Sejatinya, pantang dan puasa Katolik dalam arti hukum tergolong "ringan". Maksudnya agar orang-orang Katolik tanpa banyak kesulitan bisa menerapkannya. Puasa wajib hanya dua hari saja. Puasa berarti makan kenyang satu kali saja, tetap boleh minum bila haus.Â
Jika mau memperberat puasa dan pantang, masing-masing orang Katolik dipersilakan mengatur sendiri, tanpa harus takut berdosa bila melanggar pantang dan puasa pribadi tersebut.
Tentu puasa dan pantang disertai juga dengan makin banyak berbuat kasih, menolong kaum miskin, anak yatim-piatu, kaum lansia yang tak diperhatikan keluarga, mengampuni dan mendoakan orang yang telah berbuat salah dan dosa.
Bagi umat Katolik, penting pula mengaku dosa melalui Sakramen Tobat sebagai persiapan sebelum Trihari Suci (lihat keterangan dalam bagian berikut).
Puasa dan pantang, serta introspeksi "Nyepi" di tahun politik
Menariknya, hari pencoblosan Pemilu tahun ini adalah pada tanggal 17 April 2019, sehari sebelum Hari Kamis Putih (18 April), saat umat katolik mengenang Perjamuan Makan Terakhir Yesus dengan para murid-Nya. Tanggal 17 April nanti adalah satu hari sebelum rangkaian Tiga Hari Suci: Kamis Putih, Jumat Agung (wafat Yesus) yang jatuh pada 19 April dan Minggu Paskah (kebangkitan Yesus) yang diperingati 21 April 2019.
Artinya, umat Katolik di Indonesia yang menjalankan pantang dan puasa juga-secara kebetulan-"menyambut" Pilpres dan Pileg 2019.Â
Pula umat Hindu pada tahun ini merayakan Nyepi jelang Pemilu 2019.Â
Perayaan Hari Suci Nyepi tahun ini bertema, "Melalui Catur Brata Penyepian Kita Sukseskan Pemilu 2019". Tema ini dinilai Menag Lukman Hakim sangat relevan dan kontekstual.
"Mengabdi kepada bangsa dan mendoakan pemilu berjalan lancar, tertib dan damai, adalah bentuk pengamalan dari dharma negara atau kewajiban menjalankan perintah negara," kata dia.
Beberapa permenungan