Wilayah Pan-Amazonia amat penting bagi kelestarian bumi dan manusia. Wilayah ini mencakup sembilan negara: Brazil, Bolivia, Peru, Ekuador, Kolombia, Venezuela, Guyana, Suriname and Guyana Perancis dan didiami oleh 34 juta penduduk, termasuk tiga juta suku-suku asli dari 390 kelompok etnis.
Hutan Amazon adalah rumah bagi keanekaragaman hayati. Diperkirakan 30 sampai 50 persen spesies flora dan fauna di dunia hidup dalam harmoni di Amazon. Amazon menyimpan 20 persen air tawar dunia. Amazon adalah sepertiga dari hutan dunia. Amazon mencakup 7,5 juta kilometer persegi wilayah biosfer.
Kebakaran hebat melanda hutan Amazon baru-baru ini. Kebakaran hutan Amazon tahun 2019 ini adalah kebakaran terparah sejak kebakaran tahun 2010.
Di Brazil saja, separuh lebih dari 77 ribu titik api terjadi di kawasan Amazon sepanjang tahun 2019. Jumlah titik api ini meningkat 85 persen dari periode yang sama pada tahun lalu. Â
Kebakaran hutan di Brazil mulai mendapat perhatian dunia sejak 19 Agustus lalu, saat langit Sao Paulo tertutup asap pekat. Warganet Brazil dan dunia ramai-ramai mencuit dengan tagar PrayforAmazonas di Twitter.
Diduga kuat, yang terjadi di Amazon bukanlah kebakaran hutan, namun pembakaran hutan. Ane Alencar, direktur sains IPAM (Institute of Environmental Research in Amazonia) mengatakan bahwa api yang membakar Amazon secara langsung terkait pembukaan hutan secara ilegal.
Kepada laman Mongabay.com, Alencar menyatakan, oknum pembakar hutan menebang pepohonan, membiarkan kayu mengering, lalu membakar kayu-kayu itu agar abunya kelak menyuburkan tanah. Saat hujan tiba kelak, rumput untuk pakan ternak akan tumbuh subur. Â
Singkat kata, menurut Alencar, pembakaran hutan Amazon terkait dengan praktik deforestasi demi membuka padang penggembalaan.
Sementara itu, Itacir Brassiani, pemerhati isu lingkungan di Brazil mengatakan, deforestasi di Amazon juga terkait dengan pertanian kedelai yang dilakukan perusahaan pertanian skala besar. Membakar hutan memang cara paling murah untuk membuka lahan pertanian dan penggembalaan ternak.
Suku-suku Asli Penjaga Amazon
Brassiani mengatakan, dirinya yakin bahwa penduduk asli Amazon tidak akan pernah membakar hutan. Sebabnya, bagi suku-suku asli Amazon, hutan adalah rumah mereka sendiri.
Salah satu suku penjaga Amazon ialah suku Yanomani dengan jumlah 19 ribu jiwa. Suku yang mendiami 9,4 juta hektare wilayah Amazon utara ini menanam 500 jenis tanaman pangan, obat, dan kayu tanpa harus merusak hutan di sekitar mereka. Tokoh suku Yanomani, Davi Kopenawa menandaskan, jika sukunya merusak alam, artinya sukunya sedang menyakiti diri sendiri (survivalinternational.org).
Mirisnya, pembakaran hutan Amazon makin merugikan bukan hanya hutan, namun juga suku-suku asli Amazon. Sebagian dari mereka terpaksa meninggalkan wilayah mereka demi menyelamatkan diri dari pembakaran hutan.
Ekologi IntegralÂ
Yang perlu kita jadikan cara pandang bersama adalah konsep ekologi integral. Menurut konsep ekologi integral, alam tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang terpisah dari diri kita.Â
Selain itu, apa yang terjadi di suatu wilayah pasti akan memengaruhi seluruh bumi. Kita tak boleh lagi berpikir bahwa bencana ekologi di suatu negara atau wilayah yang jauh tidak akan memengaruhi hidup kita.
Karena itu, kita harus mengubah cara pandang. Bumi ini adalah rumah kita bersama. Kita harus bersatu sebagai sesama warga bumi ini untuk menjaga keutuhan alam ciptaan Tuhan.
Setiap insan harus meningkatkan pendidikan cinta alam. Keluarga adalah tempat pertama dan utama untuk mengajarkan dan menghidupi kecintaan pada alam dalam keseharian. Mengajarkan kemampuan untuk bersyukur atas ciptaan Tuhan amat penting agar anak dan generasi muda peduli akan pelestarian alam.
Mentalitas buruk yang harus dijauhi adalah perilaku suka membuang barang yang masih bisa dipakai, sikap konsumtif, dan sikap tak peduli pada pengelolaan sampah dan limbah.
Komunitas akar rumput dan lembaga politik juga harus mengkampanyekan kecintaan pada bumi sebagai rumah kita bersama. Lembaga penegak hukum harus menjamin hukuman setimpal bagi oknum perusak alam.Â
Karhutla Menggila di Indonesia
Saat tulisan ini dibuat, belum padam kebakaran hutan di Amazon, Indonesia juga mengalami hal serupa.
Ratusan hektar hutan dan lahan gambut di Sumatera dan Kalimantan membara. Diduga kuat ini akibat pembakaran hutan dan lahan gambut (karhutla) oleh sejumlah perusahaan perkebunan yang tak bertanggung-jawab.
Berbeda dengan Amazon, sebagian besar wilayah yang terbakar (atau dibakar) di Indonesia adalah lahan gambut. Lahan gambut mampu menyimpan bara api dalam waktu lama di bawah permukaan tanah. Akibatnya, pemadaman amat sulit dilakukan.
Yang amat disayangkan, Indonesia masih saja tergagap-gagap menanggulangi bencana asap. Meski diklaim menurun drastis, titik-titik karhutla sejatinya tetap ada setiap tahunnya.Â
Sudah rahasia umum, karhutla terkait erat dengan pembukaan lahan dengan biaya termurah untuk perkebunan skala besar. Tahun ini, salah satunya karena kurang antisipasi dan penindakan hukum, karhutla meluas dan mengganas.
Asap Jauh, Kita Santuy-santuy Aja...
Mirisnya, sebagian dari kita menganggap bencana asap sebagai rutinitas tahunan yang memengaruhi sebagian saja wilayah negeri kita. Asal daerahku tak dicekik asap, aku tenang-tenang saja. Asalkan asap masih jauh di tempat lain, aku santai-santai saja.Â
Sikap tak peduli juga merebak saat sebagian dari kita beranggapan, pemerintahlah yang harusnya bertindak, bukan kita.
Bertolak dari konsep ekologi integral, kita tidak boleh lagi berpikiran sempit seperti anggapan-anggapan di atas. Karhutla di Kalimantan dan Sumatera memengaruhi bumi, rumah kita bersama.Â
Setiap bencana lingkungan adalah urusan kita, sesama penduduk bumi (dan negara) yang sama.
Tak peduli apalah bencana itu terjadi di tempat mana, entah jauh atau dekat dengan kita. Bukankah kita menghirup udara yang sama dan menginjak bumi yang sama?
Kita yang tinggal di dekat lokasi bencana ekologis harus ikut terjun dalam upaya pencegahan dan penanggulangan bencana. Yang tinggal jauh dari lokasi bencana ekologis harus ikut mendukung dengan donasi dan dukungan moral.
Jadikan isu kecintaan alam sebagai bahan obrolan di warung dan kampung. Angkat isu pelestarian alam dalam tulisan di media sosial dan media massa. Dukung petisi dan demo damai untuk mendorong pemerintah untuk bertindak cepat menangani bencana ekologis dan menghukum para perusak alam.
Sebagai masyarakat warga, kita harus ikut berkontribusi melestarikan bumi, satu-satunya planet yang bisa kita huni. Saat untuk bertindak adalah sekarang. Kita harus bergandeng tangan melestarikan alam ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H