Hari-hari berlalu dengan cepat. Suatu pagi telponku berbunyi. "Mas Nanang dan Ibu, doakan saya agar pengajuan kaul kekal saya diterima. Kaul kekal itu artinya saya sudah memilih membaktikan diri sepenuhnya untuk Tuhan dan sesama saja. Sudah bulat tekad saya untuk meninggalkan pilihan-pilihan lain, termasuk pilihan untuk berkeluarga. Pamitkan ke Ibu, ya. Seminggu ini saya retret dan wawancara dengan suster pimpinan di Bandung," pesan Suster Maria padaku. "Ya Suster. Jangan lupa oleh-olehnya ya," jawabku.
Seminggu kemudian, Suster Maria belum juga muncul mengunjungi aku dan Ibuku. Kuhubungi via ponselnya, tapi tak pernah berhasil. Kutanya para perawat lain, tapi tiada yang tahu mengapa dia belum kembali ke Jogja.Â
Aku datang ke Biara untuk menanyakan kabarnya. "Oh, mungkin dia sakit, Mas," jawab seorang suster padaku. Aku bertambah gelisah. Ada apa gerangan?
Aku lantas kembali ke rumah sakit dengan langkah gontai. Begitu masuk pintu kamar, Ibu berkata, "Nang, kenapa HPmu kamu tinggal? Tadi ada pesan yang masuk." Segera kuambil ponselku. Aha...pesan dari Suster Maria. Tak sabar aku membukanya. "Mas Nanang dan Ibu. Mungkin menjadi suster bukan panggilan saya. Permohonan kaul kekal saya tidak diterima."
Bagai tersambar petir di siang bolong, aku terkejut. Cepat-cepat kutelepon dia. "Kenapa Sus? Kenapa orang sebaik Suster tidak diterima?" selidikku. "Sudahlah Mas, nasi sudah jadi bubur. Suster pimpinan lebih percaya isu-isu daripada penjelasanku," tuturnya dengan suara terbata-bata. "Maksud Suster apa?" tanyaku. "Aku difitnah beberapa orang, Mas. Mereka bilang, aku sering pulang larut malam diantar seorang lelaki. Mereka bilang lelaki itu berulang kali memeluk dan menciumku mesra. Mereka bahkan bilang lelaki itu me...," mendadak suara di seberang sana menangis terisak.Â
Tak terasa, mataku mulai berkaca-kaca. "Maafkan aku...sekali lagi maafkan...aku tak tahu jadinya begini...aku hanya..aku...," sontak kerongkonganku tercekat. Aku tak bisa lagi berkata-kata. Air mataku membanjir. Aku baru ingat, pada malam terakhir pertemuanku dengannya, aku memang mencium tangannya di depan pintu biara. Satu ciuman yang kuberikan sebagai tanda terima kasihku padanya.Â
TAMAT
-adaptasi dari cerpen yang pernah dimuat di majalah HIDUP-
Cerpen lain:
https://www.kompasiana.com/bobby18864/5ccde23d3ba7f72daa013276/lukisan-terakhir-sang-terpidana-mati
https://www.kompasiana.com/bobby18864/5cccc36c95760e2a75599b15/mawar-untuk-elena