Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Lagu Merdu Pemanen Madu Dayak Long Brun

24 Maret 2019   06:37 Diperbarui: 21 Maret 2021   00:50 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi pemanen madu -www.duliners.com

[Kisah Minggu Pagi-4 lanjutan dari  Kisah Keluarga yang Disatukan oleh Ibadah Bersama

Teringat kisah bertahun lampau ketika saya KKN di Long Brun, suatu kampung yang dihuni saudara-saudari Suku Dayak Long Brun.

Long Brun sebuah kampung di cabang Sungai Kayan, Kalimantan Utara. Dari ibukota provinsi, Tanjung Selor, perlu sekitar 5 jam berperahu ketinting. Speedboat tak bisa menjangkau kampung itu karena aliran Sungai Brun kecil. Apalagi kalau musim kemarau, air sungai surut hingga ketinting pun tak bisa lewat sungai. Baling-baling mesin ketinting pasti patah menghantam bebatuan sungai.

Berburu dan meramu

Pak Gu, satu dari sedikit orang kampung Long Brun yang bisa berbahasa Indonesia, menjadi malaikat bagi saya untuk bisa berkomunikasi dengan warga.

Di kampung itu, hanya segelintir orang bisa berbahasa nasional. Maklum, SD di Long Brun baru berdiri kurang dari sepuluh tahun. Hanya perangkat kampung dan pedagang yang bisa bercakap-cakap dengan bahasa persatuan kita.

Pak Gu berkisah, tak setiap hari kampung dihuni warga. Jika musim berburu dimulai, kebanyakan warga masuk hutan untuk mencari babi hutan, pelanduk, dan hewan buruan lainnya. 

Wanita-wanita Dayak Long Brun tangguh. Setelah melahirkan, mereka tak perlu waktu lama untuk pulih. Para ibu muda itu juga turut masuk hutan untuk berburu bersama suami dan kerabatnya. 

Warga Long Brun bisa tinggal berhari-hari di dalam hutan sembari berburu. Makanan mereka dapatkan juga dari hutan.

Mungkin hanya nasi, minyak goreng, gula, garam, kopi, mi,dan bumbu saja yang mereka bawa sebagai bekal.

Pemanen madu hutan

Selain dari berburu, warga Long Brun menggantungkan hidup mereka dari madu hutan.  Sayang sekali, saya tak sempat menyaksikan sendiri proses warga memanen madu hutan.

Meski begitu, saya sudah puas mendengar kisah bagaimana adat orang Long Brun memanen madu di pepohonan. Pak Gu mengatakan, pantang bagi orang kampung untuk membunuh lebah madu.

Untuk mengusir lebah, orang Dayak Long Brun membuat api di bawah pohon. Begitu asap mengepul ke atas, lebah-lebah akan menjauh dari sarang. Nah, saat itulah pemanjat pohon mulai naik dengan bantuan rotan-rotan yang berfungsi sebagai tali pengaman.

Sekadar informasi, tak semua pohon disukai lebah madu. Lebah madu hanya membuat sarang di pohon-pohon tertentu saja.

Salah satunya adalah pohon manggeris yang tinggi menjulang. Memanjat pohon setinggi itu sekaligus menghindari sengatan lebah hutan jelas memerlukan keahlian tinggi.

Yustinus S. Hardjanto-mongabay.com
Yustinus S. Hardjanto-mongabay.com
Apalagi, sengatan lebah hutan amat berbahaya.  Jika orang disengat puluhan lebah madu, ia bisa tewas.

Lagu merdu pemanen madu

Setelah pemanjat sampai di dekat sarang madu, ia tak langsung mengambil sarang madu itu. Ia wajib menyanyikan kidung merdu untuk para lebah madu. Pak Gu menerangkan, kidung itu berisi permohonan izin. 

Syairnya kurang lebih berbunyi,"Wahai lebah, aku datang bukan untuk membunuhmu. Aku cuma mau mengambil madu."

Dalam adat Jawa, saya mengistilahkan kidung itu sebagai kidung "kulonuwun" sebelum memasuki rumah orang lain.

Hikmah lagu merdu pemanen madu

Menyimak kisah lagu merdu pemanen madu, saya termenung. Saudara-saudari saya warga kampung Dayak Long Brun jauh lebih bijaksana dibanding orang-orang yang cuma jago mengeruk kekayaan alam tanpa mau melestarikannya.

Orang kampung Long Brun sadar betul, kelangsungan hidup manusia tergantung pada kelangsungan alam sekitar.

Hidup dalam harmoni dengan lebah dan semua makhluk adalah sebuah keniscayaan bagi mereka. Demikian pula seharusnya bagi kita.

Dalam keheningan refleksi diri di akhir pekan ini, saya mengajak rekan-rekan pembaca artikel bersahaja ini untuk merenung sejenak.

Mari kita bayangkan diri kita jadi pemanen madu yang sedang berada di dekat sarang lebah.

Bayangkanlah kidung merdu apa yang akan kita senandungkan untuk lebah-lebah madu itu.

Senandungkanlah sebuah kidung termerdu untuk kawanan lebah madu.

Bukankah mendendangkan kidung merdu bagi lebah-lebah madu membuat kita serasa berada di sebuah "tempat tinggi" bernama surga?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun