Mohon tunggu...
Shinta Felisiana
Shinta Felisiana Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Karena perjalanan panjang ini tidak untuk dinikmati sendirian..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Manusia Indonesia

8 November 2013   16:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:26 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bagaimana pandangan orang lain tentang manusia Indonesia dahulu dan sekarang?

Orang Belanda di zaman VOC menganggap manusia Indonesia sangat khianat, tidak mau memegang teguh perjanjian, suka membunuh, mau berperang saja, tidak jujur, dan kejam. Kemudian pandangan ini mulai berubah setelah orang Belanda hidup sebagai penjajah. Anggapan umum mereka adalah orang Indonesia ini kurang berintelektual dan kurang bekerja keras serta biasa-biasa saja dalam hal beribadah, bekerja, kejujuran, rasa kasihan, dan rasa terima kasihnya.

Namun di samping itu, manusia Indonesia juga dikenal dan diakui memiliki sifat hormat, tenang, dapat dipercaya, baik, royal, ramah pada tamu, dan lembut. Namun ada juga yang mengaakan manusia Indonesia itu tidak suka memikirkan yang susah-susah, tak punya pendirian, tak punya kemauan, tak bisa mengambil keputusan.

Ma Huan, jurubahasa dan sekretaris Cheng-Ho, pada tahun 1416 datang ke Nusantara dan singgah di Jawa. Dia pernah menulis bahwa di Pulau Jawa ada tiga macam manusia: Pertama, orang Islam yang datang dari Barat dan menetap; pakaian dan makanan mereka bersih dan baik. Kedua, orang Cina yang melarikan diri dan menetap; makanan dan pakaian mereka bagus sekali dan di antara mereka ada yang memeluk Islam dan menjalankan agama dengan baik. Dan ketiga adalah orang pribumi yang sangat buruk dan jorok sekali; mereka keluar tanpa berdandan dan tidak menggunakan sandal serta menganut paham animism dan dinamisme. Segala macam makanan dan binatang mereka makan dan dimasak ala kadarnya, bahkan binatang yang menjadi peliharaan di rumah pun dimakan juga.

Sedangkan wajah populer orang muslim Indonesia pada umumnya adalah santri, alim, taat menjalankan ibadah, berani mengatakan yang benar, mematuhi segala perintah dan menjauhi segala larangan. Begitu pun dengan para penganut Kristen ataupun penganut agama lainnya; mengabdi pada ajaran agama dan mengasihi sesama manusia. Namun, dari sekian banyaknya penganut agama di Indonesia, berapakah yang dengan kesungguhan menghayati ajaran agama dan menjadikan agama tersebut sebagai pedoman hidup?

Ada jurang yang semakin besar di antara manusia ideal dengan manusia Indonesia yang sebenarnya. Jurang antara pandangan kita dengan kenyataan yang sebenarnya.

Nenek moyang kita mewariskan ajaran animisme dan dinamisme di mana hingga kini masih banyak mitos dan mistik di lingkungan kita. Ketika kekuatan pikiran rasional kita kurang kuat dalam menghadapi masa krisis atau kesulitan hidup, maka seringkali kita masih suka dan dengan mudah mengarang mitos-mitos untuk memberikan kita kekuatan atau kepercayaan. Dengan kekuatan dan kepercayaan terhadap dongeng-dongeng yang kita karang sendiri, seolah-olah kita mempunyai kekuatan untuk menghadapi masalah yang sedang menimpa kita. Mistik selalu menjadi tempat yang populer bagi orang untuk lari dalam keadaan penuh tekanan. Hal ini berlaku bagi hampir semua orang, baik yang beragama maupun yang mengaku berpikir secara rasional dan berpendidikan tinggi.

Manusia ideal menurut aliran mistik atau kebatinan memiliki cirri-ciri: rela, ridham bersedia menyerahkan segala miliknya di mana diperlukan, nrimodengan segala kelapangan hati apapun yang menimpa dirinya, sabar, dan hidup dengan penuh toleransi.

Sedangkan manusia ideal Indonesia. yang sering dikemukakan saat ini adalah manusia Pancasila. Yaitu manusia Indonesia yang menghayati, mendasarkan hidupnya, dan tingkah lakunya yang berpedoman pada Pancasila: Ketuhanan, Kemanusiaan, Keadilan Sosial, Kerakyatan, dan Persatuan Indonesia. Manusia Pancasila adalah bentuk ideal yang mencakup segala cita-cita manusia yang berdasarkan pada berbagai agama, aliran kepercayaan, dan ideologi politik. Pertanyaannya: apakah telah ada manusia Pancasila di antara kita saat ini? Jawabannya diserahkan kepada masing-masing pribadi.

Manusia Indonesia tidak hanya berbenturan dengan berbagai agama, falsafah, dan berbagai ajaran kebatinan, tapi juga dengan ilmu pengetahuan modern, teknologi, berbagai ideologi politik, dan berbagai nilai-nilai yang datang dari berbagai penjuru dunia. Selama 30 tahun terakhir ini malah kita digerogoti oleh konsumerisme internasional, perusahaan-perusahaan multinasional raksasa, dan keegoisan kita sendiri.

Namun manusia Indonesia juga dikenal punya daya sinkretisme yang tinggi. Lama dan baru kita terima dan dapat hidup berdampingan dalam jiwa kita. Kita masih sembahyang lima kali sehari tetapi kita juga pergi ke tempat keramat meminta sesuatu. Budaya lama dan budaya baru, budaya animisme di kaki kiri dan zaman modern di kaki kanan, dan di antara dua kaki kita ini ada lapisan-lapisan segala pengaruh baik dari budaya lama dan budaya baru, demikian silih berganti. Salah satu yang menjadikannya kelemahan adalah, kita tidak berdaya dalam melakukan pilihan. Semuanya kita terima dan kita biarkan hidup bersama tanpa mengganggu jiwa kita.

Pandangan tentang wujud manusia itu berbagai macam. Muncul pemikir-pemikir dengan gagasan agar kita membina manusia Pancasila, di mana mereka berpendapat bahwa nilai-nilai Pancasila digali dari budaya bangsa Indonesia sendiri. Digambarkan pula bahwa manusia-manusia Indonesia yang sudah menjadi manusia Pancasila akan menjadi motor pendorong yang teguh untuk melaksanakan pembangunan bangsa Indonesia.

Dan bagaimana manusia Indonesia zaman sekarang menurut Mochtar Lubis?!

Ada beberapa ciri yang digambarkan oleh penulis dalam bukunya tersebut, ciri ‘Manusia Indonesia Masa Kini’. Ciri pertama adalah hipokrit atau munafik. Diyakini bahwa salah satu sumber hipokrit adalah sistem feodal di masa lalu yang sangat menekan rakyat dan menindas segala inisiatif rakyat. Contohnya, dia ikut maki-maki korupsi tetapi dia sendiri seorang koruptor. Ciri kedua adalah segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, putusannya, kelakuannya, pikirannya, dan sebagainya. Contohnya, jika ada suatu kesalahan, maka atasan tidak bertanggung jawab juga bawahan tidak mau bertanggung jawab dengan alasan kalimat ‘Bukan Saya!” atau “Itu perintah atau putusan atasan”, tetapi sebaliknya jika ada penghargaan, maka banyaklah dari kelas ‘pejabat’ yang merasa sudah berbuat banyak dan menerima tepuk tangan sedangkan kelas ‘pegawai rendahan’ tidak dianggap. Ciri yang ketiga adalah jiwa feodalnya. Contohnya terlihat dalam organisasi kepegawaian, bahwa istri-istri para pejabat otomatis menjadi ketua bukan karena kepemimpiann dan kompetensinya, bukan berdasarkan prinsip meritokrasi. Sehingga atasan-atasan tersebut bersikap angkuh dan merasa ‘wajib’ dihargai, diperlakukan bak raja, sempurna, dan dijilat Asal Bapak Senang. Ciri keempat adalah masih percaya takhayul. Kepercayaan ini membawa manusia Indonesia jadi tukang bikin lambang. Manusia Indonesia sangat mudah cenderung percaya pada menara dan semboyan dan lambing yang dibuatnya sendiri. Modernisasi adalah salah satu takhayul baru, demikian pula perkembangan ekonomi. Model dari negeri-negeri industri maju jadi takhayul dan lambang baru, dengan segala jimat atau manteranya yang dirumuskan dengan kenaikan GNP atau GDP. Dan kita gagal melihat kerusakan pada nilai-nilai, kebahagiaan manusia, kerusakan lingkungan dan sumber daya alam oleh kemajuan ekonomi dan teknologi yang telah terjadi. Ciri kelima adalah artistik. Manusia Indonesia hidup lebih banyak dengan naluri, dengan perasaannya, perasaan-perasaan sensualnya sehingga tertuang dalam segala rupa ciptaan artistik dan kerajinan yang sangat indah. Ciri artistik manusia Indonesia adalah yang paling menarik, mempesona, dan merupakan sumber dan tumpuan harapan bagi hari depan manusia Indonesia.

Ciri keenam manusia Indonesia adalah mempunyai watak yang lemah atau karakter yang kurang kuat. Manusia Indonesia kurang kuat mempertahankan atau memperjuangkan keyakinannya. Jika terpaksa ataupun untuk ‘survive’ maka dia bersedia mengubah keyakinannya. Akibatnya, seringkali kita mendengar istilah ‘pelacuran intelektual’. Hari ini, sikap seperti itu diberi nama ‘tepa selira’, tetapi hakikatnya tidak lain merupakan satu kegoyahan watak, di kedua belah pihak, yang berkuasa dan yang tidak berkuasa.

Sedangkan ciri lainnya, Mochtar Lubis dimulai dengan menjelaskan ciri-ciri yang buruk. Manusia Indonesia sekarang tidak hemat. Malah dia pandai mengeluarkan terlebih dahulu penghasilan yang belum diterimanya atau yang akan diterimanya atau yang tidak akan diterimanya. Cenderung boros. Senang berpakaian bagus, memakai perhiasan, dan berpesta. Hari ini ciri tersebut menjelma menjadi rumah mewah, mobil mewah, pesta besar, hanya memakai barang buatan luar negeri, main golf, dan lain-lain. Dia tidak suka bekerja keras kecuali terpaksa. Menjadi priyayi atau pegawai negeri adalah idaman utama sebab bukan didorong rasa untuk mengabdi melainkan status yang dianggap prestisius. Sedangkan minat untuk berwirausaha kurang. Generasi muda pun ingin seketika menjadi kaya, berpangkat, dan terkenal tanpa harus bersusah payah dulu puluhan tahun sebelum mencapai sukses.

Manusia Indonesia kini menjadi orang yang kurang sabar dan tukang menggerutu. Tapi tidak berani menggerutu secara terbuka, hanya kepada sesamanya yang dia percaya. Manusia Indonesia juga cepat cemburu dan iri pada orang lain yang lebih maju, kaya, sukses, dan lebih lainnya daripada dia. Manusia Indonesia juga gampang senang dan bangga pada hal-hal yang semu dan tak berarti. “Falsafah Kebeneran” juga tampaknya masih berlaku untuk manusia Indonesia saat ini.

Manusia Indonesia juga dapat dikatakan manusia-sok. Kalau sudah sok, bukan main hebatnya, lalu mau paling hebat sendiri. Manusia Indonesia juga manusia tukang tiru. Kepribadian kita sudah terlalu lemah namun kita tiru bangsa-bangsa luar yang melenakan kita. Kita mudah terpengaruh dengan apa yang datang dari luar. Bikinan luar negeri selalu lebih menarik daripada hasil dalam negeri. Namun dari berbagai macam sifat-sifat buruk yang ada, manusia Indonesia tidaklah lebih maupun kurang dari segala rupa bangsa lain di dunia.

Sifat kita yang lain adalah cenderung bermalas-malasan, kita kurang rajin menyimpan untuk masa depan. Manusia Indonesia juga sebetulnya cukup logis. Namun akibat dari kepercayaan animisime sehingga terjadi penerapan logika yang salah. Jadi bukannya manusia Indonesia lemah dalam logika dan tidak bisa mengaitkan antara sebab dan akibat, akan tetapi data dan informasi yang tidak benar, maka kelihatan seakan tidak punya logika dan sebab akibat yang jadi kacau. Misalnya jika terjadi banjir tiap tahun, yang ada hanyalah pasrah atas ‘kehendak’ Tuhan dan menerima cobaannya. Hanya sedikit yang menghitung, bahwa mungkin banjir yang melanda tiap tahun itu adalah akibat dari kesalahan dan kelalaian orang yang bertugas memelihara dan membersihkan muara atau hutan.

Ciri lain dari manusia Indonesia adalah kurang peduli terhadap nasib orang lain, selama tidak mengenai dirinya sendiri atau orang yang dekat dengannya. Keadaan ini sebetulnya bertentangan dengan ciri-ciri manusia Indonesia asli di mana sejak dulu manusia Indonesia bekerjasama dengan baik, tolong-menolong, saling menjaga dan lain sebagainya termasuk sistem perkawinan exogam.

Ciri lain dari manusia Indonesia yang merupakan modal utama bagi keselamatan bangsa kita adalah kasih ibu dan bapak kepada anak-anaknya, juga sebaliknya. Manusia Indonesia juga pada dasarnya berhati lembut dan suka damai. Dia juga punya rasa humor yang cukup baik, dia dapat tertawa dalam kesulitan dan penderitaan. Dia juga cepat belajar. Dia mudah dilatih terampil dengan tangan dan jarinya. Dan dia merupakan manusia sabar, dan kesabarannya yang seakan tak ada batasnya, menjadi kelemahannya juga.

Setelah kita puas bercermin memandangi wajah manusia Indonesia, maka coba bandingkan, apakah pandangan tersebut sesuai dengan pandangan diri kita sendiri, tentang kita sebagai manusia Indonesia?

Pribadi dan watak, sikap dan tingkah-laku manusia dan nilai-nilai yang didukungnya dibentuk oleh masyarakat lingkungannya, alam hidupnya, dan juga oleh berbagai lambang, yang dipasangnya mengenai dirinya sendiri. Ada istilah wajah yang dipasang dan wajah yang disimpan. Segala tindakan dan sikap manusia Indonesia selalu terpengaruh oleh kedua wajahnya ini, yang dibukanya di hadapan publik dan yang disembunyikannya. Lingkungan mempunyai pengaruh yang luar biasa terhadap karakter manusia Indonesia.

Selama masyarakat feodal, setengah feodal, neofeodal kita dengan ciri-ciri seperti yang sudah dijelaskan, tidak kita ubah secara sadar, maka tidak mungkin manusia Indonesia akan berubah dan berkembang, menjadi manusia dengan pribadi dan watak yang utuh, dengan nilai-nilai dan sikap yang kita perlukan untuk menghadapi dunia sekarang ini.

Melihat manusia Indonesia dengan wajahnya yang seperti sekarang ini, dikhawatirkan bangsa kita akan jauh ke belakang dan menjadi korban perkembangan dunia saat ini. Kita biarkan elite kita memperkaya diri mereka dari tahun ke tahun, melakukan korupsi dan mencuri hak dan milik rakyat, semakin lama semakin besar. Kita tak punya konsepsi tentang waktu, bahwa waktu mengalir pergi dan setelah lewat dia tidak dapat ditarik kembali. Bagi kita waktu itu senantiasa ada. Buat apa dikerjakan sekarang kalau bisa dikerjakan besok. Alon-alon asal kelakon.

Kita harus memahami, bahwa kebebasan manusia hanya dapat berkembang jika ada manusia yang berani bebas. Kita harus senantiasa meluaskan kaki langit kemungkinan dan kesempatan dan perspektif baru bagi manusia Indonesia. kita harus berani mengakui pada diri kita, bahwa sedikitnya semenjak kedaulatan Indonesia mendapat pengakuan, telah timbul jurang yang semakin besar antara pretensi-pretensi nasional kita dengan tingkah laku pribadi kita sebagai manusia Indonesia atau sebagai kelompok, dan kenyataan-kenyataan dalam masyarakat kita.

Alangkah primitifnya dan terbelakangnya pikiran yang menyatakan negara kaya, negara maju, dan belum maju hanya berdasarkan ukuran perkembangan ekonomi, industri, dan teknologinya. Padahal jika kita bandingkan nilai-nilai selain hal tersebut, cukup banyak nilai-nilai budaya dan manusia yang lebih maju daripada masyarakat yang ekonominya lebih ‘maju’. Kemajuan teknologi sekarang ini berarti modernisasi, namun tidak seperti itu sebetulnya sehingga makna modernisasi harus dipikirkan kembali.

Kita pasti tidak sepenuhnya dapat lepas dari sistem dan jaringan ekonomi, keuangan, dan perdagangan internasional. Akan tetapi kita masih bisa melakukan daya upaya membuat hempasan yang mungkin timbul kepada kita, menjadi tidak terlalu keras menghempas kita. Sebab jika terus begini, jika kita tidak mengubah cara kita berpikir dan berbuat, mengubah nilai-nilai yang membimbing kehidupan kita dan tingkah laku kita, maka dikhawatirkan kita hanya akan menjadi kuli kasar belaka bagi perusahaan-perusahaan luar negeri.

Relakah kita melihat anak cucu kita mengalami nasib demikian?

Tulisan ini adalah hasil rangkuman pidato Mochtar Lubis pada tahun 1977 yang tampaknya masih relevan dengan kondisi Manusia Indonesia zaman sekarang.. semoga berkenan.

Link blog asli: http://www.bijaks.net/blog/detail?id=b079447d7716ab7f18b7404f25b8ee187fda2c01&uid=d94e69e516398016e8ea99af1349f9b87beaeb52

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun