Saya mencoba merangkum ide Soebagio: Tujuan pembangunan demokrasi dicapai saat semakin banyak pemilih menggunakan hak pilihnya (bukan sebaliknya). Semakin banyak orang memilih, semakin baik pula keberhasilan Pemilu yang demokratis; Untuk mengurangi golput para politisi dan parpol harus meningkatkan kinerja agar mampu meyakinkan calon pemilih untuk memberikan suara; Golput yang signifikan dapat melumpuhkan demokrasi.
Nah, menjadi jelas bahwa golput bisa dimengerti sebagai, antara lain, kekecewaan calon pemilih terhadap performa dan janji politisi dan parpol, tetapi sebaiknya tidak menjadi pilihan karena efeknya dapat menghambat majunya demokrasi.
Contoh Referendum yang Lumpuh karena Golput
Membandingkan Pemilu di Indonesia dengan suatu referendum tingkat kota Roma memang aneh. Akan tetapi, saya berpendapat, apa yang terjadi pada referendum kecil di kota Roma dapat menjadi contoh nyata betapa sikap golput dapat melumpuhkan keputusan politik yang penting bagi publik.
Tahun 2018 kota Roma mengadakan referendum tentang transportasi publik. Apakah tetap menggunakan perusahaan yang pelayanannya tidak baik atau tidak. Referendum itu gagal mencapai kuorum 33 persen dari pemegang hak pilih. Hanya 16,4 persen pemegang hak pilih yang "mencoblos".
Akhirnya, Roma gagal menentukan pilihan. Harus diadakan lagi proses politik yang mahal untuk mencapai keputusan yang berdampak besar bagi kesejahteraan masyarakat.
Meski beda "skala", contoh di atas menunjukkan, semakin rendah partisipasi pemilih, semakin turun kredibilitas dan mutu suatu proses demokrasi (baca: Pemilu). Apalagi, Pemilu kita jadi pusat perhatian dunia. Kredibilitas pemimpin negara dan legislatif bisa dipertanyakan bila nantinya partisipasi publik rendah. Karena itu, saya menganjurkan agar golput menjadi pilihan terakhir.
Memilih (Kandidat) Yang Minim Kadar Keburukannya dibanding (Kandidat) Lain
Tilaria Padika dalam artikelnya di Kompasiana (https://www.kompasiana.com/tilariapadika/5b7aeaf2c112fe43d366b293/menebak-arah-falsafah-politik-elektoral-minus-malum-mahfud-md) telah menyitir konsep "minus malum".Â
Secara sederhana, "minus malum" adalah prinsip moral di mana dalam dilema ketika harus memilih di antara dua atau lebih pilihan yang secara inheren mengandung keburukan, kita harus memilih pilihan yang paling sedikit mengandung keburukan.Â