Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Wahai Indonesia, Mengapa Masih Mabuk Agama Hadapi Corona?

4 Maret 2020   18:30 Diperbarui: 6 Maret 2020   12:16 2029
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wabah Covid-19 akhirnya sungguh menjangkiti warga Indonesia yang tinggal di Indonesia. Dua saudari kita sebangsa menjadi korban pertama dan kedua virus yang telah menyerang puluhan negara di dunia ini.

Amat disayangkan, sebagian tokoh publik dan warga Indonesia masih mabuk agama saat menghadapi wabah corona. Padahal, wabah penyakit seperti corona ini pertama-tama adalah ranah ilmiah, bukan ranah agama.

Pengamatan penulis, ironisnya gejala mabuk agama saat menghadapi corona ini menjangkiti sebagian tokoh-tokoh publik yang semestinya memberikan pencerahan bagi warga. Tokoh-tokoh publik itu termasuk para pemuka agama, politikus, serta influencer.

Beberapa pemuka agama dan tokoh organisasi keagamaan menyatakan bahwa corona adalah tentara Allah. Dikutip dari tribunpontianak.co.id, pemuka agama tersebut mengklaim orang yang berada di Uighur tak terkena virus ini.

Benarkah demikian? Mari kita cermati pernyataan tersebut.

Pada 23 Januari, media pemerintah Cina mengutip otoritas kesehatan setempat di Wilayah Otonomi Uighur di Xinjiang (XUAR) mengatakan bahwa seorang pria berusia 47 tahun yang diidentifikasi dengan nama keluarga Li dan seorang pria berusia 52 tahun yang diidentifikasi sebagai Gu telah dikonfirmasi terinfeksi oleh coronavirus novel ( nCoV). Keduanya pernah ke ibu kota Hubei, Wuhan, tempat virus itu diyakini telah ditularkan pertama kali ke manusia.

Pada hari Selasa, China News Service resmi mengutip informasi yang dipublikasikan di situs web Komite Perawatan Kesehatan XUAR yang mengatakan bahwa 10 orang telah dikonfirmasi terinfeksi Covid-19 di wilayah tersebut pada hari sebelumnya.

Pihak berwenang di Xinjiang telah menempatkan 204 orang di bawah pengawasan di fasilitas medis yang telah melakukan kontak dekat dengan pembawa virus, sembilan di antaranya sejak itu telah boleh pulang, outlet media melaporkan. Demikian informasi dari laman rfa.org.

Data terbaru dari situs pemantauan persebaran Covid-19 John Hopkins University ini, di Xinjiang kasus positif Covid-10 ada 76: 3 pasien meninggal, 68 telah sembuh, dan lima masih dalam perawatan.

Berdasarkan berita tersebut, wilayah Otonomi Uighur di Xinjiang tidak sepenuhnya bebas dari kasus positif corona Covid-19. Jadi, corona yang konon disebut tentara Allah itu juga menyebar ke Xinjiang, daerah yang mayoritas dihuni saudara-saudari pemeluk agama Islam.

Sayangnya, sejumlah otoritas Indonesia justru membela klaim "corona tentara Allah ini". Terbaru, sebuah majelis terkemuka menguatkan klaim tersebut, tanpa memperhatikan data ilmiah yang sangat mudah diakses publik.

Tanpa perlu penulis rinci, belum lama ini ungkapan "Indonesia selamat dari corona karena doa" juga marak diperbincangkan. Penting dicatat, di kalangan umat kristiani pun ungkapan senada beredar dengan pengkalimatan yang berbeda, namun intinya sama. Misalnya, "andalkan pertolongan Tuhan, Indonesia pasti selamat dari corona". Jadi, mabuk agama dalam hadapi corona rupanya menggejala di kalangan warga Indonesia yang beraneka agama.

Survei PEW Research
Mengapa orang Indonesia masih mabuk agama saat hadapi corona? Salah satu alasannya mungkin dapat kita kaitkan dengan hasil survei PEW Research pada tahun 2018 tentang seberapa pentingkah agama bagi Anda.

Penelitian itu menunjukkan bahwa orang dewasa di kawasan Asia-Pasifik terpecah saat menilai peran yang harus dimainkan agama dalam masyarakat mereka. Lebih dari setengahnya di Indonesia (83%), Filipina (58%) dan India (54%) percaya bahwa agama memiliki dampak yang lebih besar pada bangsa mereka saat ini daripada 20 tahun yang lalu.

Secara sederhana, 83 % orang dewasa di Indonesia menilai, agama berperan penting dalam masyarakat saat ini dibanding 20 tahun lalu. Tak heran, orang Indonesia cenderung konservatif dalam hal agama.

Penting dicatat, konservatif di sini bukan suatu yang buruk. Menaati ajaran agama adalah suatu yang mulia. Menjadi masalah ketika setiap hal selalu dikait-kaitkan dengan agama. Inilah yang disebut gejala mabuk agama.

Indonesia Mabuk Agama Hadapi Corona
Dalam menghadapi wabah seperti corona, gejala mabuk agama ini jelas terasa di perbincangan masyarakat kita akhir-akhir ini.Sejumlah politisi mengaitkan "kesuksesan" pemerintah Indonesia menahan corona selama dua bulan lalu (Januari-Februari) sebagai buah dari kesalehan beragama. 

Bahwa doa mampu mencegah wabah, saya sebagai orang beriman dan beragama juga percaya! Akan tetapi, dalam diskursus publik, politikus harusnya tampil dan berbicara dalam ranah politik, bukan agama (tertentu). Terkait isu corona, seorang pejabat politik harusnya berbicara dari sudut pandang ilmiah-kesehatan, bukan keagamaan. 

Gejala mabuk agama ini juga tampak ketika organisasi keagamaan memanfaatkan isu corona untuk  menegaskan ajaran agama (tertentu) di tengah ruang publik masyarakat Indonesia yang sebenarnya binneka. 

Sejumlah pemuka agama, baik mayoritas maupun minoritas, mencampur-adukkan corona dengan tema hukuman ilahi. 

Masalahnya, jika corona adalah hukuman ilahi, mengapa orang-orang lanjut usia dan tenaga medis -yang bukan koruptor jahat - justru jadi korban paling rawan? 

Corona adalah wabah penyakit yang pertama-tama harus kita hadapi secara ilmiah. Sebagai orang beriman, tentu kita percaya, Tuhan YME menyertai kita dalam usaha mengatasi wabah ini. Akan tetapi, menjadi keliru kalau corona digiring ke ranah agama. 

Kita tahu, corona bukan satu-satunya penyakit yang sering digiring ke ranah agama. HIV-AIDS sudah lama disalahpahami sebagai hukuman Tuhan untuk orang berdosa (seksual). 

Padahal, HIV-AIDS tidak muncul dari dosa seksual manusia, melainkan dari mutasi virus hewan yang akhirnya menjangkiti manusia. Ini persis dengan dugaan asal muasal corona Covid-19. HIV-AIDS juga jelas bukan hukuman ilahi. Jika memang suatu hukuman ilahi, mengapa bayi dan istri yang setia pada suami juga bisa jadi korban HIV-AIDS?

Lalu?
Lalu apa yang perlu kita lakukan sebagai bangsa?

Pertama, pejabat publik harus lebih profesional menangani corona dengan pendekatan ilmiah-kesehatan. 

Kedua, pemuka agama dan organisasi keagamaan harus berhenti menyombongkan kesalehan beragama sebagai benteng anticorona. Benteng itu telah runtuh. Seorang santo yang saleh pun bisa terjangkit corona. Negara mayoritas muslim di Semenanjung Arab saja menangani corona secara medis, termasuk dengan membatasi potensi penyebaran wabah di rumah ibadah dan momen ibadah dalam kelompok besar.

Ketiga, masyarakat harus lebih cerdas menyikapi corona secara medis, bukan berdasarkan rasa aman semu karena mabuk agama. 

Sebagai contoh kecil, kontak jarak dekat saat beribadah bersama kiranya perlu dihindari, apalagi jika Anda atau orang di dekat Anda memiliki gejala corona dan atau jelas bahwa daerah Anda kelak dinyatakan sebagai episentrum corona.

Wasana Kata
Tuhan memberikan kita akal budi untuk bertindak secara bijak, juga dalam menghadapi corona. Mari beragama secara bijaksana. Tak perlu mabuk agama dalam menghadapi corona.

Salam. Doa kita bersama agar Tuhan menyertai kita dalam upaya menanggulangi wabah corona di Indonesia dan dunia.

R.B. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun