Kini diperkirakan tinggal hanya sekitar 14.600 orangutan yang tersisa di alam liar di Sumatera. "Kita semua berkontribusi terhadap dampak merusak dari minyak kelapa sawit yang tidak berkelanjutan, apakah itu dengan mengkonsumsi produk atau kebijakan pendukung yang mempengaruhi perdagangan," papar Zacharevic.
Nah, jadi tahu kan mengapa banyak orang asing menolak produk berbahan baku minyak sawit? Serba salah memang. Di satu sisi, orang asing ingin menyelamatkan hutan dengan "menghukum" produsen minyak sawit yang membabat hutan, termasuk hutan di Indonesia. Di sisi lain, sebagian petani sawit kita menggantungkan nasibnya pada komoditas sawit ini. Inilah yang disebut "dilema sawit" nan pelik.
Mirisnya, di Indonesia, cukup sulit memeroleh informasi mengenai asal-muasal minyak sawit yang kita konsumsi tiap hari dalam aneka produk: sabun, sereal, kosmetik, minyak goreng, dll.Â
Bahkan sebagian perusahaan perkebunan sawit raksasa yang berlabel produk "halal" dan "sawit lestari" pun disinyalir juga ikut membabat hutan. Nah, ini yang membuat konsumen yang sadar lingkungan bingung. Wahai pemerintah, mohon awasi dan evaluasi lagi perusahaan perkebunan sawit.
Masyarakat luas sungguh menanti perbaikan sistem kontrol terhadap konsesi dan praktik perusahaan sawit besar di negeri kita tercinta.Â
Oh ya, mari kita sapa Ernest. Terima kasih Ernest. Engkau orang Lithuania yang amat cinta hutan dan alam Indonesia! Kami jadi malu karena kami sendiri kurang mau menjaga kelestarian negeri kami yang makin hari makin tak punya hutan lagi...
Simak video singkatnya:
Sumber:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H