Mohon tunggu...
Bob S. Effendi
Bob S. Effendi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Konsultan Energi

Konsultan Energi, Pengurus KADIN dan Pokja ESDM KEIN

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

PLTN, Sebuah Keniscayaan Bagi Indonesia

20 Januari 2019   01:27 Diperbarui: 16 September 2019   21:01 2330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Energi = Kesejahteraan

Energi adalah mata uang alam semesta, tidak ada apapun di alam semesta ini yang tidak memiliki komponen energi. Termasuk dengan peradaban manusia, bertambah maju peradaban maka bertambah padat energi yang di pakai dan bertambah tinggi konsumsinya,  begitu juga dengan kesejahteraan.

Semua negara  berkembang di dunia tentunya bermimpi untuk mencapai tingkat kesejahteraan setara dengan negara maju seperti Amerika atau negara di Eropa dengan GDP per kapita di atas $ 35.000. 

Namun, kenyataannya jauh dari mimpi karena di sebagian besar negara berkembang GDP masih di bawah $ 10.000 termasuk Indonesia masih di kisaran $3800 atau dengan kata lain setengah dari populasi dunia hidup dengan kurang dari $ 2,50 perhari dan sekitar 1,2 miliar masih hidup tanpa listrik - Ini adalah tantangan terbesar yang dihadapi umat manusia saat ini, yaitu pengentasan kemiskinan.

Sri Mulyani, "Sektor energi adalah potensi besar dalam mengurangi kemiskinan sekaligus menciptakan pertumbuhan... Tanpa akses listrik pengusaha tidak dapat menjalankan usaha secara kompetitif dan negara tidak bisa memperkuat ekonominya" 

Menurut ekonom INSEAD Robert Ayres, Dalam bukunya "The Economic Growth Engine: How Energy and Work Drive Material Prosperity"  pertumbuhan ekonomi memiliki korelasi linear terhadap energi, khususnya listrik dan menurutnya setiap 1 kWh konsumsi listrik memberikan kontribusi $4 - $5 kepada GDP. Artinya listrik mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi bukan sebaliknya sehingga berapa besar kapasitas terpasang pada sebuah daerah menjadi plafon pertumbuhan ekonomi.

Seseorang baru dapat di katakan sejahtera bila konsumsi listrik per hari 10 kwh maka dalam satu tahun sekitar 3650 kwh per kapita atau setara dengan konsumsi listrik Malaysia saat ini 4500 Kwh sementara Indonesia masih di kisaran 1000 kwh dan China sudah mencapai 4000 kwh.  

Untuk mencapai standard minimum kesejahteraan 4000 kwh Indonesia perlu membangun kapasitas 4X dari saat ini 65.000 MW maka perlu di bangun kapasitas tambahan 180.000 MW. Bila di lakukan dalam 20 tahun maka setiap tahun kapasitas yang harus di tambah sekitar 9000 MW.

Namun demikian, agar listrik dapat menjadi penggerak ekonomi (economic driver) maka listrik harus handal dan terjangkau yang sudah menjadi hukum besi energi. Handal artinya dapat beroperasi 24 jam atau disebut baseload serta memiliki kualitas yang yang stabil, khususnya frekuensi (50 Hz) dan tegangan (220 Volt). Yang saat ini memenuhi kriteria handal dan murah hanyalah batubara, itu sebabnya lebih dari 60% pembangkit memakai batubara untuk menggerakan ekonomi.

Target Pertumbuhan Ekonomi

Dalam rangka mengejar ketertinggalan kesejahteraan masyarakat Indonesia agar mencapai GDP per kapita pada tahun 2025 di atas US$ 6000 yang telah diamanatkan dan ditargetkan dalam Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang (RPJPN -- UU No 17/2007) maka ekonomi Indonesia harus tumbuh di 6% - 7%.

Untuk mencapai pertumbuhan di atas 6% menurut Rencana Umum Energi Nasional, RUEN (PERPRES No 22/2017) pada tahun 2025, maka pada tahun tersebut kapasitas terpasang pembangkit listrik perlu di lipat gandakan menjadi minimal 115.000 MW dan pada tahun 2050 menjadi 430.000 MW dari kapasitas terpasang saat ini sekitar 60.000 MW, artinya setiap tahun harus di bangun 10,000 MW kapasitas terpasang dari rata-rata sekitar 5000 MW dan untuk mencapai target tersebut tidak mungkin tercapai tanpa pembangkit skala gigawatt seperti, PLTN. 

Sehingga analisa apapun Indonesia harus mampu mambangun 10 GW per tahun bila ingin mencapai target pertumbuhan ekonomi dan mencapai kesejahteraan. Memang akan menjadi perdebatan mana yang lebih dahulu, pertumbuhan ekonomi dulu (demand driven) baru listrik menyusul sebagaimana yang terjadi saat ini .

Atau justru kebalikannya listriklah yang memicu pertumbuhan ekonomi (supply driven). Saya berpendapat justru listriklah driver pertumbuhan ekonomi jadi harus masuk dahulu. -- hal ini saya bahas dalam tulisan terdahulu "Listrik Sebagai Driver Pertumbuhan Ekonomi"

Menurut data IAEA per 31 Desember 2016, PLTN yang beroperasi di seluruh dunia sebanyak 454 PLTN dengan kapasitas terpasang 391.000 MW. Angka ini adalah angka yang tertinggi dalam sejarah Nuklir dan akan terus naik [1]. 

Hal ini menunjukan bahwa adanya tren positif. Menurut laporan BP (2016), PLTN akan tumbuh 2.3% per tahun sampai 2035 maka pada tahun 2035 bauran PLTN akan mempunyai porsi yang cukup besar mendekati 30% dari bauran energi dunia. [2] - Jelas dengan pertumbuhan seperti tidak dapat di sangkal nuclear are here to stay! bahkan saat ini pertumbuhan PLTN terjadi di negara berkembang bukan negara maju.

Pertumbuhan PLTN di dunia
Pertumbuhan PLTN di dunia
Regulasi yang Cukup Kuat 

Polemik Nuklir masih terus berlangsung sejak di tempatkannya Nuklir sebagai "opsi terakhir" (pasal 11 ayat 3) dalam PP 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, Meskipun dalam UU No 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional telah diamanatkan bahwa pada tahun 2024 Indonesia akan menggunakan tenaga nuklir yang artinya PLTN sudah beroperasi dan juga diamanatkan dalam PERPRES No 2 tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

Menurut kajian Policy Brief Bappenas No 2 tahun 2016 tentang PLTN, bahwa Pembangunan PLTN memiliki landasan hukum yang kuat dan klausul opsi terakhir tidak dapat menganulir undang undang bahkan dalam penjelasan PP 79 untuk pasal 11 ayat 3, pasal opsi terakhir tersebut di jelaskan bahwa bila telah di lakukan kajian yang komprehensif dan adanya keperluan mendesak maka Nuklir dapat di manfaatkan. [3] -- Artinya tinggal memberikan argumentasi keterdesakan tersebut.

 Bahkan Wamen ESDM mengatakan "Jangan selalu berkutat dengan pertanyaan apakah PLTN boleh di bangun, Jika harga listrik PLTN sesuai dengan BPP tidak menutup PLTN dapat di bangun di Indonesia", yang di lansir di berbagai media pada November 2017. 

Dengan kata lain sebenarnya tidak ada regulasi yang menghalangi pembangunan PLTN, hanya persepsi saja bahwa seolah "dilarang" melalui klausul "opsi terkahir" padahal tidak bahkan amanat UU no 17/2007. Dalam berbagai kajian oleh BPPT, Kemristekdikti, BIN dan ESDM mendesaknya PLTN sudah sering di bahas. Bahkan dalam dokumen ESDM, "Buku Putih PLTN 5000MW" (2015) yang sayangnya tidak pernah di rilis, di katakan di butuhkan  5000 MW PLTN pada 2025. 

Bila di rangkum dari berbagai kajian tersebut maka ada lima (5) alasan mengapa PLTN sudah sangat mendesak dan perlu dibangun. 

Pemerintah dalam PP 14/2015 sudah menetapkan kriteria PLTN yang perlu di bangun yang sudah saya bahas dalam tulisan terdahulu "Inilah Kriteria PLTN yang di Inginkan Pemerintah".

Alasan Mendesak Mengapa PLTN Perlu Di Bangun

1) Menekan BPP Nasional: Salah satu pemicu naiknya inflasi adalah tarif listrik sementara Inflasi menyebabkan tergerusnya daya beli masyarakat Indonesia dan melemahnya perekonomian nasional. Oleh itu sangat penting untuk BPP tidak naik sehingga dapat memberikan listrik dengan tarif yang terjangkau bagi masyarakat dan industri tetapi sangatlah sulit menekan BPP untuk tidak naik karena isu volatilitas bahan bakar. 

Ketua Umum KADIN, Rosan Roeslani mengatakan bahwa harga listrik dan gas masih terlalu tinggi sehingga mengghambat produktifitas  industri [4]. Beberapa PLTN Generasi IV seperti Molten Salt Reactor yang berbahan bakar cair, yang di Indonesia populer dengan nama Pembangkit Listrik Tenaga Thorium (PLTT) merupakan salah satu ospi karena memiliki keekonomisan yang dapat bersaing dengan PLT batubara. Salah satu yang telah menawarkan kepada Pemerintah untuk membangun PLTT dengan skema Independent Power Producer (IPP) adalah Thorcon Power

upah tergerus inflasi
upah tergerus inflasi
2) Melepaskan Dari Volatilitas Bahan Bakar Fossil: karena hampir 60% bahan bakar pembangkit adalah batubara dimana komponen harga batubara hampir 50% dari biaya pokok pembangkitan (BPP) maka perubahan harga batubara akan mempengaruhi BPP, bahkan laba PLN pada 2017 merosot Rp 4 Triliun di banding tahun sebelumnya karena tergerus naiknya harga batubara [5] . 

Setiap kali harga batubara  tembus $100 per ton (Sejak 2012 sudah 3x) maka APBN  tegerus dan PLN menjerit.  Kenyataannya Indonesia tidak dapat mengontrol harga pasar fossil (market price).

Faktanya harga bahan  bakar batubara atau fosillnya lainya, minyak dan gas akan terus berubah (volatile) mengikuti pasar menyebabkan tidak dapatnya terprediksi subisidi energi dalam APBN dan pada akhirnya menyebabkan beban bagi APBN dan masyarakat-- Dengan kata lain ekonomi Indonesia tersandera dengan naik turunnya harga batubara dan gas. Sementara komponen bahan bakar PLTN hanya kurang dari 3% dari BPP maka volatilitas bahan bakar seperti Uranium ataupun Thorium tidak akan menggangu BPP PLTN.

3) Membangun Kapasitas Skala Besar: Untuk mencapai target kapasitas terpasang sesuai rencana pembangunan 430,000 MW pada tahun 2050 maka di butuhkan membangun 10,000 -- 12,000 MW per tahun, sementara selama 20 tahun yang dapat terbangun rata-rata 4 -- 5 GW per tahun. 

Walaupun saat ini karena pertumbuhan ekonomi yang melambat pada kisaran 5,1% sehingga 4 -- 5 GW per tahun masih mencukupi tetapi ketika pertumbuhan ekonomi telah di atas 6% sesuai dengan rencana maka jelas tidak akan mencukupi. Oleh sebab itu di butuhkan pembangkit listrik skala GigaWatt dalam skala besar yang dapat di tingkatkan kapasitasnya dalam waktu cepat. -- Salah satu yang dapat di andalkan adalah jenis PLTN SMR (Small Modular Reactor).

4) Menggantikan Bahan Bakar Fossil Yang Menipis: Menurut laporan Asosiasi penambang Batubara berdasarkan kajian yang di lakukan oleh PriceWater House Copper (PWC), batubara Indonesia hanya cukup sampai tahun 2033 [6].  

Dari berbagai kajian yang di lakukan oleh BPPT, yang tertulis dalam BPPT Energy Outlook 2016, Indonesia pada tahun 2029 akan menjadi net importir energi dan  total cadangan fossil (batubara, minyak dan gas) tidak akan mencukupi sampai 2040.  Artinya pada tahun 2040 Indonesia harus mengimpor hampir 70% dari energi primer bukanlah sebuah masa depan yang baik bagi pertumbuhan ekonomi.  Menurut BPPT Outlook 2018, Indonesia sesungguhnya sudah dapat dikatakan darurat energi dan untuk mengatasi hal tersebut di butuhkan PLTN 8000 MW sampai 2050. [7]

cadangan fossil menipis
cadangan fossil menipis
5)  Mencapai Target EBT 23% Pada Tahun 2025: Untuk mencapai target 23% EBT atau setara dengan 45,000 MW maka di butuhkan terpasang 1,5% per tahun padahal saat ini hanya mampu di bawah 0,5% maka jelas pada 2025 hanya akan tercapai tidak lebih dari 15%, hal  ini merupakan kenyataan yang tidak dapat di sangkal bahkan di akui oleh Menteri ESDM [8].  

Untuk mencapai 23% maka setiap pertumbuhan EBT rata-rata harus di atas 1,5% sementara data menunjukan sejak 2010 hanya tumbuh rata-rata 0,36% per tahun (grafik bawah). 

Bahkan Bapennas dalam Policy memo PLTN mengatakan "PLTN merupakan alternatif paling akhir sekaligus masuk akal untuk memenuhi kebutuhan pasokan/pembangkitan tenaga listrik seperti diproyeksikan KEN 2015-2050". Menurut BPPT untuk menopang besarnya kebutuhan industri , jenis EBT yang paling memenuhi syarat ialah energi Nuklir. 

pertumbuhan EBT
pertumbuhan EBT
 Penerimaan Masyarakat

Penerimaan masayarakat selalu di jadikan alasan oleh berbagai pihak yang tidak menghendaki PLTN sebagai alasan padahal faktanya jauh dari kenyataan. Berdasarkan survey dengan 4000 responden di 34 propinsi yang di lakukan oleh BATAN, sejak tahun 2011 penerimaan masyarakat terhadap Nuklir meningkat terus dari tahun ke tahun dari 49% (2011) sampai pada level 77,5% (2017). -- Angka ini dapat di katakan tertinggi di dunia, karena negara-negara yang mengoperasikan PLTN angka penerimaan masyarakat berada pada kisaran 65% - 70%. [9]

Penerimaan terhadap PLTN
Penerimaan terhadap PLTN
Nuklir Sebuah Keniscayaan

Sangat jelas bahwa ke 5 alasan di atas tidak mungkin dapat di jawab tanpa Nuklir sehingga pemanfaatan energi Nuklir sudah merupakan keniscayaan bila Indonesia ingin menjadi negara maju melalui tumbuhnya industri yang memiliki daya saing untuk itu membutuhkan listrik skala besar, murah dan handal. 

Sebagaimana disampaikan Kepala BPPT Unggul Priyanto, Indonesia dalam keadaan darurat energi, salah satu solusi menghadapi tantangan tersebut menurutnya adalah dengan pemanfaatan energi Nuklir, "Pilihan terhadap Nuklir semakin tidak terelakan karena Indonesia membutuhkan pembangkit skala besar dengan pasokan energi yang kontinu" [10]

Jakarta 19/01/19
BSE 


 Referensi

[1].  IAEA PRIS : pris.iaea.org
[2].  BP raises 2035 Nuclear Forecast  : analysis.nuclearenergyinsider.com
[3].  Policy Brief Bapennas No.2 / 2016 : https://www.scribd.com/document/394516795/Policy-Brief-Bapennas-2-2016-ttg-PLTN-PDF
[4].  "Kadin: Selama 10 Tahun Indonesia Alami Deindustrialisasi katadata.co.id
[5].  "Laba PLN tergerus kenaikan harga batubara" petrominer.com
[6].  "PwC, Indonesia Could Deplete Coal Reserves by 2033"  reuters.com
[7].  "BPPT : Indonesia Darurat Energi" bppt.go.id
[8].  "Jonan : target EBT 23% tidak dapat tercapai" finance.detik.com
[9]. "Survei Batan: 77,5 Persen Masyarakat Dukung Pembangunan PLTN" tempo.co
[10]. "Perspektif dan Potensi Ketahanan Energi Indonesia", Dr Unggul Priyanto.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun