Suatu ketika, 26 Agustus 2018, saya berkesempatan membantu sebuah gereja di Italia Utara. Nama gereja paroki itu adalah Paroki Nostra Signora Lourdes di Asti, sebuah kota dekat Turin (Torino), kandang tim sepak bola Juventus.
Suatu sore, saya duduk-duduk di kursi di halaman gereja tersebut. Waktu itu hari telah senja. Seorang pria masuk ke halaman gereja. Ia menggelar semacam alas. Tadinya saya tak begitu memerhatikan pria itu. Saya pikir, ia mau beristirahat sejenak di samping gereja.
Ternyata, dari gerak tubuhnya, saya paham bahwa pria itu tidak sedang beristirahat, namun sedang menjalankan salat. Saya juga heran, mengapa ia memilih menjalankan salat tepat di samping tembok gereja. Apalagi, sore itu sedang berlangsung perayaaan Ekaristi di dalam gereja.
Saya menunggu sampai pria saleh itu selesai salat. Setelah usai bersembahyang, pria itu tak langsung pergi. Ia duduk di depan pintu gereja sambil membawa sebuah tas besar.
Rupanya tas itu berisi barang dagangan. Sang pria itu menjual peralatan cuci piring. Saya mendekati pria itu. Saya beranikan diri menyapanya dengan berkata, "Assalamualaikum". Sang pria segera menjawab, "Waalaikumsalam".Â
Ia tampak sedikit terkejut mendengar salam saya. Maklum, yang mengucapkan salam itu adalah saya, bukan seorang yang seagama dengannya. "Saya dari Indonesia. Saya juga punya paman dan bibi beragama Islam," kata saya padanya.Â
Ia memperkenalkan dirinya, "Saya Omar dari Maroko." Obrolan kami berlanjut tentang dagangan yang ia bawa. Omar telah beberapa waktu bermigrasi ke Italia untuk mencari penghidupan yang lebih baik bagi keluarganya. Ia berjualan peralatan cuci piring untuk menghidupi istri dan anak-anaknya.
Ia berkeliling menjajakan barang dagangannya ke banyak tempat, juga di depan gereja-gereja. Saya menduga, Omar sudah hafal jadwal perayaan Ekaristi atau misa di gereja-gereja di kota Asti ini.Â
Tujuannya agar ia dapat menjaring pembeli dari antara umat Katolik yang pulang dari gereja ke rumah masing-masing. Karena itulah ia datang tepat saat di gereja sedang ada ibadat.
Yang membuat saya kagum, Omar menjalankan semboyan latin "Ora et Labora": Berdoa dan Bekerja. Sebelum menggelar dagangannya, ia menjalankan salat, tepat di samping tembok gereja.Â
Sekadar catatan, setahu saya tidak ada masjid di kota Asti ini. Maklumlah, saudara-saudari beragama Islam adalah minoritas dan pendatang "baru" di kota kecil ini.
Dari obrolan kami, saya menangkap bahwa Omar menganggap gereja dan masjid itu sama-sama tempat beribadah pada Yang Kuasa. Maka dari itu ia tak canggung menjalankan salat di samping Gereja, juga saat umat Katolik sedang merayakan Ekaristi. Omar menjalankan dengan khusyuk, tanpa berpikir soal "najis atau tidak najis".Â
Saya juga yakin, seandainya saya tanya apakah Omar merasa terganggu dengan keberadaan salib dan patung Bunda Maria di sekitar tempat ia menjalankan salat, ia akan menjawab "tidak". Nyatanya dengan khusyuk Omar menjalankan salat tepat di sebelah tembok gereja dan di dekat patung Bunda Maria di halaman gereja.
Seandainya Omar bisa saya tanya saat ini, saat heboh video salib dan "jin kafir" terjadi, saya juga yakin Omar akan menjawab dirinya tak takut atau terganggu dengan "jin kafir" yang konon hadir dalam salib.Â
Ah, kalau soal "jin kafir" atau "jin tidak kafir", justru para "ahli Tuhan" seperti saya yang suka membahas, bukan orang-orang sederhana nan saleh seperti Omar.Â
Pribadi sederhana seperti Omar justru membuktikan, iman itu bukan pertama-tama bahan perdebatan dan pertengkaran, tapi kesadaran bahwa semua manusia bersaudara sebagai makhluk Tuhan Yang Esa. Dan iman tak luntur hanya gegara melihat simbol agama lain.Â
Salam persaudaraan dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H