Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Diskriminasi Tidak Ada di Indonesia... tapi Boong" (Tiga Cara Sikapi Diskriminasi di Indonesia)

12 Juni 2020   05:59 Diperbarui: 12 Juni 2020   06:15 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baru-baru ini jagad maya Indonesia sempat heboh oleh pernyataan Pendeta Oscar Surjadi saat ia mengikuti demo damai  memrotes perlakuan polisi kulit putih terhadap George Floyd, seorang kulit hitam. 

Pendeta Oscar pindah ke Negeri Paman Sam pada 1987 guna mengikuti pendidikan bisnis. Ia kemudian pindah jalur ke sekolah teologi dan akhirnya memilih jadi seorang pemuka agama. Kini ia menjadi gembala di Portland City Blessing Church. 

Pendeta Oscar antara lain mengatakan, "Saya datang ke AS bukan untuk ini. Saya lahir di Indonesia. Saya tahu arti prasangka dan diskriminasi. Saya kira saya meninggalkan Indonesia ke sini (AS) untuk merasakan kebebasan. Tetapi saya melihat kenyataan akhir-akhir ini, dan hati saya hancur." Video dapat disimak di sini. 

Beberapa warga(net) menilai pernyataan Pendeta Oscar itu menjelek-jelekkan nama Indonesia. Bahkan ada yang melabeli Oscar sebagai pengkhianat bangsa.

Menanggapi komentar negatif tersebut, Oscar Surjadi mengatakan,"Kalau mereka melihat keseluruhan videonya, saya sebenarnya tidak menjelekkan Indonesia. Saya ingin mengajak demonstran untuk mempunyai sikap protes yang elegan. Saya ingin mengatakan bahwa apa yang Anda alami, itu saya pernah alami, tetapi itu dulu."

Lebih lanjut, Oscar merinci,"Waktu saya tinggal di Indonesia, saya mengalami diskriminasi, tidak melalui negara, melainkan oknum."

Diskriminasi Tidak Ada di Indonesia...tapi Boong

Dalam bahasa gaul sosmed zaman kiwari, kontroversi pernyataan Oscar Surjadi ini bisa dibahasakan demikian: "Diskriminasi tidak ada di Indonesia...tapi boong."

Oscar Surjadi kiranya justru memaparkan kenyataan bahwa dirinya memang pernah mengalami perlakuan diskriminatif ketika ia masih tinggal di Indonesia pada periode tahun 1980-an. 

Jejak-Jejak Diskriminasi Menimpa Aneka Agama

Sengaja saya memakai istilah "kelompok minoritas" dengan tanda kutip karena sejatinya definisi "kelompok minoritas" ini sangat relatif. Contohnya sederhana:

- Seorang pemeluk agama Hindu bersekolah di Yogyakarta, yang masyarakatnya mayoritas pemeluk agama Islam. Ia menjadi minoritas di Yogyakarta.

- Seorang pemeluk agama Islam bekerja di Flores, yang masyarakatnya sebagian besar memeluk kristianitas. Ia menjadi minoritas di Flores.

Bahkan di kalangan pemeluk satu agama pun, bisa jadi seseorang menjadi minoritas. Tanpa perlu menyebut nama, kiranya kita paham akan adanya kelompok-kelompok kecil yang memiliki pandangan dan praktik ritual keagamaan yang (sedikit) berbeda dengan pandangan dan praktik ritual keagamaan arus utama. 

Masalah muncul ketika label pemeluk agama A hendak disematkan pada seluruh komponen pemeluk agama, yang di dalamnya memuat pula kelompok-kelompok kecil tersebut. Sering kali, kelompok yang dominan tidak mudah menerima kelompok minoritas. 

Dalam ulasan Setara Institute, terjadi diskriminasi terhadap kelompok umat beragama dalam relasi intra maupun antar agama.

Kilas Balik Jejak-Jejak Diskriminasi

Diskriminasi di Indonesia dilakukan oleh aneka pelaku, mulai dari aktor negara sampai sipil. 

Beberapa kilas balik jejak-jejak diskriminasi:

1) Peraturan Bersama 2 Menteri dijadikan alasan untuk menghambat pendirian rumah ibadah kelompok minoritas. Situasi seperti ini dengan mudah kita temukan di Aceh, Sulawesi Utara, Bali dan Papua.

Salah satu contoh adalah penolakan warga atas keberadaan GKI Yasmin di Bogor, meski telah mengantongi izin.

2) Seorang warga ditolak sebuah kampung di Bantul karena ia tidak seagama dengan mayoritas penduduk kampung. Bupati Bantul sampai harus turun tangan.

3) Wacana penetapan Manokwari Kota Injil yang terkesan kurang menghargai keberadaan pemeluk agama lain yang juga tinggal di Manokwari.

4) Penghinaan terhadap mahasiswa Papua di Yogyakarta dan di Surabaya. 

Daftar ini bisa kita perpanjang lagi, misalnya dengan diskriminasi yang terjadi di dunia pendidikan, birokrasi dan dunia kerja. Penulis sempat mendengar kesaksian bahwa di sebuah perguruan tinggi negeri, jatah mahasiswa kedokteran untuk "kaum minoritas agama" sudah ditentukan. 

Pernyataan "pribumi" dan "non-pribumi" memang sudah jarang atau bahkan dilarang didengungkan di forum resmi, namun nyatanya masih dihidupi sebagian oknum sebagai garis pembeda dalam praktik birokrasi dan sebagainya.

Diskriminasi terhadap penyandang disabilitas juga masih tersua. 

3 Cara Menyikapi Diskriminasi di Indonesia

1. Setop menyangkal (stop denial)

Jauh lebih penting daripada menyangkal adanya diskriminasi adalah mengakuinya dan menyikapinya. Diskriminasi di negeri ini lebih baik kita akui saja sebagai kenyataan alih-alih bertindak seolah semua baik-baik saja. Stop denial!

2. Terapkan Sistem Meritokrasi

Diskriminasi masih terjadi lintas agama dan intra agama, lintas suku dan intra suku. Diskriminasi masih terjadi di dalam badan resmi negara dan swasta. Ini tampak dalam macetnya atau tiadanya sistem meritokrasi.

Semestinya, yang memenuhi syarat dan berprestasi boleh mendapat hak, apa pun suku, agama, dan rasnya. Seharusnya, yang mampu secara manajerial dan intelektual diorbitkan jadi pimpinan, tak peduli apa latar belakang etnis dan agamanya serta disabilitasnya. Karena itu, negara dan swasta seharusnya menerapkan sistem meritokrasi guna mengikis dikriminasi. 

3. Edukasi dan Perjumpaan Dialogal

Diskriminasi perlu terus dikikis dengan edukasi dan perjumpaan dialogal di akar rumput. Sering terjadi, orang menjadi diskriminatif karena ia sejak kecil dicekoki paham yang sempit oleh lingkungannya.

Seorang yang seperti katak dalam tempurung hanya tahu dunianya yang sempit saja. Karena itu, pendidikan dan perjumpaan dialogal dengan sesama anak bangsa perlu terus digagas.

Kita perlu dukung gerakan dialog agama dan gerakan persaudaraan sejati di akar rumput. Silaturahmi hari-hari besar keagamaan, aksi sosial lintas SARA, gerakan cinta lingkungan lintas kelompok, dan aneka wahana persaudaraan lain perlu kita tingkatkan.

Mencintai negara dimulai dengan mencintai tetangga dan rekan yang berbeda. 

Salam persaudaraan. Rujukan: 1, 2, 3.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun