"Suster, bolehkah saya minta homor HP. Supaya kita gampang komunikasi," pintaku. Aku berhasil mendapatkan nomornya. Sejak itu, aku sering menelponnya. Awalnya memang untuk menanyakan saran medis. Lama-lama, untuk mengobati rasa rinduku akan suaranya yang lembut itu.Â
Aku bisa mencurahkan kegelisahan hatiku padanya, "Aku ini anak tunggal, Suster. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, aku kerja di Jakarta. Aku selalu khawatir dengan Ibu yang tinggal sendirian. Seandainya ada orang yang mau menemaninya, kami akan sangat senang."Â
Sembari tertawa renyah, suara di ujung sana berkata, "Kenapa Mas Nanang nggak nikah aja? Bukannya Mas sudah cukup mapan? Lagipula...wajah Mas nggak jelek-jelek amat..hahaha..."Â
"Siapa yang mau menerimaku dan Ibuku apa adanya? Selama ini, cuma Suster yang mau," tuturku lugu. "Maksud Mas apa?", tanyanya.Â
Mendadak aku jadi salah tingkah. "Em..nggak Suster. Aku kagum dengan keramahan Suster pada Ibu. Seandainya aku punya istri seperti Suster, pasti Ibu akan bahagia." Entah roh apa yang merasukiku hingga aku berani berkata seperti itu. Sesaat aku dan Suster Maria terdiam. "Terima kasih pujiannya, Mas," ujarnya menutup pembicaraan.
Setelah kejadian "salah tingkah" itu, kedekatanku dengan Suster Maria makin erat. Kadang aku menemaninya berjalan pulang ke biara sambil bercengkerama di tengah remangnya suasana malam. Romantis rasanya.Â
Suatu malam aku memberanikan diri bertanya, "Sus, kok mau-maunya jadi Suster? Jangan-jangan Suster putus cinta lalu kecewa dan lari ke biara. Hayo, jujur saja."Â
"Ah, bukan begitu, Mas. Aku tertarik jadi suster setelah terkesan dengan kebaikan seorang suster pada keluargaku. Namanya Suster Yosefa. Dialah yang selama 2 bulan merawat ayahku yang stroke dengan setia hingga ayahku wafat. Sepeninggal ayah, Suster Yosefa rajin mengunjungi aku, adikku, dan ibuku. Lama-lama aku ingin jadi suster seperti dia," tutur Suster Maria sambil menerawang ke peristiwa lima tahun silam.Â
Aku menghela nafas panjang. "Aku baru mengerti kenapa Suster begitu memperhatikan dan merawat ibuku dengan baik," kataku. "Ya, Mas. Aku anggap semua pasien, juga Ibu Mas, seperti ayahku sendiri," sambungnya.
Mendengar jawaban itu, aku terharu. "Suster, jujur aku suka denganmu. Tapi, aku tahu Suster bukan milikku saja. Banyak orang membutuhkan kasih sayang Suster. Maafkan kalau selama ini aku sering agak nakal kalau ngobrol dengan Suster," tuturku. Suster Maria mengangguk pelan sambil mengumbar senyum manisnya.
***