Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengenang Banser NU yang Gugur Lindungi "Orang Kafir" di Gereja

1 Maret 2019   13:30 Diperbarui: 1 Maret 2019   14:59 1221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam Natal, 24 Desember 2000. Gereja Kristen Eben Haezer Mojokerto, Jawa Timur dipenuhi jemaat yang datang merayakan kelahiran Yesus. 

Riyanto berdiri tegap dengan balutan seragam Banser Nahdlatul Ulama. Pandangan matanya menyapu sudut-sudut gereja itu, memastikan semua baik-baik saja.

Tetiba pandangannya tertuju pada sebuah bungkusan mencurigakan. Nalurinya untuk melindungi sesama manusia, apalagi yang sedang beribadah, membawanya untuk mendekat guna  memeriksa bungkusan itu.

Rupanya saat ia buka, ada percikan api keluar dari bungkusan itu. Ia berteriak,"Tiarap!". Ia berupaya membuang bom itu agar tak meledak di dalam gereja. Sialnya, bom yang dilemparnya ke tempat sampah terpental. Ia memberanikan diri memungut bom itu guna membuangnya di luar gereja. Malangnya, bom itu meledak lebih dulu dalam dekapannya.

Bagi Riyanto, semua manusia adalah saudaranya

Riyanto bukan anggota DPR. Riyanto bukan calon presiden. Ia "hanya" seorang muslim bersahaja. Namun, di balik penampilannya yang biasa, ia adalah seorang insan luar biasa.

Bagi Riyanto, semua manusia adalah saudaranya. Ia rela mengorbankan dirinya bagi kaum nonmuslim, yang oleh sebagian kalangan dinilai sebagai "kaum kafir".

NU usul sebutan kafir bagi nonmuslim dihapus

Sidang Komisi Bahtsul Masail Maudluiyyah, Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama (NU), mengusulkan agar NU tidak menggunakan sebutan kafir untuk WNI yang tidak memeluk agama Islam. Pimpinan sidang, Abdul Moqsith Ghazali, mengatakan para kiai berpandangan penyebutan kafir dapat menyakiti para nonmuslim di Indonesia.

"Dianggap mengandung unsur kekerasan teologis, karena itu para kiai menghormati untuk tidak gunakan kata kafir tapi 'Muwathinun' atau warga negara, dengan begitu status mereka setara dengan warga negara yang lain," kata Moqsith Ghazali di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat, 28 Februari 2019.

Meski begitu, kata Moqsith, hal ini tidak berarti NU akan menghapus seluruh kata kafir di Al Quran atau hadis. Keputusan dalam Bahtsul Masail Maudluiyyah ini hanya berlaku pada penyebutan kafir untuk warga Indonesia yang nonmuslim.

"Memberikan label kafir kepada WNI yang ikut merancang desain negara Indonesia rasanya tidak cukup bijaksana," ucapnya.

Apresiasi atas usulan NU

Sebagai seorang Katolik, saya dan, saya yakin, banyak saudara-saudari nonmuslim selalu mengapresiasi kebaikan dan kasih-sayang saudara-saudari muslim. Hal ini berlaku bukan hanya secara eksklusif pada saudara-saudari anggota Nahdlatul Ulama saja. Siapa pun saudara-saudari muslim yang berkehendak baik menjaga keutuhan NKRI, tegaknya Pancasila dan UUD 1945 akan kami hargai dan cintai.

Saya bukan juru bicara Gereja Katolik di Indonesia. Saya hanya seorang Katolik biasa, yang selalu terharu saat mengingat gugurnya Riyanto, Banser NU yang gugur demi melindungi jemaat nonmuslim yang sedang beribadah malam Natal.

Saya sendiri tidak merasa sakit hati kalau ada yang mengatakan saya ini kafir. Dalam KBBI, kafir diartikan sebagai "orang yang tidak percaya kepada Allah Swt. dan rasul-Nya". 

Tentunya definisi KBBI itu bertolak dari khazanah agama Islam. 

Perbedaan cara pandang teologis memang tak terhindarkan antara Katolik-Kristen dan Islam. Meski sama-sama agama "abrahamik", toh ada sejumlah hal yang nyatanya mustahil "didamaikan".

Usulan NU agar NU tidak menggunakan sebutan kafir untuk WNI yang tidak memeluk agama Islam karena menilai sebutan itu memuat kekerasan teologis saya apresiasi.

Sekali lagi, menurut KBBI kita, kafir adalah "orang yang tidak percaya kepada Allah Swt. dan rasul-Nya".  Saya menilai definisi KBBI ini netral sejauh dipahami konteks "kelahiran" istilah kafir dari sudut pandang Islam. 

Saya sampaikan satu perbandingan. Kamus Meriam-Webster mendefinisikan "infidel" sebagai " one who is not a Christian or who opposes Christianity". Terjemahannya, "kafir" menurut kamus tersebut adalah "seorang yang bukan seorang kristiani atau seorang yang menentang Kekristenan".

Definisi kamus Merriam-Webster ini pun netral sejauh dipahami konteks "kelahiran" istilah "infidel" dari sudut pandang orang kristiani.

Muwathinun

Yang jadi masalah ialah, seperti telah disinggung Musyawarah Nasional Alim Ulama NU, kata "kafir" kadang atau sering digunakan dalam orasi-orasi kebencian untuk melabeli nonmuslim sebagai kaum yang "pantas dianiaya" atau "patut disingkirkan". 

NU kini sedang menggodok usulan agar NU menyebut nonmuslim sebagai "Muwathinun" atau warga negara yang setara kedudukannya dengan muslimin dan muslimah. Kiranya usulan ini muncul sebagai reaksi atas penggunaan kata "kafir" dalam orasi-orasi kebencian yang saya sebut di atas.

Kontribusi nonmuslim dalam perjuangan bangsa

Mari kita ingat pelajaran sejarah yang telah kita terima. Kemerdekaan kita adalah buah perjuangan seluruh elemen bangsa, dari Sabang sampai Merauke, dari semua suku, agama, dan ras di Indonesia ini.

Saya ingin menyebut sebagian pahlawan Katolik yang saya tahu: Monsinyur Albertus Soegijapranata (melobi Vatikan agar mengakui kemerdekaan RI. Vatikan menjadi negara kedua yang akui kemerdekaan kita); Komodor Yos Sudarso (gugur di Laut Aru demi lindungi dua kapal lain dari serangan Belanda); Agustinus Adisutjipto (pilot, gugur di Yogyakarta); Ignatius Slamet Riyadi (pahlawan kemerdekaan).

Sila pembaca dari agama-agama nonmuslim  dan penganut kepercayaan memberi informasi mengenai pahlawan nonmuslim lain yang jumlah dan perannya sangat signifikan. Belum lagi para pahlawan tanpa nama dan ratusan ribu, bahkan jutaan warga biasa nonmuslim yang telah berkorban demi kemerdekaan RI yang kita cintai ini.

Menganggap nonmuslim sebagai warga negara kelas dua adalah kesalahan fatal yang mengingkari sejarah luhur Indonesia. Mengobarkan kebencian pada nonmuslim bukan tindakan ksatria. 

Mengatakan kaum kristiani Indonesia sebagai bagian dari penjajah juga tak bijaksana. Sebagian besar misionaris Katolik warga negara Belanda justru membela bumiputera. Tengok saja sejarah perjuangan Romo Van Lith di Muntilan. 

Pastor Van Lith SJ-indonesia.ucanews.com
Pastor Van Lith SJ-indonesia.ucanews.com
Ia pernah mengatakan, "Misionaris ingin berdiri di tengah pihak Belanda dan bumiputera. Akan tetapi, kalau terjadi perpecahan, kami (misionaris Katolik Belanda) jelas akan berpihak pada bumiputera!"

Kurang cinta bagaimana sebagian besar misionaris-misionaris Belanda pada masa sebelum dan sesudah kemerdekaan RI pada Indonesia? Banyak sekali sekolah dan rumah sakit mereka rintis demi pendidikan dan kesehatan warga (kelak) Republik Indonesia? Mereka menanamkan cinta tanah air di hati umat Katolik bumiputera. Itulah mengapa, hingga kini, Gereja Katolik Indonesia terus hadir melalui aneka bidang pelayanan: pendidikan, kesehatan, penegakan keadilan, aksi kemanusiaan. Untuk apa? Untuk NKRI. 

Bukan soal "kafir" atau "bukan kafir"

Sekali lagi, "kafir" atau "bukan kafir" adalah soal sudut pandang semata. Yang jauh lebih penting adalah bahwa kita semua bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu: Indonesia.

Mari kita jaga rumah kita bersama. Rumah yang telah dibangun susah-payah. Para pahlawan kita bahkan sampai menumpahkan darah. janganlah persaudaraan kita renggang atau bahkan putus "hanya" gara-gara beda pilihan politik. Jangan biarkan oknum pemecah belah merusak persaudaraan kita selama ini. Mari kita buat para pahlawan bangsa, termasuk Riyanto, tersenyum bahagia di atas sana saat melihat kita tetap saling cinta.

Salam persaudaraan!

Sumber:

https://nasional.tempo.co/

http://jateng.tribunnews.com/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun