Mohon tunggu...
Shinta Felisiana
Shinta Felisiana Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Karena perjalanan panjang ini tidak untuk dinikmati sendirian..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Awan dan Angin

8 Juni 2012   11:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:14 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu hari, awan mendesah pada angin yang selalu menarik dia untuk berjalan-jalan. Bukan karena sang awan lelah, namun dia telah mati rasa. Inilah potongan-potongan percakapan antara awan dan angin…

AWAN:    Percaya? Percaya pada apa? Percaya pada sesuatu yang rapuh adalah mustahil! Entah rasa sakit ini datang dari mana tapi semakin kuat kutekan maka semakin kuat dan perih rasa sakit ini. Tapi kemudian juga rasa sakit itu tiba-tiba menghilang. Kenapa? Lalu tiba-tiba menjadi sakit lagi. Apa aku salah?

AWAN:    Sakit. Entah mengapa hati ini tiba-tiba terasa sakit. Apa aku salah? Apa aku mencari pembenaran atas diriku sendiri? Benar-benar sakit… Entah. Bisa pinjam pundakmu sebentar?

ANGIN:    Aku bermimpi melihat purnama tak sempurna. Lantas malaikat menyuruhku mengunyahnya sebagian—seperti roti—hingga sabitnya tersenyum ramah padaku. Kemudian aku merasa seperti ketika kau membuatku ceria. Dan ketika tangan sahabatku mendarat di mukaku, aku tersentak dan tersedak. Kulihat purnama tak sempurna. Apakah aku melakukannya?

AWAN:    Darimana kudapati kekuatan ini? Entah. Aku tak pernah tahu. Ingin rasanya berhenti tapi kaki selalu melangkah. Ingin rasanya mencari dan memaki tapi mulut kelu dan lidah membeku. Aku tak pernah punya kuasa.

ANGIN:    Aku dengar Bulan berkata pada Bintang, “Beri tahu aku tentang cinta maka aku beri tahu kamu hakikat rindu”. Aku lihat mereka larut dalam diam. Kemudian manisnya senyum Rembulan dan kerlip sang Bintang membuat aku yakin mereka telah saling paham.

ANGIN:    Aku lagi tidur. Sekarang aku terganggu ketika sadar bahwa orang tak memikirkan aku, bahwa orang tak peduli dengan pemikiran dan keresahanku, bahwa bumi akan tetap berputar mengelilingi matahari betapapun aku tak ada. Atas nama cinta, Aku cinta kamu.

AWAN:    Aku telah mati. Benar-benar MATI. Maka tak kudengar ketukannya, ketukanmu, dan tak jua mendengar suara mereka yang menghampiriku. AKU TELAH MATI. Musnah bagai debu…

ANGIN:    Rasa yang tak kupercaya, memimpikan diriku yang tak lagi bermimpi. Keresahan yang wajar menjalar meresap hingga sum-sum tulang belakang. Aku mendamba aku yang mencinta, memuji meski dicaci, setia meski dicerca. Namun kembali ku tak percaya, lelah karena curiga. NOVA!! Aku tak mengerti caramu mencinta. Aku yang memberi, tak terima bila dimaki. Aku yang dicaci tak kuasa bila tak membela diri.

ANGIN:    Aku tak mau dijerat waktu, masa lalu buat tak berdaya—garam dalam luka—pengap harap nyata digugat, hidup hanya menambah dosa, raga hanya penjara jiwa, dan aku takkan lelah sudi, aku ingin segera mati.

ANGIN:    Hakikat hidup adalah keterasingan pulau sunyi, benarkah? Pelajaran terdalam adalah kepedihan, benarkah? Tuhan adalah kepengecutan dan pengharapan, benarkah? Agama adalah apa yang ingin dipercaya, benarkah? Kamu adalah yang kucinta, benarkah? Manusia makhluk ‘ya’ yang bukan ‘ya’. PARADOKS. Karenanya aku hanya cinta Tuhan yang pandai menari. Maafku buat kau bingung, tapi menarilah dalam bingung. Sebab Tuhan hanya mencintai makhluknya yang pandai menari.

AWAN:    Malam ini lagi-lagi kususuri jalanan kota yang ramai. Tapi tetap kumerasa sendiri. Kutatap wajah orang-orang yang berlalu lalang—sendu,bahagia, ceria, diam, serius, tanda tanya, kosong—manakah yang mewakiliku sebenarnya?

ANGIN:    Aku dan kamu adalah misteri dari Misteri tapi bukan misteri itu sendiri. Hidup adalah misteri, maka ketika kau lelah janganlah sekali-kali meminta mati bila mati hanyalah sebuah misteri.

AWAN:    Maaf, aku tetap tak memercayai siapapun termasuk kamu. Itu kehidupanku dan tak ada yang mampu memasukinya kecuali kuizinkan. Hidup memang sebuah misteri maka aku butuh seseorang yang mampu menopangku. Jika tidak, aku akan mati.

ANGIN:    Aku yakin kamu akan seperti itu. J. Pencarian sesungguhnya adalah kau tak percaya siapapun dan apapun. Tapi kalau boleh aku mengingatkan, jangan berharap pada siapapun, termasuk Tuhan. Kan kau dapati ketangguhan, kenikmatan, dan keyakinan sejati. Selamat menikmati.

AWAN:    Sifat dasar manusia adalah berharap seperti halnya fitrah manusia yang menyakini adanya Tuhan. Aku tak berharap pada manusia, hanya pada Tuhan dan menyakini keadilanNya. Aku masih bisa berdiri sendiri tapi aku sadari bahwa manusia tak benar-benar sendiri. Aku butuh suami yang bisa kuajak pergi.

ANGIN:    Kamu sadari sepenuhnya dengan kata-katamu barusan? Kamu bisa jadi Perawan Suci Maria atau Rabiatul Adawiyah. Jangan mendamba juru selamat, ketika keselamatan ada di tanganmu, ingat? Jangan terbuai mimpi dongeng pangeran yang akan menjemput sang putri.

AWAN:    Ya! Masih kuingat dan masih kupegang, bersama dengan seseorang bukan berarti seluruhnya kita percaya dan kita serahkan. Seperti kamu yang bosan sendiri begitupun aku yang ingin mengarungi kehidupan bersama dan saling berbagi. Tapi aku ingin suami bukan yang lain.

ANGIN:    Itu tak sekadar dinanti tapi diciptakan. Aku mempersiapkan diri dan kamu tuk ke sana. Tapi tanpa komitmen dulu karena aku belum yakin kamu begitu, maka mengalirlah. Tapi kalau cocok dan saling mengerti tentu itu yang kuharap.

AWAN:    Aku tak bisa menunggu. Maka siapapun itu jika dia seperti yang kuharapkan maka aku akan tetap berjalan di atas bumi bersamanya. Jika tidak, aku akan segera mati. Bukankah semua itu terbina atas dasar saling mengerti? Atau selamanya aku sendiri. Maaf, itu jawabanku.

ANGIN:    Kamu tak bisa menunggu sesuatu yang bukan giliranmu? Pasti resah! Ayolah, kamu harus punya cita-cita melangit tapi tetap harus membumi. Kamu harus berjuang tanpa lelah tapi harus tetap pasrah menerima kenyataan. Aku tidak mengerti, kamu yang segera mati bila tak segera mendapatkannya. Aku tak menunggu jawaban. Dengan siapapun kamu, itu kebebasanmu. Tapi sebagai teman aku mengingatkan, Tuhan tak akan menganugerahkan malaikat yang mengerti kamu dengan begitu saja. Karena itu butuh proses..

AWAN:     Matahari itu kini mulai meredup, layu, dan akhirnya mati. Sungguh, ia tak tahu harus berbuat apa! Bagi orang lain, ia mungkin matahari. Tapi bagi dirinya, ia hanya sekumpulan debu. Apa yang ia lakukan? Ia tak ingin menyakiti, bisakah hanya sekadar teman saja?

AWAN:    Ketika jiwa tak bermakna, ah.. rasanya sulit sekali untuk bicara. Tentang diriku, dirinya, dan diri mereka semua.. adakah langit seluas hamparan yang menyempit? Hamparan bumi terlihat kaku di mataku. Di mana Tuhan? Ketika aku membutuhkanNya…

AWAN:    Kumohon… antarkan kesedihan ini dan palingkan ia dari wajahku yang mulai membusuk. Hingga Izrail datang membawa berita kematian….

AWAN:    Lihatlah langit malam ini! Kemudian rasakan kegelapan dan keheningan malam memelukmu dari segala penjuru. Atas nama Angin, Udara, Api, Air, dan Bumi. Lihatlah langit malam ini dan ingatlah bahwa kita pernah bersama di tanah yang bernama keabadian..

AWAN:    Mungkin aku telah terlampau jauh untuk berjalan hingga akhirnya tersesat dan tak mampu lagi untuk melangkah. Aku selalu mendamba dia yang bukan Tuhan, hingga rasanya jika aku tak segera melebur dengannya, maka aku akan mati.

AWAN:    kenapa aku tak pernah menegrti? Apakah aku yang tak pernah mau mengerti? Ketika cinta datang, aku hanya terdiam. Ketika benci terdampar aku hanya bisa memandang. Berkali-kali mereka hadir tapi aku tak pernah peduli… Kau tahu, di tanah ini aku ditemukan oleh sosok yang sempat aku abaikan. Meski begitu, dia berhasil menangkapku dengan ketetapannya. Tapi mmasih bolehkah aku berharap dengannya? Setelah selama ini aku berkhianat dan hingga masalah belum berakhir…

AWAN:    Maaf. Seharusnya saat itu aku yang meminta maaf bukan kamu. Karena secara tak sadar, aku telah membuka sedikit peluang untuk itu. Andai aku tak pernah hadir diantara kamu dan teman-teman. Bisakah kita berharap pada masa lalu?

AWAN:    Kita cela zaman ini padahal cela ada pada diri kita. Tak ada cela pada zaman kita selain diri kita. Kita hina zaman yang tak berdosa. Andai zaman ini dapat berbicara, ia akan menghina kita yang mengotorinya. Serigala tak makan serigala, sedang kita saling memakan secara nyata.

AWAN:    Time goes by; Ketika jatah usia semakin berkurang, ketika kehidupan terasa semakin melelahkan, ketika kau belajar dari pengalaman di tiap episode perjalanan hidup, apa yang telah kau dapat dan masih kau cari?!

AWAN:    Airmata telah lama mengering dan hati telah membeku, hanya bisa tersenyum hampa. Walau tak ingin tapi tertawa dan ceria adalah topeng bagi jiwa yang rapuh. Ia hanya ingin berlari dan pergi kemudian berteriak lantang menantang. Kenapa hidup tak pernah kita duga dan selalu kita cela? Manusia memang makhluk hina dan menjijikan dimana benar dan salah menjadi bias. Bolehkah aku diam dan sekadar menatap karena aku telah bosan dan berakhir.

ANGIN:    Ketidakberdayaan hidup adalah lapang kembara termpat terciptanya keajaiban. Jauh dibalik jiwa manusia yang suka mencela ada denyut kekaguman pada keagungan. Di balik topeng keangkuhan dan ketangguhan terdapat kerapuhan dan kenestapaan yang menjadi jalan terkuaknya rahasia-rahasia kehidupan bagi jiwa yang tidak ingkar. Diam dan rasakan. Akan ada suara yang terus memacumu ntuk maju. Tinggal kau tentukan: bungkam oleh keputusasaan atau teruskan demi kedamaian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun