Setiap 1 Mei, masyarakat memperingati Hari Buruh atau May Day. Jejak sejarah purwa Hari Buruh ini dapat dilacak pada peristiwa demonstrasi pekerja industri di seluruh Amerika Serikat pada 1 Mei 1886. Para buruh menuntuk pemangkasan jam kerja menjadi hanya 8 jam sehari. Waktu itu, aneka pabrik mempekerjakan buruh hingga 18 jam sehari.Â
Kabarnya, hari buruh pertama di Asia diperingati pada 1 Mei 1918 di Hindia Belanda. Adalah Serikat Buruh Kung Tang Hwee Koan yang mengawali peringatan hari buruh ini. Langkah ini diikuti Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda (ISDV). Akan tetapi, buruh dari kalangan penduduk asli belum bergabung.
Baru lah pada 1921, HOS Tjokroaminoto yang disertai muridnya, Sukarno, berpidato sebagai wakil serikat buruh di bawah pengaruh Sarekat Islam.
Tentang sejarah hari buruh di Indonesia, sila baca tulisan Kompas ini.
Merasakan Jadi Buruh
Dalam tulisan pada Hari Buruh ini, saya hendak mengulik memori bertahun silam ketika saya dan teman-teman kuliah diwajibkan menjadi buruh selama beberapa pekan.
Kuliah proyek sosial yang kami ikuti menghendaki agar para mahasiswa dan mahasiswi merasakan sungguh bagaimana rasanya memeras keringat sebagai buruh kasar di perusahaan.Â
Menariknya, kami diminta menyembunyikan identitas kami sebagai mahasiswa selama menjadi buruh. Tidak boleh sedikit pun mendapat keistimewaan saat merasakan kerasnya hidup sebagai buruh.
Tukan Sapu Ganteng di Pabrik Karung
Kami berlima berangkat naik bus AKAP ke kota S. Berbekal surat pengantar dari kampus, kami menghadap perwakilan perusahaan pabrik karung yang bersedia menjadi tuan rumah bagi kami.
"Ya, besok pagi kalian harus kumpul di depan kantor jam 06.30. Nanti ada bus yang akan ke pabrik," kata bapak bagian personalia itu.Â
Esok harinya, kami yang saat itu sedang ganteng-gantengnya berbaur dengan para buruh dalam bus. Sesampai di pabrik, kami menemui Pak Bejo. Sebut saja begitu. Ia adalah kepala tim kebersihan pabrik karung itu. Usianya sekitar 45 tahun. Sawo matang cenderung gelap.Â
Dengan ramah ia menyambut kami. Pak Bejo memperkenalkan kami pada para bawahannya. "Nanti Mas-Mas ini ikut saja bantu para bapak ini, ya. Kalau capek ya ambil nafas dulu," kata Pak Bejo.
Kami mengangguk sambil tersenyum-senyum. Pak Bejo lantas membagi sapu lidi dan aneka perkakas lain. Juga seragam kerja yang sudah lusuh. Ya, namanya juga buruh.
Dilirik Ibu-Ibu
Sebagian waktu kami lewatkan dengan membersihkan area sekitar pabrik. Akan tetapi, bukan berarti kami tidak bisa ngobrol dengan para buruh yang bekerja di dalam pabrik.
Saat menyapu dekat tembok kawat, ibu-ibu yang sedang bekerja melirik kami. "Mas-Mas'e, ganteng-ganteng kok mburuh," celetuk seorang ibu.Â
Kami tertawa. "Prihatin dulu, Bu. Yang penting dapat pengalaman," jawab seorang teman.
Seorang ibu bertanya, "Mas-Mas'e kok bisa dapat magang sini? Ikut orang dalam, ya? Hayo, ngaku!"
Kami bingung bagaimana harus menjawabnya. "Nggak kenal siapa-siapa kok Bu."
Para buruh membawa sendiri bekal penganan ringan. Biasanya mereka membawa air minum untuk menghilangkan dahaga. Di satu ruangan pabrik, sekitar tiga ratusan buruh bekerja membuat karung. Panas.Â
Pabrik menyediakan makan siang sederhana. Jam makan siang diatur bergantian agar mesin-mesin tetap bisa bekerja tanpa henti. Â Pak Bejo mengantar kami ke ruang makan, melewati dapur yang saat itu dipenuhi mbak-mbak juru masak. Ada juga yang manis, lho... Gula maksudnya:)
Penghasilan Tambahan
Sembari makan, Pak Bejo dan bawahannya berkisah tentang suka-duka jadi buruh.Â
"Gaji saya ya kasarannya hanya cukup untuk makan. Untuk bayar sekolah anak sudah berat," tutur Pak Bejo.
"Untungnya, istri saya buka warung di rumah. Lumayan buat tambah-tambah," lanjutnya sambil mengisap rokok murah.
"Lalu, kalau tidak punya usaha lain, gimana dapat penghasilan tambahan, Pak?" tanya saya.
Sejenak Pak Bejo celingak-celinguk kanan-kiri, lalu berbisik, "Buruh perempuan ada yang 'jualan badan', Mas..."
Saya baru ingat, di kota S ini memang ada sejumlah lokasi pelacuran. "Mas, bukan cuma di pelacuran. Ada juga yang di rumah atau kost. Tinggal dijemput atau didatangi saja," terang Pak Bejo.
Mendengar penuturan ini, saya terdiam. Betapa kerasnya hidup bagi kaum buruh. Terngiang lagu Kupu-Kupu Malam yang diciptakan dan dipopulerkan Titiek Puspa:Â
"Ini hidup wanita si kupu kupu malam/Bekerja bertaruh seluruh jiwa raga ...
Dosakah yang dia kerjakan/Sucikah mereka yang datang ...
Oh apa yang terjadi terjadilah/Yang dia tahu Tuhan penyayang umatnya
Oh apa yang terjadi terjadilah/Yang dia tahu hanyalah menyambung nyawa"
Kisah ini saya akhiri dengan sebuah harapan, imbauan, dan doa.Â
Harapan agar pemerintah, pengusaha, dan majikan memandang para buruh sebagai manusia, bukan sekadar angka yang sewaktu-waktu bisa diPeHaKa.
Juga imbauan agar konsumen cermat memilih produk yang dihasilkan perusahaan yang tak merusak lingkungan dan menindas buruh.
Akhirnya, sebuah doa agar para buruh, apalagi di tengah pandemi yang bikin lumpuh dan 'RUU buruh' yang kisruh tetap sehat dan mendapat hak-hak mereka secara utuh.
Jujur, ketika mengetik bagian akhir ini, tak terasa mata saya jadi berkaca-kaca.Â
Untuk sehati-seperasaan dengan kalian, aku tak punya harta.Â
Hanya punya pena penggurat kata dan segudang doa.Â
Selamat Hari Buruh 1 Mei, Pak Bejo. kawan-kawan, dan pembaca sekalian!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI