"...kalau perekonomian masih tumbuh, sementara usaha anda mengalami kemunduran, itu pertanda ada lawan-lawan baru yang tidak terlihat. Temukanlah. Gunakan ilmunya untuk menciptakan sesuatu yang baru...." (Steve Jobs)
Pengantar
Kutipan kalimat Steve Jobs di atas memberikan ilustrasi kepada kita bahwa dunia sedang berubah begitu cepat dengan berbagai disrupsi yang menyertainya. Seringkali kita tidak menyadari atau setidaknya terlambat mengetahui perubahan tersebut, sehingga tidak bisa mengantisipasi kompetitor tidak terlihat yang terlebih dahulu telah melakukan adaptasi dan inovasi.
Era Industri 4.0 memang telah mendisrupsi banyak hal, tidak hanya sektor ekonomi, tetapi juga sektor pelayanan publik, bahkan termasuk pengawasannya. Bagi mereka yang mempu beradaptasi dengan melakukan berbagai inovasi, perubahan yang disruptif adalah peluang. Sebaliknya, bagi mereka yang tidak mampu bahkan tidak mau beradaptasi, disrupsi akan menjadi ancaman, dan tidak sedikit dari mereka nantinya berguguran.
Jika diaplikasikan dalam dimensi pelayanan publik, kutipan kalimat Steve Jobs tersebut juga sangat relevan untuk menjelaskan kondisi saat ini. Pemikiran serta kreativitas masyarakat pengguna layanan terkadang beberapa langkah lebih maju dari penyelenggara layanan. Menguatnya partisipasi warga melalui berbagai komunitas digital mampu mengatasi kebutuhan pelayanan mereka, dan terkadang itu terjadi tanpa peran negara, atau jikapun ada sangat minimalis. Hal ini pada dasarnya menggembirakan, akan tetapi pada saat bersamaan mengandung efek disruptif. Â Â Â Â
Era Industri 4.0 mengubah pelayanan publik yang selama ini konvensional menjadi digital. Digitalisasi pelayanan publik ini membawa dampak disrupsi yang memerlukan response adaptif dari penyelenggara pelayanan maupun penggunanya. Jika tidak segera beradaptasi melalui berbagai perubahan inovatif, pada masa akan datang bisa saja loket-loket pelayanan perijinan untuk membangun gedung dan membuka usaha pertokoan akan sepi. Orang akan lebih memilih usaha melalui toko-toko online seperti Toko Pedia, Buka Lapak, Bli-Bli, dll yang tidak memerlukan IMB, tidak ribet, lebih mudah dan murah. Demikian juga layanan pinjam meminjam uang melalui perbankan konvensional akan ditinggalkan, karena masyarakat memilih pinjaman online yang lebih mudah dan cepat.
Digitalisasi pelayanan publik juga membentuk budaya baru dalam hal partisipatsi warga terhadap proses pelayanan publik. Warga yang didominasi generasi milenial pemikirannya sangat terbuka dalam menyikapi pelayanan publik. Mereka bahkan lebih memilih media sosial untuk mengekspresikan kekecewaan terhadap pelayanan daripada loket-loket pengaduan yang disediakan penyelenggara pelayanan.
Sebagai contoh, di Yogayakrta terdapat komunitas warganet berbentuk group facebook bernama Info Cegatan Jogja (ICJ), sekarang anggotanya bahkan sudah mencapai satu juta orang lebih. Dalam hal partisipasi warga, group ICJ ini juga menjadi instrumen yang efektif untuk mengawasi pelayanan publik secara digital. Group ini awalnya untuk berbagi info tentang lokasi cegatan (razia lalu lintas) di Jogjakarta. Lalu fungsinya berubah untuk wadah solidaritas sosial bantu sesama, dan menyampaikan kritik, keluh kesah serta komplain terhadap sikap, sarana serta kualitas pelayanan publik. Dalam beberapa hal ICJ bahkan "lebih ditakuti" petugas pelayanan daripada lembaga pengawas pemerintah yang resmi. Begitu ada yang posting informasi (tulisan, video atau gambar) sarana atau petugas yang memberi pelayan publik kurang baik, maka seketika itu bisa viral, ribuan anggotanya akan mengomentari, dan sebagian besar diantaranya tidak terhindarkan melakukan bullying. Jika sudah demikian, biasanya penyelenggara pelayanan cepat-cepat memberi atensi dan perbaikan.
Peran kontrol yang dilakukan ICJ adalah salah satu contoh disrupsi dari aspek pengawasan pelayanan publik. Selain ICJ, komunitas-komunitas sejenis juga berkembang, seperti komunitas Jogja nyah-nyoh yang menghimpun donasi untuk menambal jalan rusak sebelum diperbaiki pemerintah, sebagian komunitas warganet diantaranya juga bergerak dibidang karitas sosial melalui digital crowd funding seperti kitaBisaDotCom, dll. Â Â
Pelayanan Publik Prima di Era DisrupsiÂ
Disrupsi hanya bisa diantisipasi dengan adaptasi, dan ini tidak mudah karena proses adaptasi akan selalu berhadapan dengan tantangan internal berupa budaya pelayanan publik yang kurang mendukung dan sudah terbentuk sangat lama.
Dalam melaksanakan tugasnya, birokrasi pemerintah penyelenggara pelayanan publik mendasarkan pada kewenangan. Ini berbeda dengan lembaga swasta yang mendasarkan pada sepirit menjaga kesetiaan pelanggan. Pelayanan birokrasi pemerintah umunya monopolistik, dalam arti bahwa masyarakat seperti tidak punya pilihan untuk pindah ke instansi lain, meskipun merasa kecewa. Akibatnya, kurang  ada rangsangan kompetisi di lembaga-lembaga birokrasi penyelenggara pelayanan publik. Bahkan para petugasnya merasa tidak perlu melakukan berbagai kreasi dan inovasi, karena dengan kualitas pelayanan yang burukpun pengguna layanan tetap akan datang, karena memang tidak punya pilihan. Hal ini berlangsung sangat lama, dan telah membentuk budaya kerja yang kurang mendukung. Padahal, jaman sudah berganti. Era Industi 4.0 setidaknya menuntut pelayanan yang lebih cepat, responsif, mudah menyenyenangkan namun tetap akuntabel.
Pelayanan publik seperti itu sejalan dengan karakter masyarakat milenial yang suka dengan kecepatan, bahkan instan, dibarengi rasa ingin tahu yang tinggi. Mereka ini sadar hak dan ekspektasinya terus berubah meningkat, sehingga penyelenggara pelayanan mau-tidak mau dituntut untuk terus beradaptasi melalui berbagai inovasi. Padahal generasi masyarakat milenial ini sekarang menduduki jumlah terbesar dari populasi penduduk di Indonesia. Oleh karenanya, proses penyediaan pelayanan publik perlu menyesuaikan dengan karakteristik milenial tersebut. Diperlukan konsepsi layanan yang akuntable dan berintegritas namun menyenangkan bagi mereka.
Pelayanan publik yang berintegritas dan akuntable adalah pelayanan yang menjunjung tinggi kejujuran sesuai tugas dan tanggung jawab berdasarkan ketentuan yang berlaku. Ingritas dibangun melalui tiga unsur penting yaitu: nilai-nilai yang dianut (values;kejujuran, anti korupsi, anti diskriminasi, dll), konsistensi (taat asas, patuh aturan/hukum, dll), dan komitmen (berdedikasi dan loyal pada visi, misi dan tujuan organisasi). Adapun pelayanan publik yang menyenangkan adalah pelayanan yang mudah, sederhana, cepat, serta nyaman, dan  petugasnya terpercaya, cakap  dan tanggap serta penuh perhatian. Oleh karena itu, agar pelayanan publiknya menyenangkan, penyelenggara perlu memperhatikan kualitas dari fasilitas fisik, peralatan, personil, dan media komunikasi yang dapat dirasakan langsung oleh pengguna layanan. Petugas yang melayani juga harus memiliki kemampuan untuk memberikan pelayanan yang tepat dan terpercaya seperti yang  dijanjikan, serta responsif membantu pengguna layanan dan memberikan pelayanan.
Penyelenggara pelayanan juga harus memberikan rasa percaya dan keyakinan atas pelayanan yang diberikan kepada pengguna layanan; Â kompeten, Â transparan, akuntable, dan aman. Terakhir, setiap petugas menunjukkan empaty dengan memberikan pelayanan yang ramah (senyum, sapa, salam) serta perhatian secara individual kepada pengguna pelayanan untuk memberikan kesan pengistimewaan.***
** pernah disampaikan sebagai Keynote Speech dalam Seminar "Penguatan Kapabilitas Pembangunan Zona Integritas Satuan Kerja Kementerian Komunikasi dan Informasi Menuju WBK/WBBM", Kementerian  Komunikasi dan Informasi, Yogyakarta 14/12/2021, pukul 10.00 WIB
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI