Undang-Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memang menempatkan ganja kedalam narkotika golongan I. Perbuatan menanam, memiliki, menyimpan, dan menggunakan ganja diancam dengan penjara maksimal seumur hidup dan hukuman terberat sampai hukuman mati. Undang-Undang ini tidak membolehkan penggunaan ganja, sekalipun untuk kepentingan medis. Hambatan struktural terbesar untuk menjadikan ganja sebagai komoditas obat dalam bisnis farmasi ada pada undang undang ini, selain tentu saja struktur sosial yang ada dalam masyarakat Indonesia juga berkontribusi. Sebagian besar masyarakat masih memang belum dapat menerima ganja sebagai tanaman yang memiliki manfaat medis. Meskipun jika kita melihat sejarahnya, dahulu masyarakat bahkan menjadikan ganja sebagai bumbu masak dan pelengkap ritual tertentu, akan tetapi melalui politik hukum (strukturasi hukum) pelarngan ganja berhasil membentuk struktur sosial dalam praktik sosial masyarakat yang didominasi oleh mindset negatif bahwa segalanya tentang ganja adalah negatif, berbahaya, bahkan merusak. Â Padahal merujuk pada latar belakang pelarangan dan kebijakan perang terhadap ganja, ditengarai terdapat alasan politis yang dominan ketimbang alasan bahaya kesehatan dan risiko buruk mengkonsumsinya. Hampir mirip dengan Pemerintah Hindia Belanda yang pernah melarang ganja karena alasan persaingan bisnis.
Melalui proses strukturasi hukum dan soaial yang panjang, pelarangan dan kampanye perang terhadap ganja ini membentuk struktur sosial dan struktur hukum yang kuat, penolakan terhadap ganja menjadi terlembaga baik secara formal dalam hukum negara maupun dalam pranata sosial.
Keputusan Menteri Pertanian memasukkan ganja sebagai jenis tanaman obat di bawah binaan Direktorat Jenderal Holtikultura Kementan awalnya menjadi angin segar bagi aktivis pengamat dan peneliti ganja untuk kepentingan farmasi. Namun, hal tersebut segera pupus ketika berhadapan dengan kuatnya penentangan yang terjadi, dan akhirnya memaksa Menteri Pertanian membatalkan keputusannya tersebut.
Sebenarnya UU Nomor 13 Tahun  2010 tentang Hortikultura memberikan sedikit kemungkinan bahwa untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan budidaya jenis tanaman yang merugikan (ganja termasuk jenis ini) diperbolehkan, akan tetapi peluang inipun terkunci karena adanya syarat pengecualian, yaitu apabila tidak ada UU lain yang melarangnya. Dalam hal ini jelas UU Narkotika melarang keras penggunaan ganja untuk tujuan apapun, termasuk untuk kepentingan kesehatan dan ilmu pengetahuan. Fidelis telah merasakan akibatnya.
Strukturasi sosial juga terjadi di kalangan kelompok agama. Mereka meyakini bahwa nilai keharaman ganja tidak diragukan lagi, bahkan mutlak. Itu artinya, baik sedikit maupun banyak dan untuk apapun, ganja diharamkan.Tidak peduli apakah menimbulkan efek positif (untuk obat, misalnya) atau apalagi efek negatif bagi penggunanya (www.anaksholeh.net). Nilai ini menjadi salah satu penopang bangunan struktur sosial dikalangan kelompok agama di Indonesia. Selain itu pro-kontra dan penolakan ganja sebagai komoditi juga juga muncul dari politisi berasal dari partai berbasis agama (www.matamatapolitik.com)
Realita penolakan hukum, politik dan sosial tersebut dapat dijelaskan dengan teori strukturasi Giddens. Dalam kasus ini struktur yang ada sebelumnya telah membentuk seperangkat aturan dan digerakkan oleh sumber daya aparatur. Strukturasi ini membentuk praktik sosial yang kontinyu tentang bagaimana masyarakat seharusnya memposisikan ganja sebagai benda yang terlarang untuk dimiliki dan digunakan. Tidak hanya terlarang tetapi bahkan sangat merusak dan berbahaya. Melalui strukturasi hukum dan sosial tersebut selanjutinya terjadinya pembatasan-pembatasan yang mengekang penelitian dan diversifikasi ganja ke dalam bisnis farmasi. Bahkan mengekang, memaksa dan menghukum seorang suami yang berusaha mencari obat alternatif (ganja) untuk mengobati istrinya yang sakit keras. Struktur ini membentuk kuasa penghakiman dan penghukuman kepada mereka yang tidak mengikuti, Fidelis telah mengalami itu.
UU Narkotika No 35 Tahun 2009 sebagai srtuktur hukum dimaksudkan sebagai alat rekayasa sosial (social enginering) dalam membentuk struktur sosial di masyarakat agar menolak ganja untuk kehidupan mereka. Melalui perangkat sanksi normatif, undang-undang ini membatasi bahkan mengekang individu maupun kelompok agar tidak menanam, memiliki, menyimpan, dan menggunakannya. Perangkat sanksinya adalah ancaman penjara maksimal seumur hidup dan hukuman terberat hukuman mati. Â
Belakangan fungsi UU Narkotika No 35 Tahun 2009 sebagai alat rekayasa sosial (social enginering) merujuk pada teori Roscou Pound tanpaknya mulai mendapatkan tantangan sosial dan politik. Belakangan  politisi dan aktivis penggiat penelitian ganja sebagai obat di Indonesia mulai melakukan counter discourse mengenai manfaat positif dari ganja. Trend internasional yang menempatkan ganja sebagai bahan dasar obat, PBB yang sudah merekmendasikan WHO, dan fakta potensi bisnis farmasi yang menjanjikan, tampaknya akan memberi tekanan lebih kuat terhadap struktur hukum dan sosial yang selama ini telah ada. Efektivitas UU Narkotika No. 35 Tahun 2009 dalam sebagai pembentuk pranata sosial (social enginering) yang digunakan untuk menolak gagasan diversifikasi ganja sebagai bahan dasar farmasi untuk pembuatan obat ke depan diperkirakan akan berkurang. Apalagi suara-suara yang mendukung ide diversifikasi tersebut semakin beragam, karena sudah datang juga dari kepala daerah dan politikus.
 PENUTUPÂ
Diversifikasi ganja menjadi komoditas obat dalam bisnis industri farmasi di Indonesia memang masih akan menghadapi tembok penghalang, karena struktur hukum dan sosial yang ada belum dapat menermia manfaat lain dari ganja selain membahayakan dan merusak. Meskipun demikian, merujuk trend yang terjadi di dunia, didukung bukti-bukti saintifik tentang kegunaan ganja sebagai bahan dasar obat, serta besarnya potnesi bisnis farmasi berbahan dasar ganja, telah menyebabkan terjadinya kontestasi terhadap struktur hukum dan  sosial yang selama ini berada.  Â
Teori Anthony Giddens dan Roscou Pound tentang proses pembentukan struktur sosial berkelanjutan mampu menjelaskan hal ini. Melalui teori tersebut dapat diperkirakan akan terjadi perubahan struktur hukum dan sosial sebagai konsekwensi dari adanya praktik sosial yang dinamis dalam masyarakat. Pada akhirnya diversifikasi ganja sebagai obat dalam industri farmasi di Indonesia akan terjadi dan dapat diterima. Cepat atau lambat hanyalah soal waktu. ***