Yang membuat saya sedih adalah karena gempa itu juga membawa pergi adik kelas dan tetangga saya, sebut saja Maria, untuk selama-lamanya. Saya sudah dianggap sebagai kerabat dekat keluarga Maria karena saya satu kelas dengan kakak kandungnya. Waktu kecil, saya sering main ke rumah keluarga Maria.Â
Di rumah itu lah, Maria yang berusaha menyelamatkan diri tertimpa reruntuhan rumahnya. Ia masih duduk di bangku SMA kala itu. Meski sudah dibawa ke rumah sakit, akhirnya nyawanya tak tertolong.Â
Bisa dibayangkan betapa sedihnya keluarga akibat kehilangan Maria yang berpulang akibat gempa Jogja.Â
Karena itu, tiap mengingat gempa 27 Mei, saya selalu teringat pada almarhumah dan juga para korban gempa lainnya. Semoga arwah mereka berbahagia di surga mulia dan keluarga yang ditinggalkan mendapat penghiburan.
Menjadi Relawan
Pascagempa, saya menjadi relawan di posko yang berpusat di gereja kami. Saya sempat mengantar bantuan sampai di kawasan perbukitan Pathuk, Gunung Kidul, tempat aneka pemancar stasiun televisi berada. Juga ke kawasan Gantiwarno, Klaten, jawa Tengah yang ikut terdampak gempa.
Setahu saya, solidaritas warga Jogja dan Indonesia dalam menolong korban gempa Jogja amat kuat. Segera dibuat dapur umum. Ada tim-tim relawan yang menjadi distributor bantuan dan membantu pencarian korban dan pemakaman korban.Â
Setahu saya, sebuah jembatan utama yang menghubungkan kota Bantul dan Jogja terputus sehingga penyaluran bantuan harus dilakukan dengan mencari jalur alternatif.
Di jalan-jalan, sebagian warga korban gempa meminta bantuan pada tiap kendaraan yang lewat. Tentu saja mereka harus ditolong, namun kami sebagai relawan juga harus lebih mengutamakan korban yang berada di pelosok.
Karena itu, sedapat mungkin bantuan difokuskan pada mereka yang sama sekali belum tersentuh. Blusukan ke kampung-kampung sungguh menjadi prioritas relawan pada waktu itu.
HikmahÂ