Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suster Maria

18 Mei 2019   15:11 Diperbarui: 19 Mei 2019   00:07 1144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar diambil dari akun instagram @apabedanyacom

Taksi mengantarku dari Bandara Adisucipto ke pintu rumah sakit. Demi merawat ibu, aku tinggalkan pekerjaanku di ibu kota. 

Ibu tampak kuyu. Benjolan kecil yang selama ini diabaikannya ternyata kanker payudara. Nyeri menjalar hingga ke punggung. Kanker terlanjur memangsa tubuh rentanya. Ibu sudah putus asa. Dia bahkan sempat menangis sambil berseru, "Tuhan, lebih baik aku mati saja...jangan tambah lagi deritaku...!"

Sudah seminggu ini Ibu terkurung di rumah sakit. Tambah hari berarti tambah biaya. Gajiku sebagai manajer menengah tak cukup lagi membiayai tagihan. Terpaksa aku hutang sana-sini.

Siang ini Ibu akan menjalani pemeriksaan lanjutan. "Panggilkan Ibu perawat, Nang," kata Ibu. Kutekan tombol darurat. Tak lama, seorang perawat datang.

"Ibu Anastasia, selamat pagi. Saya Suster Maria, pengganti Suster Tika yang biasa merawat Ibu. Apa yang bisa saya bantu?" tutur sang perawat dengan suara ramah. 

"Saya sesak nafas, Sus," keluh Ibu. Suster berparas menawan itu bergegas memeriksa Ibuku. Berbeda dengan suster sebelumnya, suster yang satu ini lebih cermat merawat Ibuku. Dari caranya menyapa dan memeriksa, aku bisa mengetahuinya. "Kondisi Ibu cukup stabil. Ibu tidak perlu cemas," sarannya sambil melemparkan senyuman manis. Ibuku membalas dengan senyuman pula.

"Terima kasih, Suster. Sebelumnya Suster melayani di unit mana," tanyaku ingin tahu. "Saya baru pindah tugas dari Malang ke Jogja, Pak. Baru hari ini melayani di unit ini," jawabnya santun. 

"Suster, anak saya belum nikah. Panggil saja dia Mas Nanang," seloroh Ibuku. "Oh, maaf Pak...eh...Mas Nanang. Kalau perlu bantuan, dengan senang hati saya layani," tuturnya lembut. Ibu dan aku mengangguk.

Hari-hari selanjutnya, Suster Maria semakin sering mengunjungi Ibuku meski sebenarnya dia bertugas di unit lain. Kami bertiga semakin sering ngobrol. Dari obrolan itulah aku tahu, Suster Maria bukan suster perawat biasa. Dia suster biarawati yang ditugaskan jadi perawat. Meski begitu, ia tak merasa lebih harus dihormati daripada perawat lain yang bukan biarawati. Kesederhanaannya semakin membuatku terkagum-kagum. 

***

"Suster, bolehkah saya minta homor HP. Supaya kita gampang komunikasi," pintaku. Aku berhasil mendapatkan nomornya. Sejak itu, aku sering menelponnya. Awalnya memang untuk menanyakan saran medis. Lama-lama, untuk mengobati rasa rinduku akan suaranya yang lembut itu. 

Aku bisa mencurahkan kegelisahan hatiku padanya, "Aku ini anak tunggal, Suster. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, aku kerja di Jakarta. Aku selalu khawatir dengan Ibu yang tinggal sendirian. Seandainya ada orang yang mau menemaninya, kami akan sangat senang." 

Sembari tertawa renyah, suara di ujung sana berkata, "Kenapa Mas Nanang nggak nikah aja? Bukannya Mas sudah cukup mapan? Lagipula...wajah Mas nggak jelek-jelek amat..hahaha..." 

"Siapa yang mau menerimaku dan Ibuku apa adanya? Selama ini, cuma Suster yang mau," tuturku lugu. "Maksud Mas apa?", tanyanya. 

Mendadak aku jadi salah tingkah. "Em..nggak Suster. Aku kagum dengan keramahan Suster pada Ibu. Seandainya aku punya istri seperti Suster, pasti Ibu akan bahagia." Entah roh apa yang merasukiku hingga aku berani berkata seperti itu. Sesaat aku dan Suster Maria terdiam. "Terima kasih pujiannya, Mas," ujarnya menutup pembicaraan.

Setelah kejadian "salah tingkah" itu, kedekatanku dengan Suster Maria makin erat. Kadang aku menemaninya berjalan pulang ke biara sambil bercengkerama di tengah remangnya suasana malam. Romantis rasanya. 

Suatu malam aku memberanikan diri bertanya, "Sus, kok mau-maunya jadi Suster? Jangan-jangan Suster putus cinta lalu kecewa dan lari ke biara. Hayo, jujur saja." 

"Ah, bukan begitu, Mas. Aku tertarik jadi suster setelah terkesan dengan kebaikan seorang suster pada keluargaku. Namanya Suster Yosefa. Dialah yang selama 2 bulan merawat ayahku yang stroke dengan setia hingga ayahku wafat. Sepeninggal ayah, Suster Yosefa rajin mengunjungi aku, adikku, dan ibuku. Lama-lama aku ingin jadi suster seperti dia," tutur Suster Maria sambil menerawang ke peristiwa lima tahun silam. 

Aku menghela nafas panjang. "Aku baru mengerti kenapa Suster begitu memperhatikan dan merawat ibuku dengan baik," kataku. "Ya, Mas. Aku anggap semua pasien, juga Ibu Mas, seperti ayahku sendiri," sambungnya.

Mendengar jawaban itu, aku terharu. "Suster, jujur aku suka denganmu. Tapi, aku tahu Suster bukan milikku saja. Banyak orang membutuhkan kasih sayang Suster. Maafkan kalau selama ini aku sering agak nakal kalau ngobrol dengan Suster," tuturku. Suster Maria mengangguk pelan sambil mengumbar senyum manisnya.

***

Hari-hari berlalu dengan cepat. Suatu pagi telponku berbunyi. "Mas Nanang dan Ibu, doakan saya agar pengajuan kaul kekal saya diterima. Kaul kekal itu artinya saya sudah memilih membaktikan diri sepenuhnya untuk Tuhan dan sesama saja. Sudah bulat tekad saya untuk meninggalkan pilihan-pilihan lain, termasuk pilihan untuk berkeluarga. Pamitkan ke Ibu, ya. Seminggu ini saya retret dan wawancara dengan suster pimpinan di Bandung," pesan Suster Maria padaku. "Ya Suster. Jangan lupa oleh-olehnya ya," jawabku.

Seminggu kemudian, Suster Maria belum juga muncul mengunjungi aku dan Ibuku. Kuhubungi via ponselnya, tapi tak pernah berhasil. Kutanya para perawat lain, tapi tiada yang tahu mengapa dia belum kembali ke Jogja. 

Aku datang ke Biara untuk menanyakan kabarnya. "Oh, mungkin dia sakit, Mas," jawab seorang suster padaku. Aku bertambah gelisah. Ada apa gerangan?

Aku lantas kembali ke rumah sakit dengan langkah gontai. Begitu masuk pintu kamar, Ibu berkata, "Nang, kenapa HPmu kamu tinggal? Tadi ada pesan yang masuk." Segera kuambil ponselku. Aha...pesan dari Suster Maria. Tak sabar aku membukanya. "Mas Nanang dan Ibu. Mungkin menjadi suster bukan panggilan saya. Permohonan kaul kekal saya tidak diterima."

Bagai tersambar petir di siang bolong, aku terkejut. Cepat-cepat kutelepon dia. "Kenapa Sus? Kenapa orang sebaik Suster tidak diterima?" selidikku. "Sudahlah Mas, nasi sudah jadi bubur. Suster pimpinan lebih percaya isu-isu daripada penjelasanku," tuturnya dengan suara terbata-bata. "Maksud Suster apa?" tanyaku. "Aku difitnah beberapa orang, Mas. Mereka bilang, aku sering pulang larut malam diantar seorang lelaki. Mereka bilang lelaki itu berulang kali memeluk dan menciumku mesra. Mereka bahkan bilang lelaki itu me...," mendadak suara di seberang sana menangis terisak. 

Tak terasa, mataku mulai berkaca-kaca. "Maafkan aku...sekali lagi maafkan...aku tak tahu jadinya begini...aku hanya..aku...," sontak kerongkonganku tercekat. Aku tak bisa lagi berkata-kata. Air mataku membanjir. Aku baru ingat, pada malam terakhir pertemuanku dengannya, aku memang mencium tangannya di depan pintu biara. Satu ciuman yang kuberikan sebagai tanda terima kasihku padanya. 

TAMAT

-adaptasi dari cerpen yang pernah dimuat di majalah HIDUP-

Cerpen lain:

https://www.kompasiana.com/bobby18864/5ccde23d3ba7f72daa013276/lukisan-terakhir-sang-terpidana-mati

https://www.kompasiana.com/bobby18864/5cccc36c95760e2a75599b15/mawar-untuk-elena

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun