Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sudah Tahu Kalau Aslinya Hedonisme Itu Baik?

3 September 2019   07:52 Diperbarui: 4 September 2019   20:21 7191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang artis tenar beberapa waktu lalu terjerat kasus prostitusi kelas atas. Saat kasusnya waktu itu mulai terkuak, warganet lantas menyerbu akun Instagram di artis. Beberapa warganet menyorot mobil mewah yang dimiliki si artis. Beberapa lainnya mengomentari kebiasaan si artis mengoleksi barang mewah dan jalan-jalan ke luar negeri.

Banyak warganet yang akhirnya berpendapat, gaya hidup serbamewah si artis kemungkinan besar menjadi alasan mengapa dia terjun ke dunia prostitusi kelas atas.

Tuduhan dialamatkan pada satu tersangka: semua gara-gara si artis bergaya hidup hedonis. Ya, tersangka utama adalah "si hedonis". Hal ini bisa dimengerti karena Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan hedonisme sebagai "pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup".

Jika mengikuti definisi menurut KBBI tersebut, pendapat warganet bisa dianggap benar. Akan tetapi, sejatinya definisi KBBI itu hanya merangkum separuh saja dari makna asli hedonisme. Loh, kenapa cuma separuh?

Asal Mula Hedonisme
Hedonisme bukan paham baru. Hedonisme pertama kali dicetuskan oleh filsuf Yunani Kuno, Aristippus dari Cyrene (435 SM-366 SM), seorang murid Socrates. Hedonisme sendiri berasal dari kata bahasa Yunani 'hedone' yang berarti 'kesenangan'.

Mengutip laman britannica.com, Aristippus meyakini bahwa kebahagiaan dalam hidup dicapai saat orang merasakan sebanyak mungkin kesenangan dan sekecil mungkin merasakan derita.

Akan tetapi, Aristippus berpendapat, memang benar orang harus mencari kesenangan dalam hidup, tetapi orang tetap harus menggunakan pertimbangan akal sehat dan mampu mengendalikan nafsu-nafsu diri.

Semboyan Aristippus adalah "Saya menguasai (kesenangan hidup), tapi saya tidak dikuasai olehnya" (I possess but I am not possessed). Bisa kita simpulkan bahwa hedonisme itu aslinya paham yang tidak sepenuhnya buruk. Alih-alih, hedonisme sejatinya mengajarkan keseimbangan dalam mencari kebahagiaan hidup.

Menyoal Gaya Hidup Hedonis
Kecil dimanja, muda foya-foya, tua kaya-raya, mati masuk surga. Begitulah kiranya semboyan banyak manusia modern. Sebagian selebritas pun kemungkinan menjadi pengikut hedonisme yang dipahami oleh masyarakat modern ini.

Banyak manusia zaman now melupakan bagian kedua ajaran Aristippus. Sekali lagi, Aristippus mengajarkan dua hal: pertama, "Saya menguasai (kekayaan dan kesenangan hidup); kedua, "... tetapi saya tidak dikuasai (oleh kekayaan dan kesenangan hidup)".

Singkatnya, Aristippus tidak hanya mengajarkan bahwa manusia hanya perlu mengejar kesenangan hidup saja. Sembari mengejar kesenangan hidup, manusia harus bisa mengendalikan nafsu-nafsu dirinya.

Jadi, hedonis sejati justru bisa kendalikan nafsu-nafsu dalam diri.

Sayangnya, banyak manusia modern hanya menjalankan bagian pertama dari ajaran Aristippus tadi. Tak heran, banyak orang menghalalkan segala cara untuk lekas meraih kekayaan.

Kembali ke makna semula hedonisme
Mari kita kembali ke makna hedonisme seperti saat pertama kali dicetuskan Aristippus pada abad kelima SM.

"Saya menguasai (kesenangan hidup), tapi saya tidak dikuasai olehnya." 

Boleh saja mencari harta, tapi jangan sampai dikuasai olehnya. Sah-sah saja memiliki mobil dan barang-barang mewah, tapi jangan sampai diri kita diperbudak oleh kemewahan itu.

Aristippus tidak melihat harta sebagai sesuatu yang pada dirinya sendiri bersifat jahat. Asalkan kita tidak hidup menghamba pada harta saja, memiliki dan mencari harta itu sesuatu yang wajar.

Karena itu, Aristippus menjadi filsuf Yunani pertama yang secara terang-terangan meminta bayaran dari para muridnya. Apa yang dilakukan Aristippus ini melawan arus utama pada zamannya. 

Berani berkata "cukup"
Kapan kita menjadi hedonis? Sukant Ratnakar, seorang penulis dari India dalam bukunya Open the Windows: To the World around You (2001) mengatakan "Saat cukup itu tak lagi cukup, seorang hedonis dilahirkan."

Tentu saja, Ratnakar memahami hedonisme seperti pengertian modern, yang juga dimuat dalam KBBI. Akan tetapi, di balik kalimat itu, Ratnakar secara tersirat menunjukkan bahwa gaya hidup hedonis bisa dilawan dengan pengendalian diri.

4 Cara Menjadi Hedonis Sejati yang mampu mengatakan cukup:

  1. Membeli apa yang benar-benar kita perlukan
    Biasakan bertanya diri,"Apa barang yang sudah kupunya sudah tak berfungsi atau sudah jelek sehingga aku perlu membeli barang baru? Apakah aku harus membeli dua kalau ternyata satu saja sudah cukup? Apakah aku harus membeli barang bermerek atau cukup barang yang lebih murah dengan fungsi yang sama?"

  2. Memanfaatkan barang dengan cermat dan memeliharanya seawet mungkin
    Semakin kita rajin membeli barang baru tanpa mau merawat barang lama, semakin boros pengeluaran kita dan semakin banyak sampah yang kita hasilkan.

    Fenomena barang-barang yang masih layak pakai namun dibuang terlalu dini oleh para pemiliknya kini makin menggejala. Untuk melawan gejala buruk ini, kita perlu merawat barang-barang agar tahan lama. Dompet selamat, bumi pun selamat.

  3. Belajar bahagia dengan hal-hal dan aktivitas sederhana
    Pendapatan kaum milenial Indonesia kini sebagian besar digunakan bukan untuk membeli barang, tetapi untuk mencari hiburan dan memuaskan hobi. Tak heran, situs-situs penyedia jasa liburan dan hiburan makin meraja.

    Pertanyaan untuk kita tanyakan pada diri sendiri: "Perlukah membeli gim mahal atau cukupkah tiap akhir pekan main futsal dengan teman-teman?"
    Mari kita belajar bahagia dengan hal-hal dan aktivitas sederhana. Uang bisa kita gunakan untuk kepentingan yang lebih mendesak dan atau untuk membantu sesama yang berkekurangan.

  4. Jangan serakah
    Semakin banyak keinginan kita untuk beli ini-itu, pergi ke sana-sini, semakin tinggi kebutuhan kita akan uang. Tidak masalah kalau dorongan untuk membeli dan mencari hiburan itu membuat kita semakin semangat bekerja. Jadi masalah ketika kita tergoda untuk mencari penghasilan lewat cara-cara tidak jujur.

Kita perlu menjunjung tinggi kejujuran dalam mencari uang. Syukuri penghasilan yang kita peroleh secara jujur.

Salam hedonis sejati yang justru bisa kendalikan nafsu dengan berani berkata "cukup"!

Rujukan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun