Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dua Ironi DPR, "Penumpang Gelap" Korona dan Gugatan pada Nurani

9 April 2020   05:01 Diperbarui: 9 April 2020   05:26 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah wabah korona, DPR yang kita pilih dalam Pemilu lalu telah membuat dua ironi. Kamus Besar Bahasa Indonesia V mendefinisikan ironi sebagai "kejadian atau situasi yang bertentangan dengan yang diharapkan atau yang seharusnya terjadi, tetapi sudah menjadi suratan takdir".

Masalahnya, dua ironi DPR kita bukan karena suratan takdir, namun lebih karena egoisme. Betapa tidak, di tengah wabah yang menghantam rakyat, DPR dua kali menunjukkan dua ironi yang sudah kelewatan.

Pertama, tes uji korona massal

Dikutip dari kompas.com, seluruh anggota DPR RI beserta anggota keluarganya direncanakan menjalani tes virus corona di Kalibata dan Ulujami. Ini adalah hasil rapat badan musyawarah DPR. Kebenaran simpulan rapat ini dikonfirmasi pada Sabtu (21/3/2020).

Meskipun tes uji korona ini adalah bagian dari paket asuransi yang didapatkan 575 anggota DPR, tak pelak hal ini menuai kontroversi di tengah sulitnya masyarakat mengakses tes korona.

Bahkan hingga datangnya tes kit korona, hingga kini presentase populasi rakyat yang telah menjalani tes penapisan korona sangat rendah. Penyebabnya, seperti banyak diulas media, pemerintah memprioritaskan tes bagi tenaga medis dan orang-orang terduga korona. Namun, yang tak banyak dibahas media adalah potensi bahwa tes kit korona untuk rakyat justru sebagian dipakai untuk menapis anggota DPR beserta keluarganya. 

Masalahnya, definisi "keluarga DPR" itu sangat luas, tergantung kehendak anggota DPR sendiri. Kita tak pernah tahu, di belakang layar, sudah berapa ribu tes kit korona  di(salah)gunakan untuk menapis anggota parlemen dan pejabat tinggi lain beserta "keluarga mereka".

Kedua, pembahasan aneka RUU penting

Entah mengapa, tetiba para anggota DPR kita rajin membahas aneka RUU penting di tengah wabah. Salah satunya adalah draf RUU Ominbus Law Cipta Lapangan Kerja yang banyak disorot karena dinilai menguntungkan pengusaha, bukan pekerja.

Salah satu poin RUU ini adalah bahwa perusahaan tak bisa lagi dilaporkan oleh pekerja dengan delik pidana, namun hanya sanksi administratif saja.

Selain itu, direncanakan penghapusan cuti panjang bagi pekerja yang telah menjadi karyawan lebih dari 6 tahun. Cuti panjang akan diberikan berdasarkan perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Selain RUU Ciptaker, yang oleh kalangan penentang diplesetkan menjadi RUU Cilaka (celaka) itu, rupanya DPR juga hendak membahas 6 RUU krusial lainnya: RUU Pendidikan Kedokteran, Masyarakat Adat, Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila, Mahkamah Konstitusi (MK), Aparatur Sipil Negara (ASN), dan Perlindungan Asisten Rumah Tangga.

Menebak Maksud DPR, "Penumpang Gelap" Korona

Kalangan pegiat organisasi buruh dan pengamat politik telah menyuarakan kritik terbuka terhadap langkah ironis DPR kita, terutama dalam pembahasan RUU Ciptaker atau Omnibus Law.

Rakyat jelata pun sebenarnya dengan mudah bisa menebak maksud DPR, "penumpang gelap" korona ini. Kiranya resistensi kelompok penentang (buruh dan pemerhati buruh, serta kelompok sipil lain) melemah seiring wabah korona. Kelompok-kelompok masyarakat sipil tentu sulit mengadakan konsolidasi untuk mengajukan koreksi draf RUU dan menggalang massa untuk berdemo.

Pertanyaannya, untuk (si)apa DPR kita tetiba rajin "kejar setoran" di tengah wabah korona?

Dalam situasi  ini, logika sederhana kita mengatakan,"Jika bukan untuk buruh, maka untuk pengusaha". Tentu kebenaran logika ini di lapangan bisa diuji aparat penegak hukum. Benarkah ada deal-deal kotor di balik gerak cepat (gercep) DPR di tengah wabah?

Sangat disayangkan, para wakil rakyat kita seakan menutup mata di tengah derita rakyat kecil akibat korona. Saat pemilu, semua berjanji membela rakyat, eh ketika sudah nyaman di Senayan, rebutan dapat tes korona eksklusif. 

Kita yakin, di antara 575 anggota DPR, ada tokoh-tokoh yang masih dapat kita harapkan. Para petinggi partai politik juga harusnya peka menegur anggota partai yang terpilih jadi dewan agar tak lupa pada kewajiban moral membela rakyat. 

Dengan tulisan sederhana ini, penulis menggugat nurani DPR kita. Setiap keputusan bukan hanya harus dapat dipertanggungjawabkan di dunia, tapi juga di akhirat. Penting diingat: pejabat adalah pelayan rakyat. 

Salam peduli. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun