"Pastor bicara apa adanya. Ini semua demi kebaikan kita juga," Â bela Pak Alung. Sebagian hadirin mengangguk-angguk. Tapi sebagian lain hanya saling pandang.
Merasa mendapat angin, Pak Alung mengambil kembali kendali pembicaraan. "Sekarang saya minta Pastor jelaskan apa yang sebaiknya kita lakukan."
Pastor Deni berkata, "Saudara-saudariku, kalau mau, kita bisa mulai menanam karet. Karet lebih bagus daripada sawit. Tidak sedot banyak air. Tak perlu pupuk dari pabrik. Soal modal bisa kita usahakan bersama kalau kita buat koperasi. Pemerintah juga akan menolong. Bukankah begitu Pak Ibung?"
Muka Pak Ibung memerah. Sementara itu, senyum di wajah Pak Alung mulai merekah. Dan hadirin pun kembali riuh. Kali ini bukan karena adu mulut, tapi karena secercah asa terbit di benak mereka.
Pak Ibung dan pendukungnya mundur teratur dari balai adat. Orang-orang Kelai mulai mendekati Pak Alung dan Pastor Deni. Mereka seperti mendapat angin segar di tengah terik kemarau panjang.
***
Angin malam bertiup lembut mengiringi munculnya rembulan purnama. Di pastoran nan bersahaja, Pastor Deni kelelahan setelah seharian bercakap-cakap dengan orang-orang Kelai yang dicintainya. Dengan mata memerah karena kantuk, ia mengucap doa malam penuh syukurnya. Sejurus kemudian, sang pastor telah lelap dalam mimpi indah.
Sementara itu, dua orang bercadar hitam mengendap-endap dari belakang pastoran. Mereka menuang bensin di dinding-dinding kayu pastoran. Sambil menyalakan api, seorang dari mereka berkata,"Rasakan ini, dasar monyet!"
TAMAT
-pernah dimuat di majalah HIDUP-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H