Mohon tunggu...
Cerita Pemilih

Ikhtiar Dinasti

14 Februari 2018   06:11 Diperbarui: 22 Februari 2018   16:13 776
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam dunia politik saat ini, kata "ikhtiar" sedang naik daun atau populer. Terutama di Nusa Tenggara Barat (NTB). Sejak digunakan oleh TGH Muhammad Zainul Majdi (TGB) dalam Pilgub NTB 2013 yang berpasangan dengan Muhammad Amin dengan "lanjutkan ikhtiar."

Pemilihan Kepala Desa (Kades) pun ikut-ikutan menggunakan kata "ikhtiar" dengan kata "Lanjutkan Ikhtiar." Ini merupakan fenomena kata politik yang berkembang di zaman milenial ini.

Di NTB, penggunaan kata "ikhtiar" tak hanya digunakan oleh petahana. Tetapi oleh pasangan calon (paslon) baru pun seperti pasangan Dr Zulkiflimansyah dan Dr Sitti Rohmi Djalalillah dengan ungkapan di mana-mana "lanjutkan ikhtiar TGB."

TGB adalah panggilan akrab Dr Muhammad Zainul Majdi Gubernur NTB periode 2009 sampai 2018, yang maksudnya Tuan Guru Bajang (Kiayi Muda). Ikhtiar rupanya sedang naik daun.

Ikhtiar

Menurut Sadi dan Muhammad Hasikin, kata ikhtiar berasal dari bahasa Arab (ikhtara-yakhtaru-ikhtiayan) yang berarti memilih. Adapun menurut istilah, ikhtiar adalah berusaha dengan mengerahkan segala kemampuan yang ada untuk meraih suatu harapan dan keinginan yang dicita-citakan. Ikhtiar juga dapat diartikan sebagai usaha sungguh-sungguh yang dilakukan untuk mendapatkan kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat.

"Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kau di bumi, carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar beruntung."

Menurut hemat penulis, ikhtiar itu ada dua. Ikhtiar di jalan Allah dan Ikhtiar di jalan syaitan. Sebab, kalau kedua jalan ini tak dipisahkan akan menimbulkan halal-haram menjadi satu dan bercampur yang menimbulkan petikan panas dalam diri masyarakat yang menilai.

Kata ikhtiar adalah bentuk fi'il amr. Atau kata perintah. Ungkapan visi hidup dan perjalanan manusia sering diserukan untuk menggantungkan cita-cita. Bahkan setinggi langit. "Gantunglah cita-citamu setinggi langit." Islam tak melarang umatnya bercita-cita. Asalkan proses mencapai cita-cita itu berada jalan shirotol mustaqim (jalan lurus) yang tak menodai keimanan, kemanusiaan, cita-cita kebangsaan dan kemasyarakatan yang pada intinya mengupayakan adanya keadilan dalam kemakmuran.

Ikhtiar di jalan Allah adalah bercita-cita dan berusaha berkontribusi bagi peradaban bangsa Indonesia dan masyarakat banyak. Sebaliknya, ikhtiar di jalan syaitan ialah berusaha menggapai cita-cita melalui jalur korupsi, membuli, meneror, merampok, memfitnah dan saling menjelek-jelekkan yang bukan golongannya dan menimbulkan isu yang memicu keributan serta bentrokan antar golongan.

Politik dinasti

Rupanya pengertian politik penulis ambil dari kamus-kamus besar bahasa Arab modern agar kita dapat membedakan arti politik yang selama ini berkembang di sekolah-sekolah dan di kampus-kampus. Dalam bahasa Arab, kata politik biasanya diterjemahkan dengan kata siyasah. Kata ini terambil dari kata sasa-yasusu yang biasa diartikan dengan "mengemudi, mengendalikan, dan mengatur." Dari akar kata yang sama ditemukan kata usus yang berarti "penuh kuman, kutu, atau rusak," (M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'an hlm 416).

Di tahun politik 2018 ini, fenomena politik dinasti menurut majalah Tempo, terjadi di 7 daerah atau provinsi. Dalam literatur sejarah, dinasti dimaknai dengan kekuasaan raja-raja yang memimpin kawasan dan wilayah dengan hubungan kekeluargaan atau sedarah.

Sebagaimana tercantum dalam website Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia, bahwa politik dinasti dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga. Dinasti politik lebih indentik dengan kerajaan. sebab kekuasaan akan diwariskan secara turun temurun dari ayah kepada anak. agar kekuasaan akan tetap berada di lingkaran keluarga. Apa yang terjadi seandainya negara atau daeah menggunakan politik dinasti?

Menurut dosen ilmu politik Fisipol UGM, A.G.N. Ari Dwipayana, tren politik kekerabatan itu sebagai gejala neopatrimonialistik. Benihnya sudah lama berakar secara tradisional. Yakni berupa sistem patrimonial, yang mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis, ketimbang merit system, dalam menimbang prestasi. Menurutnya, kini disebut neopatrimonial, karena ada unsur patrimonial lama, tapi dengan strategi baru. "Dulu pewarisan ditunjuk langsung, sekarang lewat jalur politik prosedural." Anak atau keluarga para elite masuk institusi yang disiapkan, yaitu partai politik. Oleh karena itu, patrimonialistik ini terselubung oleh jalur prosedural

Dinasti politik harus dilarang dengan tegas, karena jika makin maraknya praktek ini di berbagai pilkada dan pemilu legislatif, maka proses rekrutmen dan kaderisasi di partai politik tidak berjalan atau macet. Jika kuasa para dinasti di sejumlah daerah bertambah besar, maka akan kian marak korupsi sumber daya alam dan lingkungan, kebocoran sumber-sumber pendapatan daerah, serta penyalahgunaan APBD dan APBN. (AG Paulus, Purwokerto).

Tren politik dinasti ditengarai oleh empat hal. Pertama,adanya keinginan dalam diri atau pun keluarga untuk memegang kekuasaan. Kedua,adanya kelompok terorganisir karena kesepakatan dan kebersamaan dalam kelompok sehingga terbentuklah penguasa kelompok dan pengikut kelompok. Ketiga,adanya kolaborasi antara penguasa dan pengusaha untuk menggabungkan kekuatan modal dengan kekuatan politisi. Keempat,adanya pembagian tugas antara kekuasaan politik dengan kekuasaaan modal sehingga mengakibatkan terjadinya korupsi.

Dengan politik dinasti membuat orang yang tidak kompeten memiliki kekuasaan. Tapi hal sebaliknya pun bisa terjadi, dimana orang yang kompeten menjadi tidak dipakai karena alasan bukan keluarga. Di samping itu, cita-cita kenegaraan menjadi tidak terealisasikan karena pemimpin atau pejabat negara tidak mempunyai kapabilitas dalam menjalankan tugas.

Maka dari itu dinasti politik bukanlah sistem yang tepat unrtuk diterapkan di negara kita Indonesia, sebab negara Indonesia bukanlah negara dengan sistem pemerintahan monarki yang memilih pemimpin berdasarkan garis keturunan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun