Dalam teori yang lain, Roscou Pound seorang ahli hukum beraliran sociological dari Sekolah Hukum Harvard, memperkenalkan sebuah konsepsi perubahan sosial melalui instrumen hukum. Menurut Pound hubungan antara perubahan sosial dengan sektor hukum tersebut merupakan hubungan interaksi, dalam arti terdapat pengaruh perubahan sosial terhadap perubahan hukum, sebaliknya perubahan hukum juga berpengaruh terhadap suatu perubahan sosial, dan inilah yang disebut fungsi hukum sebagai social engineering (Fuadi, 2013). Ajaran  Roscou  Pound ini dapat diimplementasikan apabila terpenuinya tiga prasyarat pertama,  hukum  benar-benar  berfungsi  sebagai  alat  untuk  mengatur  dan mengelola masyarakat, kedua diimbangi  pemenuhan  terhadap  kebutuhan  atau  kepentingan-kepentingan masyarakat, dan ketiga adanya pengawasan guna memelihara serta   melanjutkan  peradaban  manusia (Lathif 2017).
Jika teori Roscou Pound tentang hukum dan perubahan sosial disandingkan dengan teori strukturasi Anthony Giddens, ini  saling melengkapi dan menjelaskan lebih tajam bahwa hukum sebagai struktur yang terbentuk dari sebuah praktek sosial, pada saat yang sama dapat membentuk pranata hukum dan sosial baru, dalam praktik sosial berikutnya. Persandingan dua teori ini dapat digunakan untuk mengurai problematika struktural yang selama ini menghambat diversifikasi pemanfaatan ganja sebagai obat dalam bisnis farmasi, terutama di Indonesia. Â
 GANJA DAN POTENSI BISNIS FARMASI
Dalam buku Human Evolution and Cannabis:The Ultimate Gift (Kumar, 2017) dituliskan tentang keberadaan ganja di Indonesia yang sudah ada sejak zaman Belanda. Georg Eberhard Rumphius, seorang ahli tanaman Pemerintah Kolonial Hindia Belanda ketika itu mencatat ganja dengan spesies indica dan sativa yang tumbuh subur di Ambon pada abad ke-17. Tanaman ini juga umum ditemukan di Batavia (Jakarta) dan Buitenzorg (Bogor). Namun pada tahun 1927, Pemerintah Hindia Belanda memberangus ganja lewat Verdovende Middelen Ordonnantie (UU Anti Narkotika). Alasan pemberangusan sangat menarik, karena sebelumnya dalam International Opium Convention yang digelar di Den Haag, 13 negara menyepakati larangan ekspor ganja, opium, dan poppy bahan dasar heroin karena persaingan dagang, bukan karena alasan kesehatan atau dampak buruknya.
Setelah Indonesia merdeka, larangan terhadap ganja menjadi salah satu warisan kolonial yang dipertahankan. Pemerintah Indonesia membuat undang-undang yang mirip-mirip dengan Verdovende Middelen Ordonnantie. Pada tahun-tahun berikuitnya perang terhadap ganja sangat digencarkan. Dibalik kebijakan ini ditengarai terdapat alasan politis. Ketika pertumbuhan ganja di Indonesia tersebar luas di Aceh. Pada saat yang sama masyarakat Aceh yang menginginkan merdeka tergabung dalam Gerakan Aceh Merdeka  sedang berkonflik dengan Pemerintah RI. Pelarangan dan perang terhadap ganja menjadi salah satu strategi untuk memotong sumber logistik dan pendanaan GAM untuk membiayai perlawanan mereka kepada republik (www.kompas.com).
Ganja-pun dikampanyekan sebagai salah satu narkotika paling berbahaya, tanpa landasan ilmiah apa pun. Perang terhadap ganja makin keras, setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Sementara itu negara-negara yang sebelumnya melakukan pelarangan ganja, seperti AS, Kanada, Belanda, Inggris, Swiss, Korea Selatan, Jerman, Australia, hingga Denmark, mulai melegalkannya sebagai obat (www.kompas.com). Â Di Amerika Serikat misalnya, ganja menjadi bisnis farmasi potensial yang sangat menguntungkan. Perusahaan yang menjual ganja dan produk olahannya berhasil mencatatkan kinerja penjualan bagus, seiring dengan naiknya trend pemanfaatan ganja untuk keperluan medis. Pertengahan 2014 Bloomberg bahkan melansir informasi beberapa perusahaan farmasi di Amerika Serikat yang menggunakan ganja sebagai bahan baku utama obat, seperti Tranzbyte Corp/American Green Inc, GreenGro Technologies, Advanced Cannabis Solutions, dll mencatatkan keuntungan sangat besar (www. money.kompas.com).
Besarnya potensi bisnis farmasi dari ganja ini menjadikan beberapa perusahaan farmasi di negara lain mengikuti langka Amerika Serikat. Sebuah perusahaan bernama GD Pharma, di Adelaide menjadi perusahaan pertama di Australia Selatan yang memulai ekstraksi ganja dan menciptakan produk siap pasar dari laboratorium rahasia di kota itu. Pabrik baru yang dirahasiakan itu beroperasi dan memakan waktu sekitar satu minggu untuk menghasilkan satu produksi resin encer yang harganya sekitar  500 dolar AS (atau setara Rp 5 juta) per botol (www.republika.co.id).
Di Kanada, sejak 2016 Pemerintah bahkan memberikan dukungan penuh terhadap penelitian farmasi yang menggunakan bahan ganja, dua tahun kemudian perusahaan farmasi berbahan dasar ganja melempar sahamnya ke bursa sahan Amerika (www.farmasetika.com). Belanda bahkan telah menyediakan ganja sebagai obat bagi pasien medis sejak 1993, kemudian tahun 2001 memiliki Kantor Obat Ganja. Adapun Chili mengembangkan industri farmasi berbahan dasar ganja sejak 2015, demikian juga Kementerian Pangan, Agrikultur dan Peternakan Turki mulai mengizinkan budidaya ganja di 19 provinsi, namun dengan pengendalian yang ketat, khusus digunakan untuk keperluan medis dan ilmu pengetahuan, sedangkan Thailand menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang legalkan ganja untuk keperluan medis sejak 2018 (www.health.detik.com). Â
Bagaimana dengan Indonesia? Besarnya potensi bisnis farmasi berbahan dasar ganja sampai saat ini ternyata tidak cukup menarik bagi pemerintah Republik Indonesia untuk melegalkannya sebagai obat.
HAMBATAN STRUKTURAL
Sebelum PBB mengeluarkan rekomendasi kepada World Health Organization (WHO) untuk bisa meratifikasi ganja sebagai keperluan medis pada bulan Desember 2020, Kementerian Pertanian RI sebenaranya telah menetapkan ganja sebagai salah satu komoditas tanaman obat. Kebijakan ini dituangkan dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor 104/KPTS/HK.140/M/2/2020 tentang Komoditas Binaan Kementerian Pertanian, ganja termasuk dalam jenis tanaman obat di bawah binaan Ditjen Holtikultura Kementan. Namun, kebijakan Menteri Pertanian ini mengalami penolakan yang luas dan berujung pada pencabutan keputusan tersebut dibulan-bulan berikutnya. Pemerintah yang diwakili oleh Badan Narkotika Nasional (BNN), Polri dan Kementerian Kesehatan sebelumnya sampai mengadakan rapat khusus untuk menyiapkan jawaban resmi kepada Komite Ahli Ketergantungan Obat WHO, dengan kesimpulan sikap Indonesia menolak penggunaan ganja untuk kepentingan kesehatan (www.suara.com).