Padahal, foto-foto liburan juga lah yang banyak memancing orang untuk jadi pengikut seseorang di Instagram, misalnya.Â
Jika kebetulan calon influencer itu memang aktif berjualan daring, tentu saja kemungkinan besar pengikutnya banyak. Lalu bagaimana nasib ASN dan PNS yang bukan siapa-siapa? Tentu akan sulit meraih 500 pengikut, meskipun mereka ini punya kualitas pribadi untuk jadi influencer yang baik.
Ketiga, apa urgensi menjaring influencer?
Bisa dipahami, selama ini komunikasi pemerintah terkesan formal dan tak merakyat sehingga pemerintah merasa perlu merekrut influencer dari kalangan ASN dan PNS. Namun, apa urgensinya?Â
Saat anggaran dan perhatian seharusnya dicurahkan untuk masalah-masalah yang amat mendesak, mengapa pemerintah membuat perekrutan influencer ASN dan PNS?
Sekolah-sekolah di negeri ini banyak yang rusak berat. Kemiskinan di desa dan kota masih mencolok mata. Bukankah lebih baik memfokuskan anggaran dan perhatian untuk rakyat miskin dan sekolah yang hampir ambyar?Â
Bukankah lebih baik mengangkat kesejahteraan guru-guru honorer ketimbang menghamburkan uang untuk merekrut influencer?
Contohlah Pemkot Semarang yang mulai tahun depan menggratiskan tiga puluh sekolah swasta. Baca artikel ini.Â
Tak perlu influencer, perkuat saja tim dokumentasi dan publikasi tiap kementerian agar mampu memproduksi konten yang menarik minat warga(net).Â
Keempat, apakah tidak mengganggu konsentrasi ASN dan PNS?
Tanpa menjadi influencer saja sebagian ASN dan PNS sudah banyak tergoda dengan pemakaian gawai di jam kerja. Apalagi jika jadi influencer...