PENDAHULUAN
Allah Swt menciptakan manusia sebagai makhluk termulia, karena manusia dianugerahi fitrah, akal, qalb, dan nafs sehingga manusia dapat mentranformasikan semua anugerah itu untuk mengaktualisasikan diri dalam mencapai kesempurnaan sebagai khalifah di bumi. manusia melalui proses pendidikan dalam kehidupan. Proses pendidikan yang dilalui manusia selain bertujuan menjadi khalifah di bumi, manusia juga berkeinginan untuk mencapai kehidupan yang Bahagia di dunia dan di akhirat. Pendidikan memiliki kedudukan yang penting dalam kehidupan. Pendidikan memberikan kesempatan kepada komunitas untuk melihat kemungkinan– kemungkinan yang akan terjadi di masa depan.
Masyarakat masa depan merupakan masyarakat berbasis ilmu pengetahuan. Untuk merealisasikan masyarakat berbasis ilmu pengetahuan, maka pendidikan tidak hanya berfokus kepada pendidikan umum, melainkan juga pendidikan agama. Pendidikan Agama Islam mengajarkan kepada siswa untuk dapat menjalankan amanah kehidupan dari Allah Swt dengan menciptakan kehidupan yang rahmatan lil alamin serta dapat menjalankan tugasnya sebagai khalifah di bumi. Pelaksanaan pembelajaran pendidikan agama merupakan kurikulum wajib yang harus dilaksanakan pada setiap satuan pendidikan sebagaimana termuat dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013 Pasal 77.
Al-Qur’an harus selalu dijadikan rujukan dalam membangun materi atau teori pendidikan, sebab itu maka materi yang disampaikan tidak hanya terpokus kepada ilmu agama, tetapi diajarkan juga ilmu alam yang dihubungkan dengan Islam, sehingga tidak ada lagi sekularisasi dalam pendidikan. Masyarakat yang setiap harinya selalu memakan yang halal, maka akhlaknya akan baik, hatinya akan hidup, menjadi sebab dikabulnya doa, dan bermanfaat untuk akal serta tubuh. Begitu pula sebaliknya, ketika terbiasa dengan yang haram, maka perilaku manusia akan menjadi buruk, perasaan manusia akan mati, permohonan manusia akan sulit untuk dikabulkan, dan merusak tubuh serta akal.
PEMBAHASAN
“Pangan merupakan soal mati hidupnya suatu bangsa” demikian pesan Bapak Bangsa Indonesia, Ir. Soekarno. Lanjut beliau “Apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi maka malapetaka, oleh karena itu perlu usaha secara besar-besaran, radikal, dan revolusioner”. Pidato beliau mengilhami bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya merupakan hak asasi setiap rakyat Indonesia. Konsep pemenuhan ini muncul karena secara alamiah manusia tidak dapat memproduksi sumber pangannya sendiri. Manusia tidak mampu memproduksi sumber energi dan zat non gizi lain yang dibutuhkan tubuh. Peran ahli pangan menjadi sangat vital guna tersedianya pangan yang beragam, bergizi seimbang dan aman di Indonesia. Integrasi antara ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pangan selain untuk pemenuhan aspek jasmani atau pemenuhan gizi dan terbebas dari bahaya kontaminan. Arah pembangunan pangan juga penting untuk menjawab tantangan aspek keamanan pangan (food safety) dalam artian yang lebih luas, yaitu aspek halalan dan toyyiban-nya. Jaminan pangan guna membawa ketenangan (tidak khawatir tentang status halal) menjadi fokus riset dewasa ini. Pertanyaan kemudian mengemuka, apakah yang menjadi tolak ukur pangan dikatakan haram dan sejauh mana peran peneliti dan praktisi pangan dalam mengembangkan metodelogi analisis pangan untuk menjamin status halal pangan.
Tantangan semakin besar ketika rantai pasok-penentu status halal produk mulai sejak bahan baku hingga pangan tersaji di meja makan-yang sangat rumit dan secara bersamaan harus berhadapan dengan keragamanproduk pangan yang sangat tinggi, baik dari segi jumlah maupun jenisnya.Pangan dalam pandangan Islam menyangkut hajat umat manusia secara keseluruhan, sehingga konsep halal dan haram menjadi urusan masyarakat dunia. Islam memandang mengonsumsi pangan yang halal atau haram menjadi persoalan yang sangat penting dan menjadi inti agama. Setiap muslim dituntut untuk memastikan terlebih dahulu status halal dan haram produk pangan sebelum dikonsumsi. Indonesia, sebagai negara mayoritas muslim, Badan Pengawas Obat dan Makanan bersama dengan Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) menjadi lembaga menyedia informasi produk pangan halal (Rakhmawati et al. 2019).
Paradigma terkini memperluas konsep halal, yang dasarnya menjadi sistem jaminan kini berkembang menjadi tren bisnis. Sinyal ini nyatanya bukan semata-mata ditangkap oleh negara-negara dengan mayoritas penduduk muslim, justru negara-negara dengan penduduk muslim minoritas sekalipun tertarik dengan tren ini. Kebutuhan status halal bukan saja menjadi kebutuhan seorang muslim, namun menjadi daya tarik sendiri bagi masyarakat non-muslim. Menurut Lubis et al. (2016) industri halal global menjadi segmen dengan pertumbuhan tercepat di dunia, dengan target pasar muslim dan non-muslim. Di Indonesia, LPPOM MUI sebagai Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) telah menerapkan sistem sertifikasi dan labelling pada produk pangan, namun sifatnya suka rela oleh produsen. Adanya lebel halal hanya semata-mata memenuhi kebutuhan pasar, bukan berdasarkan mandat undang-undang atau kewajiban dari negara. Hal ini sulit dilakukan, terlebih pada produk pangan siap saji, baik berupa gudapan yang dijajakan sepanjang kaki lima ataupun pangan yang disajikan di rumah-rumah makan sederhana.
Menuntut kesadaran produsen untuk memberikan jaminan produk halal ditingkat ini bukan hal yang mudah untuk dilakukan, terlebih mewajibkan melakukan sertifikasi halal pada produk-produk semacam ini hampir mungkin tidak dapat dilakukan. Gerakan bahu-membahu antara pemerintah, alim ulama, akademisi, praktisi dan pihak lain terkait untuk memberikan jalan keluar terkait hal tersebut. Apakah perlu paradigmanya kitaputar balik, wajibkan saja produsen pangan haram untuk memberikan lebel sebagai “pangan haram”. Sembari menanti hasil ahli-ahli analisis pangan mendapatkan metode cepat untuk secara tepat menyatakan pangan ini haram.
KESIMPULAN
Al-Qur’an telah memberikan definisi makanan yang boleh dan baik dikonsumsi oleh umat muslim guna menunjang kebutuhan gizi dan kesehatan. Untuk mendukung dan melindungi umat muslim dari maraknya makanan dan minuman yang tidak berstandar halal, makak LPPOM MUI sebagai Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) telah menerapkan sistem sertifikasi dan labelling pada produk pangan, namun sifatnya suka rela oleh produsen. Adanya lebel halal hanya semata-mata memenuhi kebutuhan pasar, bukan berdasarkan mandat undang-undang atau kewajiban dari negara.
DAFTAR PUSTAKA