantuan di kolom komentar artikel Kompas.com. Padahal, saya bisa ikuti program #jernihberkomentar di Kompas.com dengan hadiah voucher belanja jutaan rupiah. Klik ini.Â
Maaf, bercanda garing dikit ga apa-apa, kan. Sambil promosi terselubung dan beri kode pada Mbak Mimin Kompasiana :)Â
Sekarang pertanyaan serius dan mendalam: Jika Anda bisa memilih untuk lahir kembali, lebih senang lahir di zaman sebelum ponsel meraja atau zaman di kala orang-orang berkata,
'Aku punya ponsel, maka aku ada. Tanpa ponsel, aku (dianggap) tidak ada'?
Huft...serius banget ya pertanyaannya. Udah, ga usah pusing. Mending baca cuitan "bibir turah" di Twitter, kepoin IG artis Korea, atau nonton siaran pers dokter Reisa sang jubir satgas corona di ponsel Anda.Â
Dugaan saya, sebagian besar pria -demi menjaga kesehatan dan mendukung upaya pemerintah- akan memprioritaskan nonton siaran pers tentang corona. Sekian dan salam sehat.Â
NB: Saya tidak menerima titipan sponsor dari pihak tertentu dalam penulisan artikel ini. Kalaupun ada, itu gak sengaja ^_^.