[Kisah Minggu pagi-6 lanjutan ]Â
Saya memandang foto pria yang sedang mengambil air dari gentong di atas dengan rasa takjub. Foto ini diambil tahun 1934. Waktu itu, amat lumrah keluarga-keluarga di Jawa Tengah menyediakan air dalam gentong (kruik), yang disediakan bagi orang yang lewat di depan sebuah rumah.
Ada warganet yang mengatakan, tradisi menyediakan air dalam gentong itu di daerahnya-entah daerah mana- disebut "aeraus". Maksudnya, "air haus".
"Urip Iku Mung Mampir Ngombe"
Dalam budaya Jawa, ada pepatah,"Urip iku mung mampir ngombe". Artinya, hidup ini hanya mampir minum saja. Hidup hanya sekejap. Secara tersirat, pepatah ini memuat nasihat bahwa orang seharusnya memikirkan bukan hanya mencukupi keperluan hidup di dunia ini, tapi juga menyiapkan diri untuk kehidupan lain, sesudah kematian.
Saya menduga kuat, pepatah ini lahir dari kebiasaan orang-orang Jawa masa lampau untuk "mampir ngombe" alias mampir minum di pinggir jalan.
Maklumlah, puluhan tahun lalu, belum ada ojek online ^_^.
Pedati yang ditarik kuda waktu dulu juga hanya dimiliki orang berpunya.
Rakyat jelata bepergian dengan berjalan kaki. Syukurlah, di sepanjang jalan, keluarga-keluarga menyediakan air minum dalam gentong. Gratis.
Siapa pun boleh mampir minum, tanpa ditanya "Apa sukumu? Apa agamamu? Dari mana asalmu?"
Gentong Air Bukti Solidaritas Masyarakat Kita
Gentong air jadi bukti bahwa masyarakat kita, leluhur kita lekat dengan nilai solidaritas. Saling membantu dalam kesulitan hidup. Saling berbagi dalam hidup bermasyarakat. Perbedaan bukan halangan untuk saling menolong sebagai saudara sebangsa. Itulah nilai luhur yang lantas diformalkan dalam sila-sila Pancasila, terutama sila ketiga: Persatuan Indonesia.
Sekali lagi, absurd sekali membayangkan bahwa pada masa silam (tahun 1930-an, misalnya), ada gentong yang ditulisi oleh pemilik rumah:
"Maaf, hanya yang seagama dengan pemilik gentong yang boleh minum!"
atau "Maaf, yang boleh minum hanya yang satu suku dengan kami!".
Absurd sekali bila kita membayangkan, orang yang kehausan harus tanya dulu pada si pemilik gentong: "Maaf, keluarga ini agamanya apa ya? Saya hanya mau minum air yang disediakan orang seagama saja."
Semua boleh minum! Pemilik rumah dan orang yang mau minum air tidak peduli soal agama, suku, dan identitas.Â
Yang pokok adalah berbagi air, berbagi kehidupan!
Gentong Air Depan Rumah yang Nyaris Punah
Kini, jarang sekali kita menemukan gentong air di depan rumah. Meski begitu, rupanya gentong air depan rumah masih bisa dijumpai di sejumlah wilayah.
1. Tradisi Gentong Haji
Keluarga jamaah haji asal Cirebon, Jawa Barat lazimnya meletakkan gentong berisi air minum di depan rumah anggota keluarga yang berangkat menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci.
Tradisi gentong haji berlangsung turun temurun dan masih dilakukan di sejumlah tempat seperti di Kecamatan Plered, Weru, Gunung Jati, Suranenggala, dan Kapetakan. Jika ada gentong berisi air minum lengkap dengan gayung dan gelas atau cangkir diletakkan di depan rumah warga setempat, pastikan ada penghuni rumah tersebut yang berangkat haji.
Warga setempat meyakini, gentong haji dapat memberikan dampak positif kepada anggota keluarga yang tengah menunaikan ibadah haji. "Katanya sih biar keluarga kami yang berada di Tanah Suci yang tandus merasa adem seperti air di dalam gentong,"kata seorang warga.
Bukan hanya penghilang dahaga, air gentong haji dianggap menyimpan berkah. Setiap orang yang meminum, berharap agar diberikan kemudahan untuk berangkat haji, seperti salah satu anggota tuan rumah yang menyediakan gentong haji.
2. Gentong Tanah Liat Jadi "Gentong" Plastik
Penelusuran saya mengenai tradisi gentong air mengantarkan saya pada sebuah artikel blog seorang narablog dari Madura.
Ia mengisahkan, saat kecil ia dengan mudah melihat gentong air dari tanah liat di Madura. Saat ini, ia melihat masih ada keluarga yang meletakkanÂ
"gentong" air di depan rumah.
Keluarga itu adalah keluarga Haji Jirman, di Larangan Tokol, Pamekasan, Madura. Bedanya, wadah air bukan lagi gentong tanah liat, tapi sudah berubah jadi ember plastik.Â
Sang narablog tidak tahu, entah masih ada atau tidak orang yang minum dari ember itu mengingat Haji Jirman juga pemilik toko kelontong yang menjual air minum dalam kemasan.
3. Gentong air jadi air minum dalam kemasan plastik
Rekan narablog di Kompasiana, Irwan Rinaldi mengisahkan pengalaman unik berikut dalam artikelnya ini :
"Ketika saya melewati jalan kecil di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, di pagar depan sebuah rumah digantung wadah yang memuat 16 gelas air mineral dalam kemasan.
Cara menggantungnya sedemikian rupa sehingga gampang terlihat oleh orang yang lewat serta juga gampang untuk diambil. Tentu juga di wadah itu sudah tersedia sedotannya.
Saya perhatikan para tukang bangunan yang bekerja membangun apartemen tak jauh dari situ, dan juga tukang ojek motor, menjadi "pelanggan" yang mengambil minuman gratis tersebut."
Kita patut menghargai niat mulia pemilik rumah di Tebet, Jaksel tersebut. Memang sih, akan lebih baik bila memberi air mineral tidak dalam kemasan plastik sekali pakai. Namun, itulah cara praktis yang ia pilih demi berbagi air kepada siapa pun yang kehausan, yang lewat di depan rumahnya.
Sungguh, suatu kebaikan istimewa di zaman kiwari, saat orang -orang makin tak peduli pada sesama manusia di sekitarnya.
Akhirul Kalam
Gentong air depan rumah memang makin punah. Di kebanyakan wilayah, ia sudah berubah jadi "gentong plastik" atau bahkan air minum dalam kemasan.
Perkembangan zaman memang sepertinya semakin tidak memungkinkan lagi orang-orang menaruh gentong air di depan rumah. Jalanan makin sempit. Lalu-lintas semakin padat. Orang usil makin banyak.Â
Akan tetapi, gentong air di depan rumah selalu mengingatkan kita bahwa "hidup itu cuma mampir minum". Hidup itu sebentar saja, maka berbuat baiklah sebanyak-banyaknya selagi sempat. Kita hidup di dunia fana ini bersama orang-orang lain yang sama-sama memerlukan "minuman".
"Minuman" itu tak melulu air, tapi juga penghasilan ekonomi, ruang-waktu-dan kenyamanan beraktivitas dan beribadah.
Janganlah kita sikut-menyikut dengan sesama penghuni dunia ini yang sama-sama sedang  "mampir minum".
Berilah rasa nyaman dan aman pada sesama manusia yang -seperti kita- sedang "mampir minum" di dunia ini.
Sumber:
kormeddal.blogspot.com
haji.okezone.com
Terima kasih pada rekan Kompasianer Pak Irwan Rinaldi yang telah menulis dan berbagi artikel menarik tentang warga dermawan di Tebet.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H