Ada rasa senang yang bercampur keraguan kala menyimak berita mengenai Manajemen Talenta Nasional yang akan mulai berjalan tahun 2020.Â
Kepala Staf Kepresidenan RI, Moeldoko mengatakan, Manajemen Talenta Nasional diharapkan dapat memerbaiki peringkat indikator makro Indonesia yang masih cukup jauh tertinggal dibandingkan negara-negara lain.
Kita tahu, berdasarkan skor PISA (Programme for International Student Assessment) 2018, kemampuan baca, matematika, dan sains siswa Indonesia berada dalam kelompok kurang.
Sedangkan untuk sains, sebanyak 40 persen siswa Indonesia masih berada di bawah kemampuan minimal yang diharapkan.
Manajemen Talenta Nasional ini adalah perwujudkan visi Jokowi-Ma'ruf yang disampaikan presiden terpilih Jokowi dalam pidato Visi Indonesia di Bogor, Minggu (14/7/2019).
Melalui lembaga tersebut, Jokowi mengatakan, pemerintah akan mengidentifikasi, memfasilitasi serta memberikan dukungan pendidikan dan pengembangan diri bagi talenta-talenta Indonesia.
Mulai 2020 tapi Masih Misterius
Manajemen Talenta Nasional (penulis singkat MTN) akan mulai diwujudkan tahun 2020. Menurut rencana, MTN akan diawali dengan pembentukan gugus tugas MTN pada Januari 2020. Lantas, akan dihimpun basis data talenta nasional sektor prioritas.
Pada Agustus 2020, akan diadakan festival talenta nasional. Skema talenta jalur inti akan disajikan November 2020. Puncaknya adalah hadirnya lembaga Manajemen Talenta Nasional pada Desember 2020.
Sayangnya, tiada konsep jelas yang dapat disimak publik terkait rincian Manajemen Talenta Nasional yang sudah akan dimulai dalam hitungan hari.
Pencarian di mesin peramban dengan kata kunci Manajemen Talenta Nasional tak menemukan penjelasan komprehensif yang memuaskan keingintahuan masyarakat. Singkat kata, Manajemen Talenta Nasional masih misterius.
Betapa tidak, siapa yang akan menangani saja masih akan dibahas. Kemungkinan, MTN akan dikelola Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.Â
Nadiem Makarim mengatakan, "Dari sisi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menurut kami, ini gerakan untuk membina dan mengapresiasi talenta secara skala nasional merupakan hal yang penting." (23/12/2019).
Sayangnya, bagaimana gambaran MTN ini masih samar-samar. Agak janggal untuk sebuah program yang digadang-gadang akan membawa perubahan.
"Buat Anak Kok Coba-Coba?
Jujur, pembentukan Manjemen Talenta Nasional sedikit terlambat. Selama ini pemerintah kita, bahkan jauh sebelum Jokowi menjabat presiden, terlalu sibuk dengan gonta-ganti kurikulum.
Anak-anak Indonesia selalu saja jadi kelinci percobaan aneka kurikulum yang entah disusun demi kepentingan (si)apa. Kalimat yang dipopulerkan sebuah iklan kiranya dapat menggambarkan situasi ini, "Buat anak kok coba-coba?"
Tak kurang, Nadiem Makarim sang menteri baru pun langsung gatal untuk mengusulkan gagasan baru bagi anak-anak Indonesia. Ujian nasional akan diganti dengan sistem baru. Akankah berdampak baik? Kita belum tahu. Yang pasti, lagi-lagi anak-anak Indonesia jadi kelinci percobaan tiap kali pergantian menteri pendidikan.Â
Lantas, di mana posisi Manajemen Talenta Nasional nanti? Akankah terintegrasi dengan visi, misi, dan program Kemendikbud? Ataukah ini semacam program sensasional yang akan hangat-hangat tahi ayam? Setelah periode Jokowi-Ma'ruf usai, akankah berlanjut? Siapa yang menjamin keberlanjutannya nanti?Â
Miskin Grand Design
Tanpa bermaksud mencela terobosan pemerintah soal Manajemen Talenta Nasional, kita patut khawatir bahwa MTN ini akan senasib dengan program pemerintah di sektor pendidikan yang kaya jargon tapi miskin grand design.
Grand design yang seharusnya kita miliki adalah semacam GBHN di sektor pendidikan, yang disepakati aneka pihak dan berlaku dalam kurun waktu yang cukup panjang.
Contohlah Finlandia yang berhasil menerapkan grand design kurikulum sejak tahun 1970-an. Di Finlandia, siswa dididik dalam kelas kecil. Amat jarang satu kelas diisi lebih dari dua puluh murid.
Sejak awal siswa diharapkan untuk belajar dua bahasa yang biasa digunakan di sekolah (Finlandia atau Swedia), dan siswa di kelas satu hingga sembilan menghabiskan dari empat hingga sebelas periode setiap minggu untuk mengikuti kelas seni, musik, memasak, pertukangan kayu , logam, dan tekstil. Artinya sejak kecil keterampilan praktis dipadukan dengan kemampuan intelektual.
Menariknya, di FInlandia tidak ada program spesial untuk "anak berbakat". Anak-anak yang lebih cerdas diharapkan dapat membantu teman-teman kelas mereka yang lebih lambat untuk menangkap pelajaran. Hasilnya?
Dalam skor PISA, pada tahun 2012, Finlandia menempati peringkat keenam dalam membaca, kedua belas dalam matematika dan kelima dalam sains. Pada 2003 Finlandia menduduki peringkat pertama dalam sains dan membaca dan kedua dalam matematika.Â
Hemat penulis, jika tak dikelola dengan baik, Manajemen Talenta Nasional mungkin hanya akan membantu anak-anak berbakat untuk makin melaju, tetapi tidak akan banyak membantu anak-anak "biasa" yang masih kesulitan memahami pelajaran sederhana.
Jika tak dirancang dengan memasukkan unsur "yang cerdas membantu yang kurang cerdas", Manajemen Talenta Nasional hanya akan menghasilkan anak-anak super yang kuper dan kurang empati.
Amat baik insiatif pemerintah untuk memuluskan perkembangan anak-anak berbakat di negeri kita, namun apa artinya mereka yang minoritas ini dibandingkan dengan jutaan anak "kurang cerdas" yang justru lebih memerlukan perhatian.
Jika tidak dijamin keberlangsungannya selama setidaknya dua puluh lima tahun, kiranya MTN hanya akan jadi bunga semusim yang layu setelah pemilik kebun berganti.
Salah Prioritas?
Belum lama ini saya menulis tentang kondisi gedung-gedung sekolah yang hampir lebih dari separuh terancam roboh. Simak artikel ini.
Bukankah seharusnya perbaikan gedung sekolah jadi prioritas? Bukankah justru yang penting adalah peningkatan kompetensi guru dan metode pengajaran?
Tengoklah, berapa tahun anak-anak kita belajar bahasa Inggris, namun tak juga percaya diri saat harus bercakap-cakap daily conversation?Â
Jika ingin pendidikan maju, perhatikanlah justru siswa-siswi yang sebagian besar "biasa-biasa saja" itu. Gimana mau belajar dengan tenang hingga jadi pandai, gedung sekolah saja mau roboh? Gimana bisa cerdas, guru saja tak mampu mengajar dengan baik karena kurang pelatihan dan persiapan?Â
Belum lagi, semangat (sebagian) guru honorer mengajar lambat laun merosot karena sudah puluhan tahun jadi guru honorer tapi tak kunjung diangkat.
Oh, lagi-lagi lagu lama Iwan Fals tentang Oemar Bakri tergiang di telinga kita, "Oemar Bakri... Oemar Bakri 40 tahun mengabdi/Jadi guru jujur berbakti memang makan hati."
Sila saja memulai program baru semacam Manajemen Talenta Nasional, tapi tolong perhatikan dulu hal-hal mendasar yang belum terpenuhi!
Kita apresiasi gagasan dan program Manajemen Talenta Nasional, dengan catatan kritis di atas. Salam cinta Indonesia.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H