Oh iya, tentu saja Ibu Fatima fasih berbahasa Arab. Maklum, dia kan dari Maroko ^_^. Dengan anugerah kemampuan berbahasa Arab itu, ia mampu menjembatani saudara-saudari imigran yang sebagian berasal dari Afrika Utara dengan otoritas dan warga lokal kota Asti yang berbahasa Italia.
Seperti kita tahu, akhir-akhir ini Eropa, terutama Italia, jadi tujuan para imigran Afrika Utara yang mencari kehidupan yang lebih baik atau lari dari perang. Tragedi kemanusiaan terjadi hingga detik ini. Banyak imigran meninggal karena kapal karam atau sakit keras selama perjalanan dengan perahu karet (!) dari Afrika Utara ke Italia.
Italia, dengan segala keterbatasannya (jangan dipikir Italia ekonominya jaya, ia juga sedang krisis!), menyambut para imigran itu. Gereja menjadi salah satu "lembaga" yang terlibat dalam menolong para imigran.
Dan, Ibu Fatima menjadi "jembatan emas" antara relawan orang Italia di Asti dengan para imigran yang kebanyakan berbahasa Arab.
Bagi Ibu Fatima dan para relawan asli Italia (yang mayoritas katolik), kasih pada sesama dan kesadaran sebagai orang yang hidup di negara yang satu dan sama menjadi "bahasa universal" yang menyatukan.
Resolusi 2019: Terbuka pada Perbedaan
Jujur, setelah bertemu dengan Ibu Fatima, saya jadi malu sendiri. Kenapa? Dalam otak saya, masih tersisa prasangka-prasangka tak beralasan saat berjumpa dengan orang yang "berbeda" dari saya.
Saya pikir, di Indonesia tercinta, apalagi jelang pemilu tahun ini, tak sedikit orang yang masih sulit menerima perbedaan. Suku, agama, ras sering dipolitisasi untuk menjelekkan lawan politik. "Yang berbeda" dilihat sebagai ancaman. "Yang lain dariku" otomatis jadi musuhku.
Padahal, keragaman adalah suatu kenyataan. Kasih kepada sesama dan kesadaran sebagai satu bangsa mestinya jadi lem yang merekatkan kita sebagai bangsa.Â
Tambah lagi, bukankah dalam diri tiap insan, Tuhan menanamkan kehendak intrinsik untuk berbuat baik? Saya belajar dari Ibu Fatima, yang karena dorongan untuk berbuat baik itu, dengan gembira bekerja-sama dengan relawan yang berbeda keyakinan. Sama halnya, para relawan dengan sukacita berkolaborasi dengan Ibu Fatima. Untuk apa? Untuk berbuat baik, untuk sebanyak mungkin berbuat baik sebelum maut menjemput!
Kita mafhum, perbedaan keyakinan memang tak mudah (bahkan mustahil) didamaikan. Akan tetapi, haruskah karena perbedaan itu lalu kita lantas bertikai tanpa hasil positif bagi kemajuan bangsa?