Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Tips Menulis Puisi Tanpa Senja, Hujan, dan Kopi

27 Februari 2020   12:47 Diperbarui: 27 Februari 2020   17:48 1240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: coffee-writer.com

Sudah berapa ribu puisi memuat kata senja, hujan, dan kopi? Beberapa memang indah dan romantis. Selain itu, tidak ada larangan menulis puisi dengan kata-kata senja, hujan, dan kopi. 

Saya pun menggunakan kata-kata tersebut dalam puisi anggitan saya. Hanya saja, saya tidak kecanduan senja, hujan, dan kopi. Saya berupaya mengeksplorasi kekayaan bahasa Indonesia dalam tulisan-tulisan saya.

Bahasa Indonesia amat kaya. Pada tahun 2018, jumlah lema dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia V mencapai 109.213 lema. Jumlah lema bahasa Indonesia tak terpaut jauh dengan lema bahasa Inggris dalam kamus Oxford English Dictionary yang memuat 171,476 kata.

Amat disayangkan bahwa banyak penulis dan warga Indonesia enggan membuka kamus untuk mempelajari kekayaan bahasa persatuan kita. 

Ini terlihat, antara lain, dari jumlah pencarian dalam laman KBBI daring pada 2018 yang hanya sekitar 15,7 juta pencarian. Itupun bukan berarti ada 15 juta pengguna karena satu pengguna bisa saja mencari berkali-kali.

Jika pilihan kata yang tersedia di otak kita hanya berkisar pada senja, hujan, dan kopi belaka, hendaknya kita bercermin diri dengan bertanya, "Kenapa cuma kata-kata itu yang aku tahu?"

Apakah karena aku malas membaca? Apakah karena aku terbelenggu pada kata-kata yang kini terlalu banal? 

Nah, pertanyaan berikutnya: apa saja tips agar puisi yang kita tulis tidak hanya mengandung senja, hujan, dan kopi? Inilah tipsnya:

Pertama, rajinlah membuka kamus dan tesaurus.

"Apa? Membuka kamus? Apa pula itu tesaurus? Ah, males banget. Yang penting kan nulis dan orang lain paham."

Nah, pernyataan barusan adalah tanda kemalasan berbahasa yang bisa amat berbahaya. Seorang pencinta bahasa dan penulis sejati justru rajin membuka kamus dan tesaurus untuk aneka tujuan mulia:

  • a) Memeriksa ketepatan ejaan dan makna kata
  • b) Memperkaya perbendaharaan kata, antara lain dengan memeriksa sinonim dan antonim sebuah kata

Percayalah, luangkan waktu untuk membuka kamus dan tesaurus. Amat mudah mendapatkan kamus dan tesaurus versi daring dan luring.

Membaca satu halaman kamus dan tesaurus sudah akan mendatangkan manfaat bagi kita karena kemungkinan besar, ada beberapa kata yang baru kita ketahui setelah membuka kamus. 

Akan menjadi menarik, misalnya, jika kita mencatat dua atau tiga kata baru lantas berusaha memakainya dalam karya-karya kita. 

Alih-alih "hujan", "senja", dan "kopi", kita dapat menggunakan "air langit", "rembang petang", dan "kahwa". Dari mana saya tahu kata-kata "baru" itu? Dari kamus KBBI dan tesaurus daring (sila klik utas) yang bikin tulisan tak garing!

Kedua, rajin membaca karya (sastra) bermutu.

Seorang penulis pemula hanya akan berkembang jika ia rendah hati belajar dari para pendekar dalam dunia kepenulisan. Karena itu, rajinlah membaca karya (sastra) bermutu.

Tak harus membeli, kita bisa meminjam secara luring di perpustakaan, taman baca, dan jejaring book sharing. Juga bisa membaca buku melalui perpustakaan daring, misalnya iPusnas.id.

Penulis-penulis unggul juga kerap memajang karya mereka secara gratis di media sosial dan blog. Artikel-artikel bermutu bisa kita baca gratis di laman media terkemuka. Cerpen dan puisi berkualitas di koran dan media daring pun bisa kita baca sebagai upaya menambah wawasan berbahasa. 

Jangan puas membaca -maaf- tulisan receh serta cuitan medsos yang menawarkan diksi yang itu-itu saja. Luangkan waktu dan tenaga serta uang untuk membaca tulisan berbobot yang sering tak mudah dicerna, tapi kaya makna dan ilmu. 

Catatlah kata-kata dan ungkapan menarik yang tersua dalam karya (sastra) bermutu tersebut. Coba gunakan dalam karya-karya Anda. 

Ketiga, berani menggunakan diksi yang tak banal.

Umumnya kita merasa nyaman dengan diksi yang mudah kita dan pembaca pahami. Akan tetapi, diksi yang tak banal akan memperkaya wawasan kita dan pembaca. 

Saya pernah dibuat terkesima oleh sebuah puisi yang menggunakan kata purwapurna. Segera setelah saya menemukan kata itu, saya membuka kamus KBBI daring. Ternyata purwapurna tidak ada dalam kamus. Akan tetapi, kata purwa yang berarti "mula-mula" tercatat dalam kamus. Lantas, kata purna sebagai bentuk terikat yang berarti "selesai" juga tersua dalam kamus. 

Kata purwapurna kemungkinan besar adalah kreasi penulis dalam menggabungkan dua kata yang berarti "mula-mula" dan "selesai". Bisa jadi kata itu sebuah kata indah dari bahasa daerah atau asing yang belum masuk KBBI. Menarik, bukan?

Kekayaan bahasa daerah juga bisa kita manfaatkan dalam penulisan karya, termasuk puisi. Mengapa tidak menganggit puisi dengan memasukkan perbendaharaan kata bahasa daerah, tentu dengan memberikan catatan kaki agar pembaca mengerti?

Jangan takut menggunakan kata-kata yang belum banyak dikenal. Justru karya kita akan lebih menarik perhatian jika ada kata-kata unik di dalamnya. 

Sebuah cerpen saya yang dimuat sebuah majalah berjudul "Kuyan!". Apa itu kuyan? Kuyan adalah monyet dalam bahasa Dayak di Kalimantan Utara:)

Keempat, berani mengetengahkan tema unik.

Apa hubungannya antara diksi dan tema? Jelas ada hubungannya! Jika pilihan kata kita berkutat pada senja, kopi, dan hujan melulu, besar kemungkinan kita terpenjara pada tema yang amat terbatas.

Tema yang mungkin sering kita angkat adalah nostalgia, percintaan, dan ungkapan hati yang mengharu-biru. Tidak salah mengetengahkan tema-tema itu. Hanya saja, bukankah ada ratusan tema lain yang bisa kita gali?

Mengapa tidak mengetengahkan tema unik dalam karya kita? Tema persahabatan antaretnis, misalnya. Saya pernah menulis puisi bertema persahabatan lintas etnis berjudul Kisah Acong dan Slamet di Hari Imlek (sila klik). Tema unik lain adalah kepedulian sosial di tengah becana banjir.   Contohnya puisi Nanti Kita Cerita tentang Banjir Ini.

Cukup banyak rekan penulis di Kompasiana mengetengahkan puisi-puisi bertema unik. Inspirasinya bisa dari legenda dan hikayat lokal, adat, peristiwa menarik, tokoh inspiratif, karya sastra unggul, dan sebagainya.

Akhirulkalam, selamat mempelajari kata-kata "baru" bahasa Indonesia dan daerah demi memperkaya perbendaharaan kata Anda. Setelahnya, kata-kata "baru" itu dapat Anda gunakan ketika menulis cerpen, puisi, artikel, dan sebagainya.

Jangan lupa menulis tema-tema unik yang selama ini belum sempat digali penulis lain. Niscaya, puisi-puisi Anda tak lagi terbelenggu pada candu senja, hujan, dan kopi!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun