Saat ini masyarakat dunia sedang menghadapi berbagai macam disrupsi. Revolusi industri 4.0 memang telah menyebabkan terjadinya disrupsi disemua sektor. Inovasi serta perubahan yang terjadi secara besar-besaran dan fundemental mengubah semua sisitem dan menyebabkan tatanan sosial beralih ke cara-cara baru.
Selalu ada yang tidak siap meresponse perubahan. Era ini menyebabkan transformasi budaya terjadi dan tampil dengan bentuknya yang baru. Transformasi budaya digital ini dalam beberapa hal berpotensi mengerus nilai-nilai unggul dari praktik sosial budaya dan kepemimpinan yang sudah ada sebelumnya. Terjadi perubahan budaya kerja, budaya bersosial, budaya organisasi, budaya komunikasi dll. Pola relasi dan komunikasi antara pemimpin dan pengikut juga menemukan bentuk yang berbeda dari model sebelumnya.
Interaksi sosial antar masyarakat digital yang borderless dan timeless memaksa otoritas ilmu, kepakaran dan kepemimpinan berhadapan dengan pendebat tidak terlihat dalam rimba belantara opini yang seringkali lebih otoritatif untuk didengar dan setelah viral diikuti oleh banyak orang.Â
Semua orang tiba-tiba menjadi pakar dan setiap saat bisa menyampaikan opininya tentang segala hal, meskipun hanya didasarkan pada sumber informasi yang tidak benar (HOAX).Â
Situasi seperti ini merupakan tantangan bagi seorang pemimpin pada era digital saat ini. Bagaimana mengubah potensi partisipasi publik yang begitu besar dalam dunia digital tersebut menjadi kekuatan untuk membangun tatanan sosial budaya yang lebih baik.
Proses transformasi budaya kepemimpinan diera digital berkejaran dengan inovasi-inovasi yang terus tumbuh sangat dinamis. Inovasi-inovasi ini menjadi peluang tetapi sekaligus merupakan tantangan serius bagi keberlanjutan nilai-nilai sosial budaya yang telah ada.Â
Pemimpin di era digital dituntut mampu memindahkan (sifting) nilai-nilai sosial budaya tersebut dalam wadah baru melalui proses adaptasi dengan melahirkan berbagai inovasi yang mendukung. Sayangnya orientasi adaptasi melalui berbagai inovasi kepemimpinan yang mulai menjadi tren, terutama pada tingkatan pemimpin lokal, masih terjabak pada isue-isue ekonomi dan kesejahteraan.Â
Inovasi yang mengambil isue sosial dan budaya masih jarang kita temukan. Padahal, di tengah terpaan disrupsi, ada begitu banyak nilai-nilai sosial budaya yang terancam dan perlu "diselamatkan" melalui inovasi tersebut. Untungnya isue soal pelestarian nilai-nilai sosial budaya ini masih terwadahi dalam inovasi-inovasi akar rumput yang dilakukan masyarakat.Â
Sebutlah misalnya nilai unggul dalam budaya gotong-royong dan tolong-menolong yang masih terwadahi dalam inovasi crowd funding bernama www.kitabisa.com, donasi online di apilkasi gojek, info cegatan jogja, dll.Â
Demikian juga nilai-nilai demokrasi yang masih terwadahi dalam inovasi bernama www.change.org. Inisiatif warga seperti ini menjadi modal penting untuk menghadapi potensi tergerusnya nilai-nilia sosial budaya oleh desrupsi akibat revolusi industri 4.0.
Bagaimanapun, seorang pemimpin di era digital tidak punya pilihan lain kecuali harus beradaptasi dengan desrupsi. Untuk itu setidaknya ada tiga area inovasi yang perlu digarap agar tranformasi budaya kepemimpinan tetap bisa berlangsung secara baik, yaitu; kebijakan, kelembagaan dan budaya masyarakat.Â
Pemimpin di era digital harus mampu membuat kebijakan yang mendukung bagi terjadinya transformasi budaya digital yang berbasis pada nilai sosial budaya. Selain itu, Ia juga perlu menyederhanakan struktur kelembagaan birokrasinya agar mampu bergerak lebih lincah dalam merspons dinamika perubahan.Â
Pada sisi lain, masyarakat harus tetap difasilitasi kebutuhannya untuk aktualisasi nilai-nilai sosial budaya mereka dalam wadah baru yang berdimensi digital. Semoga ada!***
*) Budhi Masthuri, Mahasiswa Sekolah Pasca Sarjana UGM, Prodi Magister Kepemimpinan dan Inovasi Kebijakan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H