Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

A.R. Baswedan-Liem Koen Han: Lupakan Arab dan Cina, Indonesia Tanah Airmu

28 Oktober 2019   16:21 Diperbarui: 28 Oktober 2019   16:30 613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kolase foto wikipedia.id

Sejarah perjuangan Abdurrahman Baswedan dan Liem Koen Han, dua tokoh pemersatu bangsa, amatlah menarik. Abdurrahman Baswedan, kakek Gubernur DKI Anies Baswedan adalah pahlawan nasional. Sementara itu, Liem Koen Han memang bukan pahlawan nasional, namun pernah berjasa besar bagi persatuan Indonesia.

Ar Baswedan dan Konteksnya
Suratmin dan Didi Kwartanada dalam buku AR Baswedan: Membangun Bangsa, Merajut Keindonesiaan menjelaskan konteks sejarah AR Baswedan. 

Pada zaman pendudukan Belanda atas daerah yang lantas disebut Hindia Belanda, orang (keturunan) Arab terpecah menjadi dua: sayyid  (keturunan Nabi Muhammad) dan bukan sayyid.

Selain itu, orang (keturunan) Arab di Nusantara juga terbagi menjadi kelompok kaum Arab asli dan kaum keturunan Arab. Kaum Arab asli lahir dan besar di negeri Arab, umumnya di Hadramaut (Yaman Selatan). Sementara itu, golongan Arab peranakan lazimnya adalah anak-anak dari perkawinan campuran serta lahir dan tumbuh besar di Nusantara.

Kaum Arab totok dan kaum Arab peranakan berselisih paham mengenai identitas serta tanah air mereka. Kaum Arab asli berpendapat, Indonesia hanyalah negeri tempat mereka merantau. Sementara itu, golongan keturunan Arab menganggap Indonesia adalah tanah air mereka, bukan Hadramaut. 

AR Baswedan yang lahir di Surabaya, 9 September 1908 adalah peranakan Arab. Namun, karena lahir dan dibesarkan di Surabaya, beliau juga bercakap dengan bahasa Jawa logat Surabaya. Sebagai keturunan Arab yang cinta Indonesia, beliau terpanggil untuk mempersatukan dua kelompok Arab di Hindia Belanda yang berselisih paham soal tanah air mereka.

Inspirasi dari Liem Koen Hian
Dari mana A.R. Baswedan mendapat inspirasi untuk mempersatukan kaum Arab di Hindia Belanda agar mendukung tanah air yang satu, Indonesia? Rupanya, beliau mendapat inspirasi dari Liem Koen Hian, pemimpin redaksi Sin Tit Po, harian Melayu-Tionghoa.

Sejarah mencatat, A.R Baswedan berjumpa dengan Liem Koen Hian pada  tahun 1932, di Surabaya. Baswedan lantas menjadi wartawan surat kabar yang mendukung pergerakan nasional itu.

Sosok Liem Koen Hian
Liem Koen Hian adalah anak pedagang peranakan Tionghoa. Ia lahir di Banjarmasin pada 1897. Setelah sempat menjadi wartawan di sebuah harian di Banjarmasin, Koen Hian pindah ke Surabaya. Di kota ini ia menjadi pewarta di harian Tjhoen Tjhioe. 

Koen Hian sempat melanglang buana ke Aceh dan Padang sebelum kembali lagi ke Surabaya. Pada tahun 1921, ia menjadi pemimpin redaksi Pewarta Soerabaia. Pada tahun 1925, Koen Hian memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya itu dan mendirikan Soeara Poeblik yang  bertahan hingga tahun 1929.

Selain menjadi wartawan, Liem Koen Hian aktif dalam pergerakan politik. Pada tahun 1932, Koen Hian mendirikan Persatuan Tionghoa Indonesia (PTI) yang mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Pada tahun 1932 itulah, A.R. Baswedan berjumpa dengan Liem Koen Hian yang menawarinya untuk menjadi anggota redaksi Sin Tit Po. Saat itu Koen Hian mengatakan bahwa Sin Tit Po bukan lagi koran Tionghoa, melainkan koran bagi bangsa kulit berwarna.

A.R. Baswedan Persatukan Kaum Arab Hindia Belanda
Langkah Koen Hian mendirikan Partai Tionghoa Indonesia rupanya mendorong A.R Baswedan untuk mendirikan Persatuan Arab Indonesia (PAI). Sama seperti Partai Tionghoa Indonesia, PAI juga mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia.

A.R. Baswedan berusaha menjalin perdamaian dengan mengundang kedua kelompok kaum (keturunan) Arab yang berselisih paham (sayyid dan bukan sayyid) dalam berbagai pertemuan. Setelah diskusi panjang dan melelahkan, akhrinya berhasil dicapai kompromi antara dua kelompok tersebut. Salah satu kompromi itu ialah penghilangan gelar sayyid. 

Pada tahun 1933, A.R. Baswedan pindah kerja untuk menjadi Redaktur Harian Soeara Oemoem di Surabaya yang dipimpin dr. Soetomo. Tahun berikutnya, ia menjadi Redaktur Harian Matahari di Semarang.

Dalam Harian Matahari edisi 1 Agustus 1934, A.R. Baswedan sang keturunan Arab mengenakan blangkon dan surjan. Foto ini ia gunakan sebagai ilustrasi untuk tulisannya berjudul Peranakan Arab dan Totoknya. Foto dan tulisan inilah yang mendorong "revolusi" di kalangan peranakan Arab di Indonesia: mereka disadarkan bahwa tanah air mereka adalah Indonesia, tanah tempat mereka lahir dan dibesarkan.

Menariknya, setelah dipercaya untuk menjalankan roda organisasi PAI, A.R Baswedan memilih untuk mundur dari jabatannya di Harian Matahari. Padahal koran itu memberinya gagi 120 gulden, yang dapat digunakan untuk membeli 24 kuintal beras pada masa itu.
Menjawab pertanyaan mengapa ia mengambil keputusan berani itu, ia mengatakan, "Demi perjuangan". 

Ia lantas menjadi pemimpin redaksi Majalah internal PAI, Aliran Baroe (1935-1939).

Kiprah A.R Baswedan terus berlanjut. Pada era 1950-an, ia menjadi pemimpin Majalah Nusaputra di Yogyakarta. Baswedan bekerja di Harian Mercusuar, Yogyakarta kemudian penasihat redaksi Harian Masa Kini, juga di Yogyakarta (periode 1970-an).

Hikmah Perjuangan Liem Koen dan A.R. Baswedan
Buya Syafii Maarif dalam artikelnya di Kompas, 16 April 2011 menulis bahwa filosofi Liem Koen Hian dan A.R. Baswedan adalah "Lupakan itu Daratan Cina, lupakan itu Hadramaut. Tanah airmu bukan di sana, tetapi di sini, Indonesia'.  

Sungguh menarik, Liem Koen Hian yang keturunan Cina menjalin kolaborasi dengan A.R. Baswedan yang adalah peranakan Arab demi perjuangan kemerdekaan Indonesia. 

Tahun-tahun terakhir ini, kesatuan tanah air kita dirong-rong oleh persaingan politik dengan menggunakan isu SARA. Juga di kalangan pemuka agama, terjadi persaingan di mana ada pihak-pihak tertentu yang mengklaim lebih unggul karena mereka adalah keturunan asli bangsa tertentu. 

Seandainya kita semua belajar dari sejarah Liem Koen dan A.R Baswedan, perselisihan semacam ini tak perlu terjadi. Pada era 1930-an, setelah Sumpah Pemuda, sungguh nyata kesatuan para pemuda kita dari aneka latar belakang SARA untuk kemerdekaan Indonesia. 

Dua tokoh ini menjadi bukti bahwa kemerdekaan Indonesia diraih dengan perjuangan segenap anak bangsa dari aneka latar belakang suku, agama, dan ras. Tidak penting lagi keturunan Arab, Cina, atau ras mana pun. Yang penting kita menyadari bahwa kita adalah satu bangsa dan satu tanah air Indonesia.

Sumber:
id.wikipedia.org/wiki/Abdurrahman_Baswedan
id.wikipedia.org/wiki/Liem_Koen_Hian
arbaswedan.id
liputan6.com 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun