Batik truntum berpola halus dan bersahaja. Ia adalah harmoni taburan bunga-bunga abstrak kecil atau bunga yang mirip  kuntum bunga melati.
Batik truntum konon lahir dari kisah cinta yang terjadi sekitar tahun 1749--1788 M di Surakarta.Â
Alkisah, Ratu Kencono atau Ratu Beruk, seorang permaisuri merasa sedih karena suaminya, Paku Buwono III lebih memperhatikan selir barunya. Ratu Kencono dalam kegundahannya tekun bersembahyang.Â
Suatu malam, sang permaisuri memandang langit cerah bertabur bintang. Seakan bintang-bintang itulah yang menemai dirinya yang kesepian. Di malam nan sunyi itu, bunga tanjung berguguran di taman. Wangi semerbaknya menghibur sang permaisuri yang sedang dilanda sepi.
Sang permaisuri lantas tergerak untuk mengambil canting dan mulai membatik. Motif yang ia lukis ialah rangkaian bunga-bunga kecil.Â
Setiap malam, demi mengusir sepi, Ratu Kencono membatik sembari berdoa pada Hyang Kuasa. Suaminya lambat laun tahu kebiasaan baru sang permaisuri. Sang Raja terpesona oleh keindahan batik yang dilukis permaisurinya.Â
Perlahan, cinta sang Raja pada sang Ratu bersemi kembali, seperti bunga-bunga yang mekar di kain batik buatan sang Ratu. Itulah mengapa sampai kini batik truntum menjadi simbol cinta yang senantiasa bersemi.Â
Batik Truntum dalam Adat Jawa
Batik truntum yang menyimbolkan kasih-sayang antara manusia masih populer dalam adat Jawa Tengah dan DIY. Lazimnya pengantin perempuan dalam acara midodareni dan acara panggih mengenakan batik truntum.Â
Selain itu, kedua orang tua mempelai juga mengenakan batik truntum saat resepsi pernikahan. Maknanya, orang tua juga menjadi teladan kesetiaan cinta bagi putra-putri yang kini telah membangun bahtera rumah-tangga baru. Kita tahu, dalam menjaga keharmonisan keluarga baru, diperlukan pula harmoni antara mertua dan menantu.Â