Masalahnya, penyebab dentuman mirip meriam itu di aneka belahan dunia juga masih menjadi misteri. Ini dapat kita telusuri dari beragam nama yang diberikan warga aneka negara untuk fenomena skyquake ini.
Orang Jepang menyebutnya uminari (teriakan dari laut). Orang Italia menamainya boato atau bonnito. Orang Filipina menyebutnya retumbos. Warga Argentina menjulukinya cielomoto (gempa langit).
Gejala skyquake ini dapat disebabkan aneka hal, antara lain: sonic boom akibat pesawat atau meteor, resonansi akibat aktivitas kutub magnetik bumi, petir yang terjadi di tempat jauh namun suaranya bisa terdengar.
Menariknya, Judistira, peneliti bidang Astronomi-Astrofisika Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) mengkonfirmasi bahwa dentuman Sabtu pagi itu bukan akibat sonic boom. Tak ada stasiun pengamat yang melaporkan adanya sonic boom.Â
Beberapa dugaan yang masuk akal adalah dentuman itu kemungkinan berasal dari meriam sungguhan atau longsoran bawah tanah. Meski harus diakui, belum ada cukup data untuk sampai pada kesimpulan akhir yang sahih.
Dentuman Dahsyat Gunung Krakatau 1883
Peristiwa dentuman misterius pada Sabtu pagi lalu mengingatkan kita pada dentuman Gunung Krakatau pada 1883. Berbeda dengan dentuman Sabtu pagi yang sifatnya lokal, dentuman Gunung Krakatau terdengar hingga radius 4.828 km jauhnya.
Aneka catatan sejarah mengisahkan kedahsyatan letusan Gunung Krakatau pada 26--27 August 1883. Letusan paling besar terjadi sekitar 10:02 pagi. pada tanggal 27 Agustus 1883. Letusan jumbo ini memicu tsunami besar.Â
Royal Society. lembaga penelitian Inggris melaporkan, perkiraan ketinggian sebenarnya dari gelombang tsunami, sebelum mencapai daratan, adalah sekitar 15 meter.Â
Akan tetapi, beberapa saksi mata di pantai Jawa memperkirakan gelombang mencapai 30-40 meter.Â
Berapa pun tinggi sebenarnya tsunami itu, gelombang dahsyat itu menewaskan 36.417 penduduk kota-kota pesisir dan desa-desa (Thornton 13; Simkin dan Fiske 15).