Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ramadan, Pak Wahab, dan Gus Dur: Kesan Seorang Non-Muslim

24 April 2020   09:13 Diperbarui: 25 April 2020   01:45 1312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KH Abdurrahman Wahid di Musyawarah Nasional Ulama dan Konferensi Besar NU di Pondok Pesantren Quomarul Huda, Mataram, NTB. Foto diambil pada November 1997 (KOMPAS/Eddy Hasby)

Sebagai seorang non-muslim yang dibesarkan dalam lingkungan bineka di Indonesia, saya beruntung dapat mencecap indahnya bulan Ramadan bagi saudara-saudari pemeluk agama Islam.

Puasa selama sebulan sembari berupaya menjalankan aktivitas harian bukan hal sederhana. Apalagi bagi mereka yang berpuasa dan tetap bekerja dengan lebih banyak menguras kekuatan fisik. Pula bagi mereka yang bekerja di ruang terbuka, bermandi terik mentari tropis. 

Sama sulitnya bagi mereka yang harus bekerja dalam situasi kantor atau tempat kerja yang penuh tekanan. Kesabaran diuji sampai batas agar tak marah ketika mendapat perlakuan kurang mengenakkan dari atasan, rekan, dan pelanggan.

Puasa menjadi istimewa pula bagi saudara-saudariku pemeluk agama Islam yang sehari-hari berada atau bekerja di dalam lingkungan mayoritas non-muslim.

Ini yang dialami Pak Wahab Cahyono, almarhum guru kami di sebuah seminari ("pesantren" calon pastor Katolik) bertahun lampau. Saya pernah mengisahkannya di Kompasiana ini, namun selalu saja memori akan sang guru budiman selalu hadir tiap jelang Ramadan.

Pak Wahab, sang guru budiman

Almarhum Pak Wahab, sosok guru muslim budiman akan selalu terpahat di sanubari kami, para murid yang pernah beliau bina. Beliau mengajar geografi dengan gaya beliau yang ceria.

keceriaan kelas Pak Wahab-nikolausharbowo.wordpress.com
keceriaan kelas Pak Wahab-nikolausharbowo.wordpress.com
Suasana teduh kompleks persekolahan dan aroma buah pohon pala yang konon mengandung senyawa pengantar tidur membuat para siswa kadang tertidur di kelas. 

Nah, Pak Wahab punya dua cara unik untuk membangunkan siswanya yang ngantuk. 

Pertama, beliau meminta siswa yang mengantuk untuk maju. "Sini maju ke depan, saya minta tolong temani saya."

Kemudian, Pak Wahab akan mulai membentangkan kedua tangannya. "Nah, satelit penginderaan jauh itu beredar di luar angkasa. Terbang ke sana-sini mengelilingi bumi," ujar beliau sambil "menyentuhkan" tangan terentangnya ke tubuh siswa. 

Tidak sakit sih "disentuh" tangan Pak Wahab. Hanya malu saja karena ketahuan ngantuk. Diketawain teman sekelas lagi. Kapok :)

Kedua, beliau sengaja membawa permen. Saat ada siswa yang mengantuk, beliau melempar permen untuk membangunkan. Yang dibangunkan kaget, malu, tetapi juga senang karena dapat permen gratis. Makin sering ngantuk, makin dapat banyak permen ^_^.

Menariknya, Pak Wahab saat berpuasa tak pernah ikut rehat di ruang guru bersama guru-guru lain yang mayoritas kristiani. Beliau pasti belok arah ke perpustakaan. Mengapa?

"Lo, Pak, kok ke perpus?"

"Ya, saya di sini saja supaya guru-guru lain bisa tetap menikmati kudapan dengan tenang."

Demikian kira-kira dialog yang menggambarkan alasan Pak Wahab tak pergi ke ruang guru saat jam rehat selama berpuasa.

Jawaban itu membuat siapa pun terkesan. 

Kami, kaum non-muslim, sebagian besar sudah terbiasa menyesuaikan diri ketika berada bersama saudara-saudari pemeluk agama Islam yang sedang berpuasa Ramadan.

Kami juga menahan diri untuk tidak makan-minum di hadapan yang sedang berpuasa. Juga mengatur sedemikian rupa agar pembicaraan tak melebar ke hal-hal yang bisa "memancing setan keluar dari sarangnya."

Kali ini, justru Pak Wahab -yang sedang berpuasa-yang menyesuaikan diri demi menghargai orang yang tidak sedang berpuasa. 

Padahal, seandainya Pak Wahab tidak "menyepi" di perpustakaan pun, guru-guru lain pasti rela menyesuaikan diri demi menghargai beliau yang sedang berpuasa.

Itulah sekelumit kisah tentang almarhum guru kami nan budiman. 

Bagi saya, Pak Wahab menjadi cermin penerapan prinsip dalam Islam, Rahmatan lil ‘Alamin yang termaktub dalam QS. Al-Anbiya’ ayat 107.

Gus Dur, tokoh toleransi bangsa, mengatakan dalam sebuah orasi ilmiah di Pasuruan, pada 23 Mei 2005 demikian:

“Tadi kita dengarkan (lantunan) ayat Al-Qur'an: ‘wama arsalka illa rahmatan lil ‘alamin

Di beberapa buah (kitab) Tafsir, rahmatan (di) situ bukan karunia, tetapi dibaca silaturrahim, persaudaraan.

Mudah-mudahan, di tempat ini lah terjadi persaudaraan di antara sesama umat manusia,

alamin di sini ay (berarti) basyar, manusia. Bukan kok isinya alam semua, bukan. Tetapi, manusia. 

Persaudaraan antara sesama manusia. wama arsalka illa rahmatan lil ‘alamin.” 

Akhirulkalam

Wasana kata, mohon maaf bila ada hal-hal dalam tulisan ini yang kurang berkenan di hati saudara-saudariku beragama Islam.

Saya hendak menutup dengan sebuah pantun:

 "Pak Amat jalan sambil dengar lagunya Raisa

Selamat menunaikan ibadah puasa"

Rujukan: 1, 2

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun