Tak ada yang abadi di dunia ini. Ini juga berlaku bagi para penjajah yang menduduki Indonesia. Pada awal 1945, Jepang tak lagi digdaya. Jepang makin terdesak dalam Perang Dunia II.Â
Saat itulah, Pemerintah Pendudukan Bala Tentara Jepang di Jawa melalui Saiko Syikikan Kumakici Harada mengumumkan secara resmi berdirinya BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 1 Maret 1945.Â
KRT Radjiman Wedyodiningrat (seorang tokoh Budi Utomo) ditunjuk sebagai Ketua BPUPKI yang beranggotakan 69 orang. Para tokoh perjuangan nasional yang jadi anggota BPUPKI mengarahkan tujuan badan bentukan Jepang itu justru untuk kepentingan kemerdekaan dalam arti lepas dari kendali Jepang.
Sidang pertama BPUPKI digelar pada tanggal 29 Mei-1 Juni 1945 di gedung Cuo Sangi In. Dalam sidang pertama, tepatnya pada tanggal 29 Mei 1945, Mohamad Yamin menyampaikan pidato mengenai asas-asas yang diperlukan sebagai dasar negara.Â
Pada sidang tanggal 31 Mei, Soepomo juga mengungkapkan uraian tentang dasar-dasar negara. Pada tanggal 1 Juni 1945, Soekarno menyampaikan 5 pokok yang diusulkan menjadi dasar negara. Pada saat itu, ia jugalah yang pertama kali menyebut "Pancasila" untuk 5 dasar yang diajukannya itu.
Simak tulisan menarik Bapak Johanis Malingkas berikut ini:Â
Kutipan Pidato Soekarno 1 Juni 1945
"Prinsip yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Prinsip ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih. Yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad Saw.Â
Orang Budha menjalankan ibadahnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya bertuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa.Â
Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni tiada egoisme agama. Dan hendaknya Negara Indonesia satu negara yang berTuhan! Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen dengan cara berkeadaban. Apakah cara berkeadaban itu? Ialah hormat menghormati satu sama lain."
Gejala Egoisme Agama Akhir-Akhir Ini
Di tanah air kita, sayangnya, egoisme agama masih saja menggejala. Tanpa bermaksud menyinggung agama mana pun, saya tampilkan beberapa kejadian. Sekali lagi, tidak ada maksud hati menyamaratakan kelakuan oknum dengan mayoritas pemeluk agama-agama tertentu.
- Perda Injil di Manokwari
Perda bertajuk Manokwari Kota Injil disahkan DPRD Manokwari akhir Oktober 2018. Namun perda Injil belum diterapkan karena urung mendapatkan pengesahan oleh pemerintah pusat.Â
Perda itu mewajibkan seluruh umat beragama di Manokwari tak beraktivitas saat ibadah minggu penganut kristiani, selain mengatur prosedur pendirian rumah ibadah di luar Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri tahun 2006.
- Sekelompok warga menolak rencana umat Hindu yang ingin membangun pura (tempat ibadah) di Desa Labuan Kenanga, Kecamatan Tambora, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB). Kejadian ini terjadi Februari 2018.
- Slamet Jumiarto, pelukis beragama Katolik pada Maret 2019 sempat ditolak kehadirannya sebagai warga baru oleh pengurus warga Dusun Karet, Pleret, Bantul, DIY. Alasan penolakan semata-mata karena Slamet tidak seagama dengan warga setempat. Kasus ini akhirnya selesai setelah Bupati Bantul turun tangan.
- Mei 2019, rencana pembangunan tempat ibadah pura di Desa Sukahurip, Kecamatan Sukatani, Kabupaten Bekasi, ditolak sekelompok warga. Alasan penolakan karena mayoritas warga yang mendiami lokasi calon pura tersebut bukan seagama dengan penganut Hindu.
Masih banyak praktik intoleransi yang terjadi, namun tidak diliput media massa. Misalnya, intoleransi majikan yang membatasi akses karyawan beda agama untuk beribadah; intoleransi di dunia kerja dengan menganakemaskan dan atau menerima pegawai yang seagama saja dengan pimpinan, dan sebagainya. Sudah rahasia umum ada banyak sekali intoleransi di tengah-tengah kita. Pelaku praktik intoleransi tidak selalu dari pihak agama mayoritas. Ada juga pelaku dari pihak agama minoritas.Â
Mencecap Kembali Hikmah Pidato Bung Karno 74 Tahun Lalu
Momen Hari Lahir Pancasila 1 Juni tahun ini mengundang kita untuk mencecap kembali hikmah pidato Soekarno pada 1 Juni 1945.Â
"Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa.Â
Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni tiada egoisme agama.Â
Dan hendaknya Negara Indonesia satu negara yang berTuhan!Â
Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen dengan cara berkeadaban. Apakah cara berkeadaban itu? Ialah hormat menghormati satu sama lain."
Syukurlah, di antara kita, terus tumbuh pula toleransi beragama.Â
- Baru-baru ini, anak TK Katolik Santo Bernardus, Madiun berkunjung ke TK Aisyiah Bustanu Athfal (ABA) 1 pada Kamis (9/5).
Foto dua siswi TK beda agama saling berpelukan ada di ilustrasi artikel ini.Â
- Jamaludin Ahmad, seorang tokoh muslim dipercaya oleh Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat sebagai ketua Panitia Pesta Paduan Suara Gerejani (Pesparani) Nasional Tahun 2020 yang akan digelar di Kupang. Penunjukan ini adalah sebuah tanda kerukunan antarumat beragama di NTT.
- seorang gadis Katolik membelikan pizza seorang abang ojek online muslim.
- Umat Islam melaksanakan salat Ied di halaman gereja hati Kudus Yesus Malang, Jawa Timur.
- seorang biksu yang sedang membantu seorang pria berwudu menjadi viral di media sosial.
Â
Dan masih banyak lagi momen toleransi yang membuktikan kita masih setia berPancasila.Â
Selamat memperingati Hari Lahir Pancasila ke 74!Â
Sumber:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H