Korban Hiperealitas?
Perisakan warganet Indonesia terhadap Reemar Martin dan Han So Hee dapat menjadi tanda bahwa warganet kita telah jadi korban hiperrealitas. Teori hiperrealitas dipopulerkan oleh filsuf Prancis, Jean Baudrillard (1929 – 2007).
Baudrillard berpendapat, hiperrealitas adalah ketidakmampuan untuk secara sadar membedakan realitas dari simulasi realitas, terutama dalam masyarakat yang teknologinya sudah maju.
Dalam “ The Procession of Simulacra” (1981/1983), Baudrillard mengemukakan dua ide pokok, yaitu "simulasi" dan "hiperrealitas."
"Simulasi" adalah imitasi yang menggantikan kenyataan. Contoh simulasi adalah saat orang melihat foto acara pernikahan yang indah, lantas berkomentar, "Wow, indah sekali pernikahan ini", padahal kenyataan mungkin tak seindah foto tadi.
Pernikahan yang indah adalah pernikahan yang tampak indah dalam foto. Ini lah contoh simulasi.
Sementara hiperrealitas terjadi saat suatu hasil rekayasa menjadi tampak lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri.
Contoh hiperrealitas adalah Disneyland yang diciptakan sebagai simulasi untuk memenuhi fantasi kita akan negeri dongeng.
Media Sosial dan Tontonan sebagai Simulasi dan Hiperrealitas
Menariknya, seperti dikemukakan Baudrillard, dalam masyarakat modern, tercipta hiperrealitas. Orang sampai tidak bisa lagi membedakan antara yang nyata dengan yang semu.
Ini lah yang sering terjadi saat kita menonton foto-video medsos, sinteron, drama (Korea), dan film. Kita sering terbawa sampai-sampai lupa bahwa yang kita tonton itu cuma simulasi saja.