Mohon tunggu...
Bob S. Effendi
Bob S. Effendi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Konsultan Energi

Konsultan Energi, Pengurus KADIN dan Pokja ESDM KEIN

Selanjutnya

Tutup

Money

Deindustrialisasi Ancam Indonesia Jadi Negara Gagal

21 November 2016   18:10 Diperbarui: 27 November 2016   09:06 2124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kaget dan cemas, ketika saya membaca analisa ekonomi  di Kompas pada tanggal 12 Oktober 2016 pada hal 26 berjudul  "Makroekonomi: Plus dan Minus" [1].  Dengan headline pada artikel tersebut berbunyi :

"Ada beberapa gejala yang mencemaskan di tunjukan oleh perekonomian indonesia dalam beberapa tahun terkakhir. Gejala itu adalah kian menguatnya Indonesia masuk dalam perangkap pendapatan menengah ("middle income trap") serta kian tersingkir dan tertutupnya Indonesia dalam kancah perdagangan global. Kondisi ini ironis dengan posisi Indonesia sebagai salah satu perekonomian dunia, yaitu urutan sepuluh pada 2015. (kompas)"

seharusnya menjadi wake-up call atau alarm bagi Pemerintah dan Masyarakat yang sedang di sibukan dengan persoalan politik bahwa masa depan Bangsa yang terancam dalam sebuah jebakan ekonomi yang di sebut middle income trap yang bagi saya tidak lain dapat di artikan sebagai ancaman negara gagal.

Tidak dapat di sangkal lagi bahwa selama 15 tahun terakhir, setelah reformasi Indonesia sedang mengalami proses DE-INDUSTRIALISASI. Kontribusi manufakturing (industri non-migas) merosot terus dari 29,0% pada 2001 menjadi 20,7% pada 2016. Padahal seharusnya untuk sebuah negara dengan GDP di bawah $7000 seharusnya di kisaran 30% - 40%

Walaupun saya bukanlah seorang ekonom tetapi sebagai warga negara yang peduli, saya berkewajiban memaparkan masalah ini dan berharap dapat di share dan pada akhirnya dapat di baca oleh pengambil keputusan di Negara ini - Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menganalisa apakah upaya yang sekarang di lakukan oleh Pemerintah akan dapat mengangkat pertumbuhan indistri pada 2025 sesuai dengan target RIPIN (Rencana Induk Pembangunan Industri  Nasional)

Pertama, beberapa kutipan analisa Kompas tersebut antara lain  :

Paragraf 4 :

Dari PDB per kapita nominal, Indonesia bahkan mengalami penurunan dalam tiga tahun terkakhir, demikian pula pendapat nasional bruto (Gross National Bruto/GNI) per kapita dua tahun terkahir di ukur dalam dollar AS.  Indonesia sudah di salip Filpina pada 2015.

Paragraf 5 :

Indonesia sudah mengalami penurunan tingkat pendapatan per kapita pada saat pendapatan perkapita masih rendah. Di posisi ini Indonesia Indonesia berada dalam posisi bawah.  GNI per kapita yang rendah dan tertatih-tatih ini kian menguatkan kekuatiran Indonesia terjebak perangkap pendapatan menengah karena dari pengalaman dan pola pertumbuhan yang terjadi di banyak negara selama ini.

Paragraf 6:

Di lihat dari GNI per kapita dalam dollar AS, probabilitas Indonesia masuk ke high income dalam 10 tahun hanya 9 persen sementara probabilitas masuk high income dalam 20 tahun 12 persen, dan probabilitas dalam 30 tahun hanya 18 persen. Artinya Sulit sekali bagi Indonesia keluar dari ancaman perangkap pendapatan menengah , kecuali di lakukan terobosan-terobosan

Paragraf 9 :

Industrilisasi Indonesia kehilangan tenaga di tengah jalan, dengan daya saing juga rendah. Demikian pula kapasitas manufaktur juga rendah sangat rendah. Padahal manufaktur adalah mesin untuk tngerjadinya perubahan teknologi yang mampu mengangkat produktivitas nasional.

Paragraf 10:

Ekspor kita semakin tidak berteknologi tinggi, dan keunggulan komparatifnya masih tak bergeser dari komoditas primer. Manufaktur per kapita kita bahkan sudah di susul Kamboja. Dari sini jelas terlihat Indonesia tidak berada dalam jalur transformasi structural yang ideal. Dengan kondisi seperti ini, akan sangat sulit di harapkan kita akan keluar dari middle income trap.

Paragraf 11

Kondisi ini juga menyebabkan Indonesia kian tersisih dari kancah perdagangan global. Data Bank Dunia menunjukan, Indonesia satu-satunya negara dengan ekspor per PDB yang mengalami penurunan.

Artikel lengkap Kompas 12 Oktober 2016 dapat di download disini (jpg): https://goo.gl/photos/bqUQjr9K8kLEavm89

Peringatan ancaman tersebut sebenarnya juga telah beberapa kali diberikan oleh World Bank [2] kepada Indonesia dan World Bank memberikan 6 langkah untuk dapat menanggulangi supaya Indonesia tidak terperangkap dalam ancaman tersebut.

Begitu juga Faisal Basri dalam sebuah interview dengan Jakarta Post mengatakan untuk Indonesia keluar dari Ancaman Middle Income Trap maka Pemerintah harus meningkatkan peran Industri seperti yang di lakukan oleh Korea pada era tahun 70’an. [3] Dalam blog nya Basri menjelaskan tidak adanya perbaikan dalam peningkatan pertumbuhan Industri 

“Pertumbuhan industri manufaktur pascakrisis hampir selalu di bawah pertumbuhan PDB, sehingga peranannya turun terus. Diversifikasi industri pun belum menampakkan perbaikan berarti” [4]

Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardojo, pada rapat kerja dengan Pemerintah Daerah pada 25 November 2016 (Kompas 26/11/16 hal.17) mengatakan :

"Sejak 2004 pertumbuhan industri manufaktur selalu di bawah pertumbuhan produk domestik bruto sehingga menunjukan terjadinya deindustrialisasi" (Agus Martowardojo)

Proses De-Industrialisasi yang sudah berlangsung selama lebih dari 15 tahun, sejak reformasi sudah sudah mulai berdampak terhadap ekonomi makro, bukan saja penurunan pertumbuhan ekonomi tetapi sudah berdampak kepada penurunan pendapatan per kapita dalam 5 tahun terakhir, yang turun dari $3700 pada tahun 2012 menjadi $3346 pada tahun 2015

GDP Per Kapita Indonesia yang merosot
GDP Per Kapita Indonesia yang merosot
Tidak dapat di sangkal telah terjadi Kontraksi ekonomi di akui apa tidak - waluapun sebagian besar ekonom akan mengatakan bahwa ini adalah efek temporer karena melemahnya rupiah terhadap dollar - untuk saya jawaban tersebut hanyalah justifikasi penyangkalan terhadap apa yang terjadi, karena dengan merosotnya export pastinya rupiah akan melemah. Lalu saya rasa kita harus terus berhenti membandingkan ekonomi Indonesia dengan dunia, Karena sebagian besar negara-negara yang selalu di bandingkan oleh Pemerintah memiliki GDP per capita jauh di atas Indonesia sehingga dampak fluktuasi ekonomi tidak terlalu di rasakan oleh masyarakatnya.

Seharusnya solusinya adalah  memperbaiki infrastruktur Perindustrian sehingga industri dapat tumbuh bukan  mengalihkan ke sektor Jasa yang di harapkan dapat memberikan penguatan ekonomi, karena secara empiris tidak ada sektor jasa dapat mengangkat GDP per capita untuk negara dengan penduduk di atas 100 Juta.

Pertumbuhan Ekonomi bergantung kepada konsumsi 

Salah satu kesalahan hampir semua Pemerintahan setelah reformasi adalah mengambil jalan pintas untuk mengenjot pertumbuhan ekonomi yaitu melalui konsumsi masayarakat dan belanja pemerintah di banding menumbuhkan sektor Industri yang memang lebih sulit tetapi hasillnya jauh lebih sustain dalam jangka panjang di banding konsumsi.  Menurut data BPS saat ini konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari 55% terhadap pertumbuhan ekonomi [5].

Menggenjot pertumbuhan ekonomi melalui konsumsi sebenarnya tidak masalah selama sektor industri masih memberikan kontribusi cukup signifikan tetapi ketika sektor industri juga merosot tajam ini menjadi masalah karena tidak adanya uang baru dalam bentuk investasi atau export masuk kedalam ekonomi, uang hanya berputar dari kantong saya ke anda. Begitu juga belanja Pemerintah yang tidak lain sebagian berasal dari pajak yaitu uang dari kantong masyarakat juga. – Pada akhirnya siklus ini tidak dapat bertahan karena pada akhirnya daya beli masyarakat merosot karena dampak merosotnya industri mulai memberikan dampak kepada inflasi dan pengangguran yang meningkat sehingga daya beli merosot dan pertumbuhan ekonomi menurun.

Sebenarnya Presiden Jokowi sudah menyampaikan hal tersebut pada Rapat Terbatas Kabinet tanggal 9/6/2015  tetapi realisasinya justru sektor Jasa, khususnya Pariwisata yang di prioritaskan. 

"Pertumbuhan ekonomi kita hendaknya lebih menekankan pada produktivitas dan didukung oleh industri kita yang kuat. Jangan sampai berbasis konsumsi karena apa pun nilai tambah itu ada di sisi produksi dan pengembangan industri dalam negeri," (Presiden Joko Widodo) [6]

Berdasarkan penelitian yang di lakukan oleh McKinsey, sektor Jasa tidak dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap GDP sebelum GDP per capita di atas $7000 - $10,000. Grafik di bawah adalah siklus evolusi pertumbuhan ekonomi sebuah negara yang sehat evolusi pertumbuhan ekonominya akan mengikuti kurva McKinsey yaitu dimana ketika porsi industri terhadap GDP sudah melebihi 30% - 40% dan GDP per capita di atas $7000 -  $10,000 maka ekonomi mulai bergeser ke arah sektor Jasa. – Middle income trap adalah posisi sebuah negara yang terperangkap dengan GDP di bawah $7000 dan manufacturing tidak dapat tembus 30%. [7]

Manufacturing's share of GDP
Manufacturing's share of GDP
Apakah Manufakturing dapat tumbuh ?

Seharusnya sudah jelas bahwa untuk dapat keluar dari ancaman negara gagal, industri, khususnya Industri manufacturing (non-migas) yang selama 15 tahun terkakhir merosot terus harus tumbuh dan bergerak naik. – Pada tahun 2015 Pemerintah mengeluarkan Rencanan Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) yang menjadi PP no 14 tahun 2015. 

Menurut RIPIN pada tahun 2025 kontribusi manufatur terhadap PDB di targetkan mencapai 23,26% dan pada tahun 2035 sebesar 29,09%.  – Artinya di butuhkan waktu 34 tahun untuk manufacturing kembali ke level 29% setara pada tahun 2001.

Bila terget RIPIN pada tahun 2025, yaitu 23,26% dapat tercapai maka seharusnya Indonesia dapat keluar dari ancaman negara gagal.  Pertanyaan mendasar adalah dapatkan target tersebut tercapai dalam 9 tahun kedepan ?

Memang sangat sulit untuk menganalisa apa yang akan terjadi dalam 9 tahun kedepan. Saya akan mencoba menganalisa secara sederhana apakah terget RIPIN tersebut dapat tercapai apa tidak pada 2025.

Listrik Komponen penting Manufaktur

Salah satu prasyarat utama terjadi pertumbuhan industri adalah : 1) Ketersedian listrik dalam skala besar dan 2) Tarif listrik yang terjangkau. – tentunya nalar sehat mengatakan bahwa tidak mungkin membangun pabrik bila listrik nya tidak ada. –  Mungkin untuk industri dengan modal besar mereka dapat membangun Pembangkit listrik sendiri tetapi untuk Industri kecil dan menengah mereka tetap akan mengandalkan ketersedian listrik oleh PLN.  

Pentingnya penyedian listrik tesebut juga telah di sampaikan oleh menteri Perindustrian  :

 “Apabila penyediaan dan kontribusi energi tersebut terlambat dilakukan, Indonesia akan terjebak dalam middle income trap di kurun waktu 2020-2030”  [8]

Bahkan Gubernur Bank Indonesia menyatakan bahwa salah satu dari tujuh tantangan meningkatkan pertumbuhan industri adalah belum tersedianya energi yang andal dengan harga kompetitif. -- Jadi pertannyaan selanjutnya adalah dapatkah Pemerintah menjamin ketersedian listrik untuk Industri ?. Ketersedian listrik untuk masyarakat dan Industri sudah direncanakan bersama dengan Kementerian Perindustrian dalam Kebijakan Energi Nasional yang menjadi PP no 79 tahun 2014 yang di buat oleh DEN dan ESDM yang kemudian di terjemahkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang sampai sekarang belum di tanda tangan Presiden sebagai Peraturan Presiden (PerPres).

Target pembangunan kapasitas listrik terpasang yang di targetkan dalam RUEN pada tahun 2025 adalah 136 GW dan pada tahun 2050 adalah 438 GW artinya sederhana, untuk mencapai Target RIPIN 23,25% pada 2025 maka harus terpasang 138,000 MW pada 2025 – Ini bukanlah sebuah analisa yang rumit tapi sangat sederhana.

Maka antara 2015 – 2025 setiap lima (5) tahun harus di bangun 40,000 MW dan antara 2025 – 2050 setiap lima (5) harus di bangun 60,000 MW.  Target pembangunan pembangkit listrik yang di canangkan oleh Pemerintahan Jokowi-JK adalah 35,000 MW yang saat sudah dapat di pastikan sampai pada akhir 2019 tidak akan tercapai, di perkirakan yang akan tercapai tidak lebih dari 18,000 MW.

Artinya dari target RUEN pada periode 2015 – 2019 masih akan terhutang 22,000 MW di tambah dengan target 2019 – 2025 maka pada pemerintahan periode berikutnya (2019 – 2025) harus membangun 62,000 MW akan harus membuat pemerintahan berikut kerja jauh lebih keras. –  Jelas dengan pengelolaan business-as-usual seperti sekarang target 62,000 MW pada periode 2019 - 2025 MUSTAHIL tercapai.

Bila target kapasitas listrik terpasang tersebut tidak dapat tercapai pada 2025 tentunya target RIPIN yang 23,25%  juga tidak mungkin tercapai. Artinya manufaktur akan terus merosot, Pengangguran bertambah, GDP per capita terus merosot dan ancaman negara gagal menjadi nyata.

Analisa di atas barulah berbicara tentang ketesedian listrik belum terhadap harga yang terjangkau. Tarif listrik di Indonesia, walaupun secara harga absolut lebih murah di banding di negara tetangga Thailand, Malaysia dan Singapore tetapi relative terhadap daya beli masyarakat (GDP per capita) tergolong mahal yang menyebabkan industri Indonesia tidak memiliki daya saing di global terbukti dengan terus merosotnya index daya saing Indonesia.

Listrik sebagai driver ekonomi

Pentingnya mencapai target KEN di 2025 yaitu 138,000 MW sebenarnya dapat di lihat dari sisi lain, bahwa Listrik dapat di jadikan driver ekonomi. Para ekonom sadar bahwa korelasi antara konsumsi listrik (Kwh per capita) dan GDP per capita adalah linear sebagaimana di analisa oleh Roger Andrew bahwa setiap konsumsi 1 kwh memberikan kontribusi $ 4-5 terhadap GDP per capita.[9]

Roger Andrew's Grafik
Roger Andrew's Grafik
Dengan hitungan tersebut dapat di kalkulasi dengan memakai $4 per Kwh, setiap penambahan 1000 MW dapat memberikan kontribusi terhadap GDP sebesar US$32 Milyar. Untuk mencapai target 138 GW di 2025, Indonesia perlu membangun tambahan kapasitas sebesar 83,000 MW (terhitung 2015).

Bila 83,000 MW di kalikan US$ 32 Milyar kemudian di bagi dengan populasi Indonesia di 2025 sebesar 285 Juta maka di dapat penambahan GDP per capita Indonesia sebesar $9.319 di tambah dengan GDP saat ini $ 3400 maka total GDP per capita menjadi $12,719 _-- Sudah keluar dari ancaman negara gagal dan di atas level GDP per capita Malaysia saat ini

Oleh sebab itu sangat penting Indonesia dapat mencapai target pembangunan kapasitas listrik 40,000 MW setiap 5 tahun untuk dapat keluar dari ancaman negara gagal pada 2025. 

Pertanyaannya TERPENTING menjadi : 

Apakah Pemerintah berikutnya (2019 - 2025) dapat membangun 62,000 MW dalam 5 tahun untuk dapat meningkatkan pertumbuhan Industri dan keluar dari jebakan negara Gagal ? 

Konklusi 

Seharusnya ini menjadi pekerjaan rumah Pemerintah saat ini untuk mempersiapkan sehingga Pemerintah berikutnya (2019 - 2025) dapat mencapai target tersebut demi masa depan Bangsa Indonesia.

Memang faktor yang mempengaruhi merosot atau tumbuhnya menufakturing sangat banyak tetapi bila kita mengambil 3 alasan utama maka saya yakin ketersedian listrik dengan harga terjangkau akan masuk dalam 3 alasan teratas (top 3 reason). Bahkan menurut Gubernur Bank Indonesia salah satu tantangan dari tujuh tantangan peningkatan pertumbuhan Industri adalah tidak adanya energi yang andal dengan harga yang kompetitif.

Dengan perencanaan dan pengelolaan sektor kelistrikan seperti business-as-usual sekarang ini sangat sulit untuk dapat memenuhi kebutuhan membangun sektor Perindustrian yang kuat yang dapat mengangkat perekonomian sebagaimana di kehendaki oleh Presiden.

Perlu adanya penataan ulang Perencanaan Energi Nasional, salah satu komponen penting adalah mempertimbangkan memasukan teknologi pembangkitan yang dapat di memberikan daya dalam skala Gigawatt dengan biaya murah dan hal itu hanya dapat di berikan oleh teknologi Nuklir

Mungkin itu sebabnya Pemerintah (baca : Kementerian Perindustrian) dalam RIPIN telah melihat pentingnya Nuklir sebagai komponen strategis dalam pembangunan Industri Nasional sehingga memasukan Nuklir sebagai Industri Andalan Nasional yang perlu di bangun sebelum 2019 dan beroperasi 2025.

Sudah saatnya Kita menyadari bahwa Indonesia BUKANLAH NEGARA KAYA ENERGI untuk itu Kita harus berhenti mempolitisasi energi nuklir yang sudah di amanatkan oleh Perundangan dan Peraturan Pemerintah yang juga menjadi cita-cita pendiri bangsa ini, Ir Soekarno yang mengatakan bahwa “Untuk menjadi Bangsa Besar Indonesia harus menguasasi Nuklir dan Antariksa

Bob S. Effendi

21 November 2016

Referensi:

[1]     Kompas, 12 Oktober 2016, hal. 23
[2]    World Bank Report: How Can Indonesia Avoid the Middle Income Trap?
[3]    Jakarta Post 18/4/2016 “Indonesia inches closer to middle income trap: experts
[4]    Indonesia Terjerat Middle-Income Trap?   
[5]    Konsumsi rumah tangga sumbang 55% pertumbuhan ekonomi
[6]    Warta Ekonomi : Jokowi, Pertumbuhan Ekonomi Harus Berbasis Produktivitas
[7]   Global Manufacturing: A McKinsey View 
[8]   Pidato Menteri Perindustrian
[9]    Electricity and the Wealth of Nations

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun