Kita tahu, corona bukan satu-satunya penyakit yang sering digiring ke ranah agama. HIV-AIDS sudah lama disalahpahami sebagai hukuman Tuhan untuk orang berdosa (seksual).Â
Padahal, HIV-AIDS tidak muncul dari dosa seksual manusia, melainkan dari mutasi virus hewan yang akhirnya menjangkiti manusia. Ini persis dengan dugaan asal muasal corona Covid-19. HIV-AIDS juga jelas bukan hukuman ilahi. Jika memang suatu hukuman ilahi, mengapa bayi dan istri yang setia pada suami juga bisa jadi korban HIV-AIDS?
Lalu?
Lalu apa yang perlu kita lakukan sebagai bangsa?
Pertama, pejabat publik harus lebih profesional menangani corona dengan pendekatan ilmiah-kesehatan.Â
Kedua, pemuka agama dan organisasi keagamaan harus berhenti menyombongkan kesalehan beragama sebagai benteng anticorona. Benteng itu telah runtuh. Seorang santo yang saleh pun bisa terjangkit corona. Negara mayoritas muslim di Semenanjung Arab saja menangani corona secara medis, termasuk dengan membatasi potensi penyebaran wabah di rumah ibadah dan momen ibadah dalam kelompok besar.
Ketiga, masyarakat harus lebih cerdas menyikapi corona secara medis, bukan berdasarkan rasa aman semu karena mabuk agama.Â
Sebagai contoh kecil, kontak jarak dekat saat beribadah bersama kiranya perlu dihindari, apalagi jika Anda atau orang di dekat Anda memiliki gejala corona dan atau jelas bahwa daerah Anda kelak dinyatakan sebagai episentrum corona.
Wasana Kata
Tuhan memberikan kita akal budi untuk bertindak secara bijak, juga dalam menghadapi corona. Mari beragama secara bijaksana. Tak perlu mabuk agama dalam menghadapi corona.
Salam. Doa kita bersama agar Tuhan menyertai kita dalam upaya menanggulangi wabah corona di Indonesia dan dunia.
R.B.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI