Karena waktu itu sarana komunikasi seluler tidak berfungsi akibat robohnya banyak tiang pemancar sinyal, informasi hanya bisa disimak melalui radio dan televisi. Akan tetapi, karena gempa baru saja terjadi, tidak banyak yang kami tahu, setidaknya sampai jam makan siang.
Setelah makan siang, kami (para mahasiswa dan calon pastor) mendapat permintaan dari RS Panti Rapih untuk jadi relawan. Dalam hati saya mulai merasa ada sesuatu yang tidak baik. Benar saja, saat tiba di RS Panti Rapih yang tak jauh dari kawasan UGM, saya melihat pemandangan yang membuat sedih.
Seluruh ruangan dan lorong RS penuh dengan pasien dan korban gempa. Saya menjumpai para korban lindu yang baru saja diselamatkan dari reruntuhan rumah mereka.
Sepasang suami-istri saya ajak ngobrol. Pada tubuh mereka masih ada debu batu bata rumah yang hancur. Sang istri tampak tidak terluka parah, namun sang suami penuh luka akibat terkubur reruntuhan rumah.
"Cepat sekali kejadiannya, Mas. Tembok rumah runtuh menimpa suami saya," tutur sang istri pada saya. "Tolong kami, Mas. Kami tidak punya apa-apa lagi," pintanya.
Segera saya katakan bahwa mereka sebaiknya tetap tenang. Saya katakan juga bahwa pakdhe (paman) saya yang bekerja di rumah sakit itu bisa dihubungi jika ada kesulitan.
Isu Tsunami
Mungkin karena teringat akan berita gempa dan tsunami yang melanda Aceh, warga Bantul segera menyelamatkan diri ke arah utara. Akibatnya, penumpukan kendaraan dan orang terjadi di jalan-jalan.
Ini juga yang mengakibatkan kendala dalam penyelamatan korban, terutama yang sangat membutuhkan pertolongan sesegera mungkin.Â
Isu tsunami sepertinya juga muncul akibat orang salah menafsirkan kejadian bocornya pipa air di sejumlah lokasi. Orang jadi panik. Bahkan, saya dengar ada sejumlah kecelakaan yang terjadi karena orang ngebut seakan dikejar gelombang tsunami dari belakang.
Kehilangan Adik Kelas