Mohon tunggu...
Bob S. Effendi
Bob S. Effendi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Konsultan Energi

Konsultan Energi, Pengurus KADIN dan Pokja ESDM KEIN

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Listrik Sebagai Driver Pertumbuhan Ekonomi

11 September 2017   09:51 Diperbarui: 21 Oktober 2017   23:02 11045
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagian besar ekonom berpendapat bahwa driver pertumbuhan ekonomi adalah investasi dan konsumsi tetapi seorang ekonom Amerika, Prof. Dr Robert Ayres, ekonom INSEAD, dalam bukunya "The Economic Growth Engine: How Energy and Works Drive Material Prosperity", mengatakan bahwa sesungguhnya driver dari ekonomi adalah energi, khususnya Listrik. -- Tentuya perbedaan cara pandang ini berdampak luas terhadap perencaan pembangunan serta pertumbuhan ekonomi, hal inilah yang akan Kami bahas dalam tulisan ini.

Data empiris dari berbagai negara di dunia menunjukan bahwa setiap 1 kwh konsumsi listrik akan memberikan kontribusi sekitar $4 - $5 PDB. [1]  

Berdasarkan kalkulasi yang di Kami lakukan bersama dengan Drs. Agus Sugiyono dari BPPT, dengan memakai data ESDM dan PLN, dalam 10 tahun terakhir rata-rata 1 kwh konsumsi Listrik di Indonesia memberikan kontribusi $3.9 terhadap PDB. 

Ada korelasi 90.89% selama 14 tahun (2000 - 2014) antara pertumbuhan konsumsi listrik dan pertumbuhan GDP per capita dengan angka seperti ini maka korelasi ini tidak dapat dinafikan.

Artnya secara empiris sebuah negara dengan GDP di bawah $7000, kontribusi listrik adalah faktor dominan (di atas 90%) karena kompleksitas ekonominya sangat sederhana yaitu ekploitasi sumber daya alam (raw meterial) sehingga tidak punya nilai tambah yang menyebabkan listrik menjadi faktor penentu -- Lain dengan negara dengan GDP per kapita di atas $10,000 maka biasanya ekonominya menjadi lebih kompleks artinya listrik sudah tidak lagi menjadi faktor penentu (di bawah 65%)  -- analisa ini saya akan tulis dalam tulisan lainnya.

Hal ini mengkonfirmasi analisa Robert Ayres bahwa konsumsi listrik mendorong pertumbuhan ekonomi bukan sebaliknya.

Dengan asumsi rata-rata factor kapasitas 75% dan daya mampu sekitar 65% dan mengalikan dengan $4 maka dapat di kalkulasi setiap 1000 MW kapasitas terpasang akan memberikan kontribusi terhadap PDB sekitar $16 Milyar atau setara dengan Rp 200 Triliun. 

Artinya PDB tidak dapat tumbuh melebihi berapa besar kapasitas Listrik terpasang atau dengan kata lain, plafon pertumbuhan ekonomi

Menteri Keuangan Sri Mulyani di berbagai kesempatan mengutarakan kekuatirannya Indonesia dapat terjebak dalam perangkap middle income trap bila pada tahun 2025 PDB per kapita tidak tembus $6000 -- Maka dapat di kalkulasi dengan sederhana untuk menembus PDB per kapita $6000 pada 2025 di butuhkan minimum 120,000 MW kapasitas terpasang pada tahun 2025.

Dengan kata lain target PEPRES No 22 tahun 2017 (RUEN), yaitu 138 GW pada 2025 harus tercapai dengan upaya yang maksimal tanpa mengdiskriminasi Nuklir sebagai salah satu sumber energi yang dapat memberikan kapasitas besar dengan biaya murah

Bila thesis Ayres benar bahwa Listrik adalah driver pertumbuhan ekonomi maka seharusnya pendekatan berbasis permintaan (demand driven) sudah tidak valid lagi. Pendekatan demand driven yang menyebabkan hampir 65% kapasitas Listrik terpasang berada di Pulau Jawa dengan permintaan tertinggi yang akhirnya menyebabkan pemerataan pembangunan tidak merata yang terbukti dengan meningkatnya terus Gini ratio sejak tahun 2000, walaupun terjadi sedikit penurunan dalam 2 tahun terahir.

Gini rasio 1964 - 2013
Gini rasio 1964 - 2013
Berarti untuk melakukan pemerataan pembangunan atau menutup kesenjangan pendapatan cukup merubah pendekatan penyedian listrik dari pendekatan demand driven menjadi supply driven.

Dengan kata lain kesenjangan pendapatan adalah dampak dari pendekatan demand driven penyediaan listrik yang terkonsentrasi di jawa.

Indonesia 2030 : Ekonomi no 5 Terbesar.

Kompas.com - 07/09/2017, 11:58 WIB
Kompas.com - 07/09/2017, 11:58 WIB
Sebuah studi dari Price Water House Cooper (PWC) yang baru di rilis awal 2017 mengatakan bahwa Indonesia pada tahun 2030 akan menjadi negara no 5 ekonomi terbesar di dunia dengan GDP $5.420 Triliun. Dari penjelasan di atas jelas metode apapun yang di lakukan untuk meningkatkan GDP tanpa adanya kapasitas terpasang yang cukup maka sangat tidak mungkin GDP dapat begerak tumbuh - Hal inilah yang tidak pernah di bahas bagaimana mencapai no 5 dalam 15 tahun.

Maka untuk mencapai ekonomi no 5 terbesar tersebut maka berapa listrik yang di butuhkan - Mari kita kalkulasi bersama.

PWC mengasumsikan pada tahun 2030 jumlah penduduk 295 Juta dan GDP per Kapita $18.400 -- Untuk mendapatkan konsumsi listrik perkapita, GDP kita bagi $4 maka kita mendapatkan konsumsi listrik sebesar 4600 kWh per kapita. Bila 1 MW Kapasitas terpasang menghasilkan 5 Gwh maka total kapasitas terpasang di butuhkan pada tahun 2030 adalah 271,400 MW, jauh di atas target RUEN. 

Artinya untuk menjadi ekonomi no 5 terbesar di dunia, Indonesia harus membangun 14,400 MW per tahun atau 72,000 MW per 5 tahun - Bagaimana caranya, bila 35,000 MW saja tidak dapat tercapai.

Untuk itulah perlu merombakan total sektor energi dan kelistrikan, keluar dari zona nyaman dan melakukan terobosan bila Indonesia ingin mencapai cita-cita menjadi negara besar

Pendekatan Suplai vs Demand

Bahwa Listrik mendorong pertumbuhan PDB dan bukan sebaliknya terlihat sekali dalam grafik di bawah yang menggambarkan keadaan China sejak 1985 -- 2015. Terlihat bahwa kurva PDB mengikuti tren kurva kapasitas terpasang.  [2]

Dr. Ir. Tumiran, Anggota Dewan Energi Nasional memiliki pendapat yang sama dengan Ayres, bahwa pendekatan permintaan (demand driven) tidak cocok untuk negara dengan PDB per kapita rendah:

"Pertumbuhan kebutuhan listrik untuk saat ini jangan mengikuti pertumbuhan ekonomi, tetapi harus di rubah pola pikirnya, ketersedian energi listrik harus di jadikan "economic driven" atau energi listrik harus di jadikan penggerak perekonomian... [supply driven] "[3]

Susungguhnya PLN sebelum berubah menjadi BUMN pendekatan perencanaan Listrik adalah pendekatan penyediaan (supply driven) karena melekatnya tanggung jawab negara untuk menyediakan listrik sebagai infrastruktur (public service obligation) tetapi ketika PLN berubah menjadi BUMN maka fungsi PSO tersebut seolah kabur bahkan dapat di duga hilang dan orientasinya menjadi profit.

Listrik Sebagai Infrastruktur

Keberadaan sebuah negara dapat di rasakan oleh masyarakat melalui 4 hal yaitu : 1) Jalan yang dapat di lalui kendaraan bermotor, 2) sekolah dasar sampai menegah, 3) pelayanan kesehatan dan 4) tentunya penerangan (Listrik). Tanpa adanya penerangan (Listrik) di sebuah daerah maka keberadaan negara tidak di rasakan oleh masyarakat.

Mendapatkan pasokan Listrik dengan harga yang terjangkau adalah hak dasar masyarakat yang di jamin dalam undang-undang. Artinya Listrik adalah sebuah obligasi atau kewajiban bagi pemerinah untuk menyediakan sebagaimana Jalan umum. Permasalahan timbul ketika kewajiban PSO ini di jalankan oleh BUMN yang tujuannya adalah keuntungan.

Penyediaan Listrik sebagai PSO atau kongkritnya penyediaan listrik untuk rumah tangga sederhana (dibawah 900 va) dan penerangan umum atau yang sering di hitung sebagai rasio elektrifikasi (penerangan) seharusnya tidak di lakukan oleh BUMN sebagaimana jalanan ada yang di Bangun oleh Kementrian PU sebagai PSO (infrastruktur) dan ada jalan yang sebagai komoditas dibangun oleh BUMN (Jasa Marga).

Dengan nalar di atas maka seharusnya penyediaan Listrik sebagai penerangan di lakukan oleh sebuah badan layanan umum (BLU) kelistrikan di setiap propinsi atau kabupaten sehingga pemerintah daerah ikut juga mengambil peran aktif dalam melistriki daerahnya yang akan berdampak kepada peningkatan ekonomi daerah yaitu meningkatnya Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Maka dengan ini akan membebaskan PLN dari penerangan dan dapat fokus untuk membangun infrastruktur transmisi kelistrikan dan pembangunan pembangkit skala GigaWatt untuk dapat mengejar ketertinggalan.

Dengan keterlibatan pemda dalam percepatan pemenuhan listrik sebagai penerangan maka target rasio elektrikasi 100% dapat di capai dengan cepat yang akan meningkatkan PDB per kapita daerah tertinggal sehingga berdampak terhadap pengentasan kemiskinan.

Solusi Capai Target RUEN

Untuk mengejar PDB per kapita $6000 pada tahun 2025 maka perlu di bangun kapasitas di atas 10,000 MW per tahun atau sekitar 130,000 MW pada tahun 2025 sementara saat in kemampuan PLN hanya mampu membangun sekitar 4000 MW per tahun. -- Dengan kemampuan seperti ini sulit Indonesia dapat menembus pertumbuhan di atas 6% atau $6000 PDB per kapita -- Sudah banyak seminar dan FGD yang membahas RUEN yang kami hadiri tapi belum pernah Kami mendengar solusi bagaimana caranya dapat mencapai target RUEN  10,000 MW per tahun. 

Berikut adalah rekomendasi kami untuk dapat mencapai target RUEN serta pemerataan pembangunan :

  1. Membentuk beberapa PLN regional sebagai perusahaan yang terpisah (bukan hanya membagi menjadi beberapa direksi regional) sebagaimana sudah di amanatkan dalam UU ketangalistrikan sebagai konsep regionalisasi. -- Hal ini akan membuat PLN regional membangun di wilayahnya masing-masing sehingga tidak terkonsentrasi di Jawa.
  2. Membentuk BLU ketenagalistrikan di setiap propinsi yang bertanggung jawab memlaksanakan penyediaan listrik untuk penerangan sehingga rasio elektrifikasi 100%  dapat tercapai dengan cepat dengan memanfaatkan energi terbarukan setempat.
  3. Memfokuskan PLN untuk membangun interkoneksi jaringan serta peningkatan kualitas dan kehandalan jaringan. - Prioritaskan membangun smart grid untuk Jawa - Bali. 
  4. Meningkatkan peran swasta dalam pembangunan pembangkit skala kecil dan menengah (dibawah 500 MW) dan PLN (atau anak perusahaan PLN) berkerjasama dengan swasta untuk membangun pembangkit skala besar (di atas 500 MW), seperti PLTN, untuk mengejar ketertinggalan.
  5. Berhenti mempolitisasi Nuklir dan mulai mempersiapkan perencanaan pembangunan PLTN sehingga pada 2025 dapat beroperasi dengan PLTN yang biayanya dapat bersaing dengan batubara.

KONKLUSI : Membahayakan Keamanan Nasional

Dengan membetuk beberapa PLN regional serta pelibatan Pemda dalam penyediaan listrik untuk penerangan maka secara otomatis terjadi perubahan dari demand driven menjadi suplai driven yang akan berdampak terjadinya pemerataan pembangunan dan percepatan pertumbuhan ekonomi.

Bila ke lima hal tersebut di lakukan maka Kami yakin target capaian pertumbuhan ekonomi dapat tercapai tetapi bila tidak maka akan menyebabkan tidak tercapanya pertumbuhan ekonomi yang di targetkan sehingga akan menyebabkan kerentanan Ketahanan Ekonomi. Berdasarkan Index Ketahanan Energi yang di ukur oleh Badan Energi Dunia (World Energy Council), peringkat Indonesia 2015 berada pada posisi 65 merosot dari 61 pada tahun 2014, jauh di bawah Malaysia yang  pada peringkat 21, Singapura 23 dan Filipina 50. Menurut analisa World Energy Council tren Ketahanan Energi Indonesia memiliki kecenderungan turun dibading negara lainnya di ASEAN. [4]

Hal ini juga di akui oleh anggota DEN, Renaldy Dailamy 

"Posisi ketahanan energi Indonesia semakin merosot dalam beberapa tahun terakhir. Penyebabnya, ketidakseimbangan laju ketersediaan energi dengan kebutuhan"  [5]

Bila Ketahanan Energi adalah pilar dasar dari Ketananan Nasional sesuai dengan UU No 30 tahun 2014, maka kerentanan Ketahanan Energi akan mengakibatkan kerentanan Ketahanan Nasional yang membahayakan keamanan Negara.

BBPT pada Energy Outlook 2015, menegaskan nilai strategis PLTN bagi ketahanan negara :

Pemanfaatan PLTN bukan hanya berdampak terhadap keamanan dan ketahanan energi nasional tetapi lebih luas mencakup keamanan dan ketahanan negara. Untuk itu, pemanfaatan PLTN seyogyanya bukan semata sebagai masalah ekonomi tetapi sudah menjadi persoalan bangsa[6]

 

Referensi

[1] http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1530-9290.2012.00489.x/abstracthttp://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1530-9290.2012.00489.x/abstract

[2] http://euanmearns.com/electricity-and-the-wealth-of-nations 

[3] Interview Majalah Listrik Indonesia, Edisi April 2017

[4] 2015 World Energy Trilemma Index | World Energy Council

[5] Ketahanan Energi Indonesia Merosot, Kompas.

[6] BPPT Energy Outlook 2015, hal 87

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun