Mentari senja mulai tenggelam di ufuk barat. Sinar-sinar terakhirnya memantul di permukaan air Sungai Kelai. Sore itu arus Kelai terbilang tenang. Hanya beberapa perahu ketinting milik orang-orang Kelai yang mengusik ketenangannya.
Dari serambi pastoran yang tak jauh dari tepi sungai, Pastor Deni menikmati pemandangan senja itu. Pandangannya lantas melayang ke ladang-ladang orang Kelai di seberang sungai. Tahun ini ladang tak memberi banyak hasil.
Padi diserang hama. Jagung nyaris habis setelah dijarah kawanan monyet. Tadinya, ketika hutan di belakang ladang orang Kelai masih lestari, monyet tak pernah menyatroni ladang. Setelah perusahaan sawit mulai membabat hutan dari hulu sampai daerah dekat Kelai, monyet kehilangan buah-buahan kesukaannya. Terpaksa mereka serbu jagung yang masih tanggung.
"Selamat sore, Pastor". Pastor Deni sedikit terkejut mendengar suara itu. "Oh...Pak Alung. Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya pada pria renta itu. "Ada undangan rapat untuk Pastor. Jam delapan besok di balai adat. Kami minta pendapat Pastor soal tawaran dari PT sawit," Â jawab sang ketua adat dengan raut wajah muram.
Pastor Deni menghela nafas panjang. Ia tahu segawat apa persoalan yang mengusik hati Pak Alung dan orang-orang Kelai akhir-akhir ini. Sebulan lalu para petinggi perusahaan sawit mendatangi para tetua adat. Orang-orang bermulut manis itu ingin membeli ladang orang-orang Kelai. "Kami beli sehektar 5 juta. Nanti kami angkat kalian jadi karyawan. Sebulan kami gaji 2 juta. Itu lebih baik daripada berladang," bujuk mereka.
Sejak tawaran itu datang, kampung terbelah jadi dua. Sebagian besar ingin segera menjual ladangnya. Hanya segelintir yang masih ingin pertahankan ladang peninggalan leluhur. Tetapi yang segelintir inipun kini mulai goyah setelah Pak Ibung, sang kepala desa, menebar pengaruh. "Untuk apa punya ladang tapi tidak bisa makan?", begitulah pertanyaan Pak Ibung pada sebagian warganya yang menolak sawit.
Sejak datang sebagai pastor muda lima tahun lalu, baru kali ini Pastor Deni melihat orang-orang Kelai berkelahi, meski hanya adu mulut saja. Di dermaga, di ladang, di depan gereja, orang-orang ramai berdebat kusir soal rencana menjual ladang. "Dasar monyet!". Makian itu semakin sering terdengar ketika adu mulut memanas. Pastor Deni tahu, sebagai pastor di desa yang sebagian besar warganya Katolik itu, ia diharapkan turun tangan.
***
Balai adat Kelai yang biasanya lengang mendadak gaduh. Riuh-rendah cakap orang-orang bersitegang. Pak Ibung sibuk menebar janji manis dari petinggi perusahaan. "Kalau besok sawit masuk desa kita, kita akan kaya. Sudahlah, jual saja tanah kita. Toh nanti kita tetap kerja di tanah kita itu. Bedanya, kita makan gaji dari PT. Setuju dukung sawit?" tanya Pak Ibung.
"Setujuuu," seru para pendukungnya.
"Tidak, tidak, saya tidak setuju. Kalau semua tanah warisan nenek-moyang kita jual, lalu apa warisan kita untuk anak-cucu kita?" tukas Pak Alung.
Mendengar itu, Pak Ibung berkomentar, "Bukankah gaji dari PT sawit bisa kita pakai untuk biaya sekolah anak-anak kita? Untuk apa punya ladang tapi hidup sengsara? Pak Alung jangan bawa-bawa nenek moyang untuk urusan uang. Cuma monyet yang tak tahu artinya uang!"
"Apa? Kau samakan aku dengan monyet? Mana hormatmu pada orang tua?" hardik Pak Alung yang mulai naik pitam.
"Bukan ... bukan begitu maksud saya. Saya cuma ingin supaya pikiran kita terbuka. Menolak sawit itu sama saja menolak kemajuan," jawab Ibung.
"Sabar dulu Pak Alung, biar saya bicara," tutur Pastor Deni untuk menenangkan suasana. "Kita semua ingin Kelai ini maju. Tapi apa benar dengan menjual ladang, kita akan lebih makmur? Cobalah tanya pada orang-orang di hulu sana yang terlanjur menjual tanahnya. Mereka akhirnya cuma jadi buruh di tanahnya sendiri."
Pak Ibung tampak tak tenang. "Sebentar, Pastor. Pimpinan PT menjamin, semua warga yang menjual ladangnya akan dijadikan karyawan. Gaji bulanan lebih dari cukup. Apa salahnya kita terima?"
"Maaf Pak Ibung, jangan mudah menebar janji. Sebulan lalu ketika saya ke hulu, saya dengar warga di sana kecewa dengan perusahaan sawit. Warga akhirnya cuma diangkat jadi pegawai rendahan. Gaji tak sepadan dengan kerja keras dari pagi sampai sore di kebun sawit," ujar Pastor.
"Benar. Saudara saya di hulu juga bicara seperti itu," timpal Pak Alung.
"Tapi perusahaan yang mau membeli tanah kita bukan seperti perusahaan di hulu itu," sergah Ibung.
"Biarpun perusahaannya beda, toh kita tetap saja akan sengsara. Saya lihat sendiri betapa rakusnya sawit menyerap air. Anak sungai jadi kering setelah ladang sekitarnya ditanami sawit. Setelah pohon sawit tua, akarnya mencengkeram tanah. Tak bisa lagi kita bertanam di ladang bekas sawit. Lagipula pupuk dan obat untuk sawit bisa mencemari sungai. Apa kita mau minum dan mandi air beracun?" tantang Pastor.
Seisi balai adat terdiam setelah mendengar kata-kata Pastor Deni. Sebagian yang tadinya mendukung Pak Ibung mulai berbisik-bisik ragu.
Pak Ibung tak mau kehilangan muka. "Jangan menakut-nakuti kami, Pastor. Ini urusan kami. Biar kami sendiri yang menentukan nasib."
"Pastor bicara apa adanya. Ini semua demi kebaikan kita juga," Â bela Pak Alung. Sebagian hadirin mengangguk-angguk. Tapi sebagian lain hanya saling pandang.
Merasa mendapat angin, Pak Alung mengambil kembali kendali pembicaraan. "Sekarang saya minta Pastor jelaskan apa yang sebaiknya kita lakukan."
Pastor Deni berkata, "Saudara-saudariku, kalau mau, kita bisa mulai menanam karet. Karet lebih bagus daripada sawit. Tidak sedot banyak air. Tak perlu pupuk dari pabrik. Soal modal bisa kita usahakan bersama kalau kita buat koperasi. Pemerintah juga akan menolong. Bukankah begitu Pak Ibung?"
Muka Pak Ibung memerah. Sementara itu, senyum di wajah Pak Alung mulai merekah. Dan hadirin pun kembali riuh. Kali ini bukan karena adu mulut, tapi karena secercah asa terbit di benak mereka.
Pak Ibung dan pendukungnya mundur teratur dari balai adat. Orang-orang Kelai mulai mendekati Pak Alung dan Pastor Deni. Mereka seperti mendapat angin segar di tengah terik kemarau panjang.
***
Angin malam bertiup lembut mengiringi munculnya rembulan purnama. Di pastoran nan bersahaja, Pastor Deni kelelahan setelah seharian bercakap-cakap dengan orang-orang Kelai yang dicintainya. Dengan mata memerah karena kantuk, ia mengucap doa malam penuh syukurnya. Sejurus kemudian, sang pastor telah lelap dalam mimpi indah.
Sementara itu, dua orang bercadar hitam mengendap-endap dari belakang pastoran. Mereka menuang bensin di dinding-dinding kayu pastoran. Sambil menyalakan api, seorang dari mereka berkata,"Rasakan ini, dasar monyet!"
TAMAT
-pernah dimuat di majalah HIDUP-
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI