Waktu itu, seorang ibu paruh baya tergopoh-gopoh datang ke gereja di pusat kota Asti, tak jauh dari kota Turin (Italia). Saat itu saya mengira, ibu itu adalah tamu yang ingin bertemu dengan pastor kepala. Saya waktu itu hanya bertamu saja di pastoran dan gereja itu. Yang mengejutkan saya, ibu itu ternyata memegang kunci pastoran.
"Loh, Ibu kok punya kunci pastoran?" tanya saya. "Saya sudah biasa keluar-masuk pastoran ini," jawabnya. Lalu saya perkenalkan diri saya padanya. Si ibu ini juga memperkenalkan diri, "Saya Fatima."
Mendengar nama itu, saya mengernyitkan dahi. Jelas bukan nama yang biasa saya dengar di Negeri Pizza ini.
"Ibu Fatima dari mana?" selidik saya. "Oh, saya dari Maroko."
"Oh begitu, lalu kenapa Ibu sering datang ke gereja ini?" tanya saya.
"Saya sudah bertahun-tahun membantu orang-orang imigran di kota ini. Saya ikut bergabung dengan tim kemanusiaan yang ada di gereja paroki ini," terangnya.
"Ibu Fatima katolik, ya?" selidik saya.
"Bukan. Saya muslimah," jawabnya mantap.
Kasih yang Menyatukan
Begitulah perjumpaan saya dengan Ibu Fatima. Ketika tahu bahwa saya datang dari Indonesia, negeri dengan penduduk beragama Islam terbesar di dunia, obrolan kami makin nyambung.
Ibu Fatima tinggal dengan suami dan dua anaknya di Asti sejak beberapa tahun lalu. Keluarga mereka sudah menyatu dengan para tetangga mereka. Keluarga Bu Fatima sudah lancar berbahasa Italia.
Oh iya, tentu saja Ibu Fatima fasih berbahasa Arab. Maklum, dia kan dari Maroko ^_^. Dengan anugerah kemampuan berbahasa Arab itu, ia mampu menjembatani saudara-saudari imigran yang sebagian berasal dari Afrika Utara dengan otoritas dan warga lokal kota Asti yang berbahasa Italia.
Seperti kita tahu, akhir-akhir ini Eropa, terutama Italia, jadi tujuan para imigran Afrika Utara yang mencari kehidupan yang lebih baik atau lari dari perang. Tragedi kemanusiaan terjadi hingga detik ini. Banyak imigran meninggal karena kapal karam atau sakit keras selama perjalanan dengan perahu karet (!) dari Afrika Utara ke Italia.
Italia, dengan segala keterbatasannya (jangan dipikir Italia ekonominya jaya, ia juga sedang krisis!), menyambut para imigran itu. Gereja menjadi salah satu "lembaga" yang terlibat dalam menolong para imigran.
Dan, Ibu Fatima menjadi "jembatan emas" antara relawan orang Italia di Asti dengan para imigran yang kebanyakan berbahasa Arab.
Bagi Ibu Fatima dan para relawan asli Italia (yang mayoritas katolik), kasih pada sesama dan kesadaran sebagai orang yang hidup di negara yang satu dan sama menjadi "bahasa universal" yang menyatukan.
Resolusi 2019: Terbuka pada Perbedaan
Jujur, setelah bertemu dengan Ibu Fatima, saya jadi malu sendiri. Kenapa? Dalam otak saya, masih tersisa prasangka-prasangka tak beralasan saat berjumpa dengan orang yang "berbeda" dari saya.
Saya pikir, di Indonesia tercinta, apalagi jelang pemilu tahun ini, tak sedikit orang yang masih sulit menerima perbedaan. Suku, agama, ras sering dipolitisasi untuk menjelekkan lawan politik. "Yang berbeda" dilihat sebagai ancaman. "Yang lain dariku" otomatis jadi musuhku.
Padahal, keragaman adalah suatu kenyataan. Kasih kepada sesama dan kesadaran sebagai satu bangsa mestinya jadi lem yang merekatkan kita sebagai bangsa.Â
Tambah lagi, bukankah dalam diri tiap insan, Tuhan menanamkan kehendak intrinsik untuk berbuat baik? Saya belajar dari Ibu Fatima, yang karena dorongan untuk berbuat baik itu, dengan gembira bekerja-sama dengan relawan yang berbeda keyakinan. Sama halnya, para relawan dengan sukacita berkolaborasi dengan Ibu Fatima. Untuk apa? Untuk berbuat baik, untuk sebanyak mungkin berbuat baik sebelum maut menjemput!
Kita mafhum, perbedaan keyakinan memang tak mudah (bahkan mustahil) didamaikan. Akan tetapi, haruskah karena perbedaan itu lalu kita lantas bertikai tanpa hasil positif bagi kemajuan bangsa?
Resolusi 2019 ini, salah satunya, bisa jadi ialah menjadi lebih terbuka terhadap perbedaan. Tak melulu terbuka terhadap perbedaan pandangan agama, tapi juga perbedaan pilihan politik dan cara melihat dunia. Bukankah Indonesia ini adalah rumah kita, yang harus kita jaga bersama? Kalau bukan kita, siapa lagi yang mau menjaganya?Â
Simak pula aneka artikel bermanfaat di: Â https://www.kompasiana.com/bobby18864
                                     Kota Abadi, 9 Januari 2019.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H