Mohon tunggu...
Muhardis
Muhardis Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Lelaki biasa yang selalu ingin berusaha menjadi luar biasa.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gelas Panjang

26 Mei 2023   13:52 Diperbarui: 26 Mei 2023   13:55 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hakikatnya, belajar tidak harus di bangku pendidikan formal. Adakalanya pelajaran didapat saat kita berada di lingkungan masyarakat, terutama pelajaran terkait kehidupan. Beberapa kasus baru-baru ini terkait kurangnya kesabaran, seperti kasus pelemparan kue oleh seorang influencer Malaysia (Kompas.com, 12/11/22) merupakan wujud ketiadaan "gelas panjang" di dalam diri.

Kejadian ini baru saja dialami. Dua orang pesepeda motor mendatangi bengkel motor untuk menyetel velg jari-jari sepeda motornya. Dilihat dari gaya berpakaian, sepertinya kedua pemuda sempat mengecap pendidikan. Sepeda motor yang ia gunakan untuk berboncengan pun terlihat keluaran terkini. Artinya, secara status sosial dapat diterka kalau mereka bukan berasal dari sosial bawah.

Sayang, sekali lagi sayang, status sosial tidak mencerminkan hal yang sama terkait penggunaan bahasa.

Kami, saat itu, sedang mengobrol bertiga. Saya, montir bengkel, dan seorang bapak berusia 73 tahun. Kedatangan dua pemuda tadi sempat menghentikan obrolan karena mereka tiba-tiba datang dan serta merta memberikan perintah kepada si montir.

Sepertinya, dua pemuda (atau mungkin satu di antara mereka) sudah menjadi langganan bengkel dilihat dari ketiadaan salam ataupun ucapan pembuka. Kita dapat menyimpulkan demikian karena adakalanya (jika tidak ingin dikatakan sering) faktor kedekatan dua penutur (parameter pragmatik Brown and Levinson, 1978) menyebabkan tuturan dapat terjadi dengan melanggar beberapa prinsip kerja sama. Satu dari beberapa prinsip tersebut ialah maksim penghargaan (Leech, 1993).

Seseorang yang baru pertama kali bertemu biasanya mengedepankan maksim penghargaan. Wujudnya dapat dilihat dari memaksimalkan rasa hormat kepada kawan tutur. Penutur dan kawan tutur berbahasa dengan menggunakan diksi yang tidak merendahkan orang lain.

Dulu, kita berulang kali diingatkan dosen bahwa penanda kita sudah mengecap pendidikan tinggi bukan hanya selembar ijazah tanda kelulusan, tetapi juga bagaimana kita menerapkan pengetahuan tersebut saat berada di tengah-tengah masyarakat.

Dosen mata kuliah sosiolinguistik (ilmu hubungan bahasa dengan masyarakat penggunanya) menekankan bahwa sosiolinguistik memanusiakan manusia. Setelah memahami berbagai hubungan manusia dan bagaimana ia mempergunakan bahasa, kita diharapkan mampu berbahasa sepatutnya. Ingat, kita sedang berbahasa dengan manusia, makhluk Tuhan paling sempurna karena dilimpahi akal dan pikiran. Ini pula yang membedakan kita dengan makhluk Tuhan lainnya, bukan?

Kembali kepada kedua pemuda.

Pemuda yang dibonceng mendekati montir sembari menyerahkan dus berisi velg yang akan disetel. Ia mengabaikan kami yang sedang berbincang-bincang sebelum mereka datang. Dari bahasa yang ia gunakan, jelas ia berasal dari daerah yang sama dengan kami. Daerah kami sangat terkenal dengan "kato nan ampek" alias ada empat aturan dalam berbahasa, tergantung kepada usia kawan tutur.

Tuturannya berisi perintah kepada si montir bahwa ia ingin agar velg ini selesai disetel sebelum pukul 17.30 WIB. Montir terlihat keberatan, namun ia tidak berani menolak secara langsung.

Saat itu jam menunjukkan kira-kira pukul 15.00. Artinya ia hanya diberi waktu pengerjaan kurang lebih 2.5 jam. Sebelum pemuda itu datang, sudah ada dua sepeda motor yang juga perlu dikerjakan.

Ia hanya menjawab permintaan pemuda tadi dengan mengatakan bahwa pukul 18.00 WIB ia harus ke rumah sakit membawa ibunya kontrol kesehatan.

Dinilai dari pragmatik, studi tindak tutur dan implikasinya, si montir ingin menyatakan bahwa ia tidak bisa memenuhi permintaan si pemuda. Ia berharap si pemuda memahami situasinya dengan melihat banyaknya pekerjaan yang akan diselesaikan. Namun pada akhirnya si montir menyanggupi meski dengan penuh berat hati.

Di sinilah ungkapan gelas panjang muncul dari bapak tua yang sedari tadi menyaksikan pertuturan pemuda dan montir.

"Untungnya kamu gelas panjang, ya"ujar si bapak ke montir.  "Apa maksudnya, Pak?" sambungku. Si montir hanya diam saja.

Si bapak menjelaskan bahwa montir memiliki kesabaran seperti gelas panjang. Ia mampu menerima perlakuan orang lain kepadanya karena hatinya (ibarat wadah, gelas) luas. Ia benar-benar menerapkan prinsip "pembeli ialah raja". Seberapa pun air yang masuk, tenang, gelasnya masih panjang. Masih muat.

Dari sini kita makin memahami bahwa untuk berlaku santun terhadap orang lain tidaklah mudah. Butuh kesabaran menerima ketidaknyamanan agar tidak mudah baper (Kompas.com, 14/11/22). Sekali lagi, montir mengajarkan kita agar memiliki gelas panjang guna menghindari konflik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun