Bagaimana mengembalikan toleransi Jogja Berhati Nyaman?
Sejatinya, sebagian besar masyarakat Yogyakarta toleran. Ada banyak pemuka agama dan pemeluk agama yang rajin bersilaturahmi. Ada Forum Kerukunan Umat Beragama di kota gudeg ini.
Sultan Hamengkubuwono X juga berkali-kali menegaskan keprihatinannya atas rentetan peristiwa intoleransi yang terjadi di wilayah DIY.
Masalahnya, disadari atau tidak, di akar rumput, masih berkembang paham intoleran.
Satu cerita yang saya dengar, ada keluarga-keluarga tertentu yang menganut paham ekstrim bahkan menolak pakaian yang mereka jemur diangkat oleh tetangga. Padahal, tetangga berniat baik mengangkatkan jemuran itu karena hujan tiba.
Keluarga-keluarga itu tidak suka jemuran mereka disentuh orang yang tidak sepaham dengan mereka. Dengar-dengar, keluarga-keluarga ini mencuci lagi jemuran yang sudah disentuh orang "luar".
Aturan intoleran di lingkup dusun kemungkinan bukan hanya berlaku di Dusun Karet. Belum lagi aturan intoleran tak tertulis di kantor, tempat usaha, tempat pendidikan (!), dan organisasi masyarakat.
Hemat saya, Pemerintah Pusat dan Daerah harus bekerja lebih keras lagi untuk mengikis intoleransi yang makin menjamur, bukan hanya di DIY.
Tegaskan kembali Pancasila dan UUD 1945. Aparatur pemerintahan yang tak sepakat dengan nilai luhur kebangsaaan ini seharusnya tidak lagi diberi keleluasaan.
Pengawasan ketat harus diberlakukan pada institusi pendidikan dan pendidik agar tak ada lagi dosen dan guru yang mengajarkan kebencian pada agama lain pada anak didik.
Pemuka agama perlu menjalin kerja sama untuk menebarkan sikap saling menghargai di kalangan warga.