Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Monyet di Sungai Kelai

8 Juni 2019   07:56 Diperbarui: 8 Juni 2019   08:02 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mendengar itu, Pak Ibung berkomentar, "Bukankah gaji dari PT sawit bisa kita pakai untuk biaya sekolah anak-anak kita? Untuk apa punya ladang tapi hidup sengsara? Pak Alung jangan bawa-bawa nenek moyang untuk urusan uang. Cuma monyet yang tak tahu artinya uang!"

"Apa? Kau samakan aku dengan monyet? Mana hormatmu pada orang tua?" hardik Pak Alung yang mulai naik pitam.

"Bukan ... bukan begitu maksud saya. Saya cuma ingin supaya pikiran kita terbuka. Menolak sawit itu sama saja menolak kemajuan," jawab Ibung.

"Sabar dulu Pak Alung, biar saya bicara," tutur Pastor Deni untuk menenangkan suasana. "Kita semua ingin Kelai ini maju. Tapi apa benar dengan menjual ladang, kita akan lebih makmur? Cobalah tanya pada orang-orang di hulu sana yang terlanjur menjual tanahnya. Mereka akhirnya cuma jadi buruh di tanahnya sendiri."

Pak Ibung tampak tak tenang. "Sebentar, Pastor. Pimpinan PT menjamin, semua warga yang menjual ladangnya akan dijadikan karyawan. Gaji bulanan lebih dari cukup. Apa salahnya kita terima?"

"Maaf Pak Ibung, jangan mudah menebar janji. Sebulan lalu ketika saya ke hulu, saya dengar warga di sana kecewa dengan perusahaan sawit. Warga akhirnya cuma diangkat jadi pegawai rendahan. Gaji tak sepadan dengan kerja keras dari pagi sampai sore di kebun sawit," ujar Pastor.

"Benar. Saudara saya di hulu juga bicara seperti itu," timpal Pak Alung.

"Tapi perusahaan yang mau membeli tanah kita bukan seperti perusahaan di hulu itu," sergah Ibung.

"Biarpun perusahaannya beda, toh kita tetap saja akan sengsara. Saya lihat sendiri betapa rakusnya sawit menyerap air. Anak sungai jadi kering setelah ladang sekitarnya ditanami sawit. Setelah pohon sawit tua, akarnya mencengkeram tanah. Tak bisa lagi kita bertanam di ladang bekas sawit. Lagipula pupuk dan obat untuk sawit bisa mencemari sungai. Apa kita mau minum dan mandi air beracun?" tantang Pastor.

Seisi balai adat terdiam setelah mendengar kata-kata Pastor Deni. Sebagian yang tadinya mendukung Pak Ibung mulai berbisik-bisik ragu.

Pak Ibung tak mau kehilangan muka. "Jangan menakut-nakuti kami, Pastor. Ini urusan kami. Biar kami sendiri yang menentukan nasib."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun