Suatu hari, awan mendesah pada angin yang selalu menarik dia untuk berjalan-jalan. Bukan karena sang awan lelah, namun dia telah mati rasa. Inilah potongan-potongan percakapan antara awan dan angin…
AWAN: Percaya? Percaya pada apa? Percaya pada sesuatu yang rapuh adalah mustahil! Entah rasa sakit ini datang dari mana tapi semakin kuat kutekan maka semakin kuat dan perih rasa sakit ini. Tapi kemudian juga rasa sakit itu tiba-tiba menghilang. Kenapa? Lalu tiba-tiba menjadi sakit lagi. Apa aku salah?
AWAN: Sakit. Entah mengapa hati ini tiba-tiba terasa sakit. Apa aku salah? Apa aku mencari pembenaran atas diriku sendiri? Benar-benar sakit… Entah. Bisa pinjam pundakmu sebentar?
ANGIN: Aku bermimpi melihat purnama tak sempurna. Lantas malaikat menyuruhku mengunyahnya sebagian—seperti roti—hingga sabitnya tersenyum ramah padaku. Kemudian aku merasa seperti ketika kau membuatku ceria. Dan ketika tangan sahabatku mendarat di mukaku, aku tersentak dan tersedak. Kulihat purnama tak sempurna. Apakah aku melakukannya?
AWAN: Darimana kudapati kekuatan ini? Entah. Aku tak pernah tahu. Ingin rasanya berhenti tapi kaki selalu melangkah. Ingin rasanya mencari dan memaki tapi mulut kelu dan lidah membeku. Aku tak pernah punya kuasa.
ANGIN: Aku dengar Bulan berkata pada Bintang, “Beri tahu aku tentang cinta maka aku beri tahu kamu hakikat rindu”. Aku lihat mereka larut dalam diam. Kemudian manisnya senyum Rembulan dan kerlip sang Bintang membuat aku yakin mereka telah saling paham.
ANGIN: Aku lagi tidur. Sekarang aku terganggu ketika sadar bahwa orang tak memikirkan aku, bahwa orang tak peduli dengan pemikiran dan keresahanku, bahwa bumi akan tetap berputar mengelilingi matahari betapapun aku tak ada. Atas nama cinta, Aku cinta kamu.
AWAN: Aku telah mati. Benar-benar MATI. Maka tak kudengar ketukannya, ketukanmu, dan tak jua mendengar suara mereka yang menghampiriku. AKU TELAH MATI. Musnah bagai debu…
ANGIN: Rasa yang tak kupercaya, memimpikan diriku yang tak lagi bermimpi. Keresahan yang wajar menjalar meresap hingga sum-sum tulang belakang. Aku mendamba aku yang mencinta, memuji meski dicaci, setia meski dicerca. Namun kembali ku tak percaya, lelah karena curiga. NOVA!! Aku tak mengerti caramu mencinta. Aku yang memberi, tak terima bila dimaki. Aku yang dicaci tak kuasa bila tak membela diri.
ANGIN: Aku tak mau dijerat waktu, masa lalu buat tak berdaya—garam dalam luka—pengap harap nyata digugat, hidup hanya menambah dosa, raga hanya penjara jiwa, dan aku takkan lelah sudi, aku ingin segera mati.
ANGIN: Hakikat hidup adalah keterasingan pulau sunyi, benarkah? Pelajaran terdalam adalah kepedihan, benarkah? Tuhan adalah kepengecutan dan pengharapan, benarkah? Agama adalah apa yang ingin dipercaya, benarkah? Kamu adalah yang kucinta, benarkah? Manusia makhluk ‘ya’ yang bukan ‘ya’. PARADOKS. Karenanya aku hanya cinta Tuhan yang pandai menari. Maafku buat kau bingung, tapi menarilah dalam bingung. Sebab Tuhan hanya mencintai makhluknya yang pandai menari.