Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Manajemen Talenta Nasional Mulai 2020 tapi Misterius, Yakin Serius?

23 Desember 2019   17:52 Diperbarui: 23 Desember 2019   20:06 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Trend kemampuan baca, matematika dan sains siswa Indonesia berdasarkan hasil skor PISA dari tahun 2000-2018.(DOK. EOCD)

Contohlah Finlandia yang berhasil menerapkan grand design kurikulum sejak tahun 1970-an. Di Finlandia, siswa dididik dalam kelas kecil. Amat jarang satu kelas diisi lebih dari dua puluh murid.

Sejak awal siswa diharapkan untuk belajar dua bahasa yang biasa digunakan di sekolah (Finlandia atau Swedia), dan siswa di kelas satu hingga sembilan menghabiskan dari empat hingga sebelas periode setiap minggu untuk mengikuti kelas seni, musik, memasak, pertukangan kayu , logam, dan tekstil. Artinya sejak kecil keterampilan praktis dipadukan dengan kemampuan intelektual.

Menariknya, di FInlandia tidak ada program spesial untuk "anak berbakat". Anak-anak yang lebih cerdas diharapkan dapat membantu teman-teman kelas mereka yang lebih lambat untuk menangkap pelajaran. Hasilnya?

Dalam skor PISA, pada tahun 2012, Finlandia menempati peringkat keenam dalam membaca, kedua belas dalam matematika dan kelima dalam sains. Pada 2003 Finlandia menduduki peringkat pertama dalam sains dan membaca dan kedua dalam matematika. 

Hemat penulis, jika tak dikelola dengan baik, Manajemen Talenta Nasional mungkin hanya akan membantu anak-anak berbakat untuk makin melaju, tetapi tidak akan banyak membantu anak-anak "biasa" yang masih kesulitan memahami pelajaran sederhana.

Jika tak dirancang dengan memasukkan unsur "yang cerdas membantu yang kurang cerdas", Manajemen Talenta Nasional hanya akan menghasilkan anak-anak super yang kuper dan kurang empati.

Amat baik insiatif pemerintah untuk memuluskan perkembangan anak-anak berbakat di negeri kita, namun apa artinya mereka yang minoritas ini dibandingkan dengan jutaan anak "kurang cerdas" yang justru lebih memerlukan perhatian.

Jika tidak dijamin keberlangsungannya selama setidaknya dua puluh lima tahun, kiranya MTN hanya akan jadi bunga semusim yang layu setelah pemilik kebun berganti.

Salah Prioritas?
Belum lama ini saya menulis tentang kondisi gedung-gedung sekolah yang hampir lebih dari separuh terancam roboh. Simak artikel ini.

Bukankah seharusnya perbaikan gedung sekolah jadi prioritas? Bukankah justru yang penting adalah peningkatan kompetensi guru dan metode pengajaran?

Tengoklah, berapa tahun anak-anak kita belajar bahasa Inggris, namun tak juga percaya diri saat harus bercakap-cakap daily conversation? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun