Yang terakhir atau iklan. Ini yang sering jadi oksigen media-media di Indonesia saat ini (termasuk media saya). Namun, sayangnya kue iklan di Indonesia ini sangat sedikit.
Kadang institusi atau perusahaan ini lebih memilih ke Facebook ataupun Instagram yang engagementnya lebih besar.
Saya kemarin baca di kompas.com kalau dari 100% iklan itu hanya 17% iklan yang meluncur ke media di Indonesia. Tentunya, dengan kue yang kecil itu ratusan media pasti berebut untuk kue mini. Mereka akan mati-matian untuk mengepulkan asap dapurnya.
Lantas bagaimana cara untuk mendapatkan kue tersebut?
Ya kalau kue iklannya sedikit dan medianya banyak. Tentunya apapun akan dilakukan. Bahkan kalau cara itu sangat jauh dari apa yang dikatakan berkualitas.
Dan inilah yang berimbas kepada kami para wartawan online.
Contohnya ya seperti yang terjadi saat ini di pemberitaan online. Kadang berita-berita online tak pernah memberitakan sesuatu secara "benar". Benar di sini mungkin fokus pada apa yang terjadi.
Namun, yang ditonjolkan malah sensasi di sebuah kasus. Tentang kehidupan masa lalu. Foto ganteng pelaku. Ataupun rumah sang pelaku dan kekayaan ekonominya. Media Indonesia sebagian besar pasti memberitakan kasus yang gak sama sekali ada hubungannya dengan essensi kasus itu sendiri.
Contoh kasus yang terakhir ini kerap dibicarakan. Kasus pemerkosaan terbesar di Dunia di Inggris yang dilakukan oleh orang Indonesia. Fokus media di Indonesia malah ke pemberitaan kerabat pelaku, masa lalu pelaku, orang tua pelaku dan lain-lain. Alih-alih ke kasusnya sendiri, pemerkosaan.
Bung, kami wartawan juga tidak bodoh. Kami tahu itu sangat buruk (memberitakan hal pribadi bukan kasus). Kami kebanyakan juga kuliah di jurusan ilmu komunikasi dan mungkin banyak dari kami juga mempelajari ilmu komunikasi atau media dari buku maupun diskusi.
Tapi? Kenapa kami melakukan hal yang sudah kami tahu itu jelek? Karena itu yang disukai oleh pembaca di INDONESIA.